“Paman Liu!” Pria paruh baya itu berhenti. Maniknya membulat saat ia melihat Su Li mendekat. Kemudian ia berbalik arah berusaha untuk menghindar. Namun belum sempat ia menghindar jauh, langkahnya terhenti tepat saat Su Li berhasil menahan jaketnya. “Apa yang kau inginkan!?” hardik Liu Yan dan menarik kasar jaket yang ia kenakan. “Aku tidak ada hubungan apapun dengan kematian ibumu.” Manik itu menatap Su Li nanar. Mendengar penuturan Liu Yan, membuat Su Li terkejut. Pasalnya ia belum ada mengatakan apapun. “Kematian wanita itu tidak ada hubungannya denganku. Aku hanya melakukannya sesuai perintah.” Tatapan nanar itu berubah menjadi ketakutan. Wajah yang penuh keriput itu kemudian dipenuhi dengan kabut penyesalan. “Aku tidak membunuhnya, Nona Su,” ucapnya dengan suara yang bergetar. Ziang Wu yang menghampiri mereka bingung dengan apa yang sedang terjadi. Belum lagi saat melihat ekspresi Su Li yang terlihat syok. Pria paruh baya yang berada di depan istrinya sedang terisak. “Tuan L
“Ini lebih besar dari yang aku kira.” Ziang Wu mengangguk setuju. Seperti Liang Tech yang beroperasi di bidang teknologi perangkat lunak, Cosmo Tech juga beroperasi di bidang yang sama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara keduanya terdapat persaingan yang sangat ketat. Usia perusahaan yang terpaut tidak jauh itu selalu bersaing dengan caranya masing-masing. “Liang Tech yang bertambah pesat memang sempat menggemparkan Tiongkok. Saat itu, Cosmo Tech seperti dilucuti semua kebanggaannya saat Liang Tech berhasil memenangkan tender bersama pemerintah. Padahal mereka sudah secara terang-terangan berbicara kepada media bahwa akan memenangkan tender tersebut.” Ziang Wu memberikan tabletnya kepada Su Li, membiarkan istrinya membaca sebuah artikel berita yang dikeluarkan dua tahun yang lalu. Walau media selalu mengatakan bahwa persaingan di antara kedua perusahaan itu sehat, nyatanya ada beberapa praktik kecurangan yang dilakukan Cosmo Tech yang bertujuan untuk menyabotase keberhasila
Lobi Liang Tech sudah terlihat lengang. Hanya terlihat beberapa pegawai yang berlalu lalang, sebagian besar tujuan mereka adalah pulang. Jam pulang kantor memang sudah berakhir beberapa jam yang lalu, bahkan meja resepsionis juga sudah kosong.Beberapa pegawai yang lembur terlihat kembali dari kantin sambil membawa cangkir kopi dan juga kudapan malam. Kantin memang akan buka sampai tengah malam, menemani pegawai yang sedang lembur mengejar target.Ziang Wu menunggu di salah satu sofa yang berada di ruang tunggu sesuai permintaan Su Li. Istrinya mengatakan bahwa meeting sudah selesai dan memintanya untuk menunggu di lobi saja.Untuk membunuh waktu, Ziang Wu mengambil beberapa majalah bisnis yang ada di atas meja. Bacaannya terhenti saat kedua matanya tertutupi oleh dua tangan yang terulur dari belakangnya. Aroma ceri yang menguar membuatnya tersenyum dan menurunkan kedua tangan itu. Ia kemudian berbalik dan melihat Su Li yang berdiri di belakangnya dengan wajah bersalah.“Maaf, ternyat
Fuyunghai, udang cabai garam, dan mapo tofu sudah terhidang di atas meja. Membuat Su Li takjub dengan kemampuan masak yang dimiliki oleh suaminya tersebut. Tidak hanya penampilannya yang menggiurkan, manik Su Li melebar saat ia mencicipi rasanya yang ternyata tidak kalah dengan visualnya.“Ini semuanya enak,” ucapnya dengan manik yang berbinar bahagia. Membuat senyum puas terbit dari wajah tampan Ziang Wu. Untung saja mereka dapat menyelesaikan sesi belanja yang sedikit panjang itu tepat waktu. Pemuda itu kemudian tersenyum saat mengingat tatapan penuh kecemburuan yang Su Li layangkan untuknya.Ziang Wu sama sekali tidak menyangka bahwa Su Li bisa merasa cemburu. Satu kemajuan besar bagi hubungan mereka. Ziang Wu merasa semakin optimis jika kontrak di antara mereka bisa dibatalkan.“Kau tidak makan?” tanya Su Li saat melihat Ziang Wu hanya menyiapkan satu mangkuk nasi. Suaminya itu mengangguk.“Tadi aku sudah makan dengan Ayah setelah mengantarnya check up.”“Bagaimana keadaan Ayah?”
Su Li membuka matanya perlahan. Menatap wajah tampan suaminya yang tertidur. Karena perasaan canggung setelah akhirnya mereka kembali bersatu dalam keadaan sadar, Su Li memutuskan untuk pura-pura tertidur. Tangan Su Li terangkat menyentuh jembatan hidung Ziang Wu perlahan, berusaha agar tidak mengusik tidur lelakinya. Jika mengingat bagaimana hubungan di antara mereka bisa terjalin, Su Li sama sekali tidak memprediksi jika akhir dari hubungan mereka akan seperti ini. Bagaimana dirinya yang tidak mempercayai sebuah hubungan dan membatasi diri dengan dinding yang kokoh, dapat luluh dengan perlakuan Ziang Wu yang tidak pernah lelah untuk terus memberinya sebuah cinta dengan wujud kepedulian dan perhatian yang tidak berkesudahan. Memberinya bukti bahwa hubungan setiap orang itu tergantung dari siapa yang terlibat. Su Li pernah membaca sebuah buku yang menyatakan, jika manusia akan mengalami tiga fase dalam jatuh cinta. Fase pertama first love yang akan memperkenalkan apa itu cinta, fase
Suasana makan siang di kediaman Su Li dan Ziang Wu siang ini terlihat sedikit meriah. Ziang Chen mampir untuk menjenguk putra dan menantunya. Hal itu juga yang membuat Su Li sedikit membuat kekacauan di dapur walau Ziang Wu dapat dengan sigap membereskannya. ketiga orang tersebut akhirnya bisa duduk dengan tenang mengelilingi sebuah meja bundar yang penuh dengan hidangan. “Jadi kalian belum ada rencana untuk pergi bulan madu?” Kalimat pertanyaan Ziang Chen membelah kesunyian dan juga kecanggungan yang terjadi. Ziang Wu dan Su Li hanya mampu saling tatap. Merasa takut membuat Su Li merasa tidak nyaman, Ziang Wu berinisiatif untuk berbicara, tetapi tidak disangka ucapan Su Li menginterupsinya. “Setelah finalisasi proyek dengan SOHO Group, kami berencana untuk pergi ke Luzern. Ayah pasti mengerti bagaimana padatnya pekerjaanku maupun Ziang Wu saat ini.” Su Li menjawab sambil mengambilkan lauk ke dalam piring sang Suami. Walau sedikit merasa terkejut, tetapi Ziang Wu dapat dengan
“Liburan itu artinya kita akan menikmati perjalanan kita. Jadi sebaiknya kita memilih kereta api,” ucap Su Li sambil meratakan masker wajahnya. Sejak dua hari yang lalu, pasangan itu berdebat mengenai moda transportasi apa yang akan mereka gunakan ketika berangkat ke Yunnan. “Kita akan kehabisan waktu di jalan, Nyonya.” Sang Suami yang sedang membaca buku di atas kasur itu pun tidak mau mengalah. Menurutnya waktu sebanyak itu seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lain. “Bagaimana jika waktu cutimu diperpanjang menjadi seminggu?” Ziang Wu menutup buku yang ia pegang. “Empat hari itu batas toleransi dari timku. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku terlalu lama. Bukankah anda yang meminta kami untuk lekas menyelesaikan program terbaru itu, Nyonya CEO? Kecuali anda memundurkan waktu perilisan hingga tahun depan, saya rasa bisa mengajukan cuti hingga dua minggu.” Su Li yang sudah berhasil merapikan sheet masknya berjalan menuju kasur. Ia kemudian merebahkan diri dan menjadik
Su Li tidak bisa memejamkan matanya barang sedetik pun. Ziang Wu yang berada di sebelahnya sudah terlelap. Semenjak melihat berita terbunuhnya Shen Juan, ada rasa gelisah yang terus menanggapi dirinya. Su Li kemudian bangkit dari tempat tidur, diam-diam keluar dari kamar agar tidak mengusik tidur lelap sang suami. Wanita itu memutuskan keluar untuk mencari udara segar. Su Li melangkahkan kakinya ke luar menuju halaman. Sejak awal menginjakkan kaki di rumah ini, Su Li merasa takjub. Rumah dengan gaya tradisional Tiongkok itu sudah sangat jarang ditemukan pada era modernisasi seperti saat ini. Langkahnya terus menyusuri pelataran hingga sampai pada taman yang berada tepat di tengah halaman. Ada empat bangunan yang mengelilinginya. Letak kamar yang ia tempati bersama Ziang Wu ada di seberang bangunan yang ada di sebelah selatan. Keadaan taman itu sedikit temaram, hanya sinar bulan purnama memantul lembut di sebuah kolam ikan mas yang dikelilingi oleh tanaman yang berada di pojok taman
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua