Share

Bab 5

Penulis: Yohana dst
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Daniel membawa Erlangga maju lalu pergi meninggalkannya sendirian bersama Tuannya..

Keduanya saling menatap nyaris tanpa kedip.

Hawa dingin seketika naik tajam menyelimuti kamar.

Erlangga menggigil seakan ditiup angin kutub. Tubuhnya gemetar hingga tak bisa digerakkan saat Lelaki tua di depannya maju selangkah demi selangkah.

Hingga akhirnya hanya menyisakan jarak dua langkah.

Erlangga mengangkat wajahnya tinggi.

"Siapa anda?" Erlangga berusaha mengumpulkan keberaniannya.

Pikirannya menebak-nebak apakah lelaki tua itu adalah ayahnya atau bukan.

Fitur wajahnya terpahat sempurna di bawah silau lampu kristal.

Tampan! Sayangnya dia tua.

Apa mungkin dia ayahnya? Erlangga menelan ludahnya.

"Apa kamu putra Olivia?" Suara bariton Prabujaya terdengar berat. Namun, wajahnya terlihat tenang tanpa ekspresi.

Erlangga mengangguk, tapi mulutnya terkunci.

"Berapa umurmu?"

"Sepuluh tahun," jawab Erlangga singkat.

Prabujaya diam beberapa saat.

Ia mengingat kenangan sebelas tahun silam ketika Olivia masih menjadi sekretarisnya.

Saat itu keduanya pergi keluar kota untuk memeriksa kondisi pabrik dan juga untuk memenuhi undangan makan malam dari klien perusahaan.

Siapa sangka, akibat terlalu banyak minum anggur membuat Prabujaya kehilangan akal sehatnya.

Namun, ia masih tak menyangka jika peristiwa pahit itu telah membuat Olivia mengandung darah dagingnya.

Dan bodohnya lagi, Prabujaya tidak pernah diberitahu hingga Olivia mengundurkan diri dari Prabujaya Industri.

Jakun Prabujaya tergelincir di tenggorokannya.

Erlangga melangkah mundur saat Prabujaya berlutut di depannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.

"Kenapa? Apa kamu takut sama saya? Apakah kamu tidak tahu siapa saya?" Prabujaya merasa terkejut melihat reaksi penolakan Erlangga terhadapnya.

Erlangga menatapnya dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Apa anda Prabujaya?" Erlangga balik bertanya.

Mendengar ucapan anak kecil di depannya, mata Pramujaya menggelap. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Erlangga menghela napasnya. Jantungnya nyeri seperti diremas.

Dia berusaha menyebunyikan rasa takutnya lalu mulai bicara, "Itu karena aku tidak kenal anda. Mereka bilang Prabujaya adalah ayahku. Jika anda Prabujaya, itu berarti anda adalah ayahku Apa itu benar?"

Mendengar penjelasannya, bibir lelaki tua itu melengkung.

Dia tiidak habis pikir seorang anak usia sepuluh tahun dapat berbicara layaknya orang dewasa.

Bagaimana Olivia bisa mendidik putranya hingga begitu pintar saat berdebat dengannya.

Prabujaya penasaran, bagaimana ibu dan anak itu berkomunikasi.

Apakah anak ini juga suka berdebat dengan ibunya?

Apakah dia begitu keras kepala?

"Kenapa anda malah tersenyum? Asal anda tahu, senyum anda itu jelek!" keluh Erlangga. Sebagian keberaniannya telah kembali.

Sekejap mata Prabujaya membelalak. Wajahnya segera berubah merah. "Apa kamu ini anak nakal? Kenapa bicaramu tidak sopan pada orang tua? Apa kamu juga seperti ini pada ibumu?"

Erlangga mengerucutkan bibirnya kesal. "Jangan bawa-bawa Mamaku. Aku ini anak yang baik, asal tahu saja. Aku selalu membantu Mama dan tidak pernah membuatnya menangis," ucapnya geram sambil mendengus padanya.

Prabujaya metasa puas saat membuatnya marah seperti itu.

Dia menarik senyumnya lebar di wajahnya.

"Oke, oke, kamu memang anak yang baik," katanya sambil membujuk Erlangga, lalu melanjutkan, "Kalau gitu dengarkan baik-baik. Saya adalah Papa kamu, Papa kandung kamu. Papa bersalah karena tidak pernah datang mencari kamu dan Mamamu. Papa minta maaf. Itu karena Mama pergi jauh dan tidak pernah memberitahu Papa tentang kelahiranmu."

Prabujaya menjelaskan dengan perlahan. Dia berharap Erlangga dapat mengerti apa yang dia ucapkan padanya.

"Apa kamu paham?"

Erlangga menganggukkan kepala. Tatapannya mengunci mata gelap Prabujaya.

Saat keduanya berhadapan, wajah mereka sama persis seakan Erlangga adalah cetakan masa kecil Prabujaya.

Kecuali sepasang mata itu adalah milik Olivia, berkilau dingin layaknya kristal.

"Mulai sekarang kamu adalah tanggung jawab Papa, Er. Papa yang akan melindungi kamu dari orang-orang jahat itu. Papa enggak akan membiarkan mereka melukai kamu seperti Mama. Jadi ..." Wajah Prabujaya menunduk. Pikirannya bergejolak bertentangan dengan hatinya.

Prabujaya menarik Erlangga dalam pelukannya seakan tak rela untuk melepasnya pergi.

Erlangga hening. Dia terlihat bingung dengan reaksi Prabujaya.

"Ada apa?" gumamnya pelan. Erlangga melihat mata pria itu telah basah.

"Papa harus mengirim mu ke luar negeri untuk keselamatanmu. Berjanjilah, Er ... belajarlah dengan baik dan kembalilah sebagai orang sukses."

***

Empat belas tahun berlalu dengan cepat.

Sepasang kaki kokoh dan kuat melangkah tegas menuruni anak tangga pesawat.

Pria tampan itu akhirnya berhasil menjejakkan kakinya di bumi setelah perjalanan panjang.

Dia menghirup udara dalam-dalam hingga paru-parunya penuh lalu menghembuskannya dengan kuat.

Bayangan otot perutnya tercetak jelas di kemeja putihnya.

Empat lelaki berbadan kekar berotot berbaris mengekor di belakangnya.

"Selamat datang di tanah air, Tuan Muda." Sapaan hangat dari pria paruh baya menyambutnya.

Bibir Erlangga melengkung. "Terima kasih, Paman. Dimana Papaku?"

"Tuan Besar sudah menunggu anda di rumah utama. Akan ada pertemuan keluarga malam ini," jelas Daniel lalu kembali melanjutkan, "Ngomong-ngomong ... anda telah banyak berubah. Saya hampir tidak mengenali anda tadi," katanya jujur.

Erlangga hanya menanggapinya dengan tepukan di bahunya, senyum di bibirnya masih menggantung.

Daniel lalu membuka pintu belakang untuk Erlangga.

"Akan ada berita besar hari ini. Saya harap anda tetap bertahan untuk diam selama itu diperlukan," kata Daniel memperingatkan.

"Kenapa?"

"Anda akan segera mengetahuinya."

Suasana tegang menambah keheningan dalam mobil.

Iring-iringan mobil itu kini bergerak meninggalkan bandara.

Para pengawal mengikuti sedan hitam yang melaju kencang hingga mereka tiba di pelataran rumah utama setelah perjalanan selama satu jam.

Erlangga mendongak, menatap rumah besar bercat putih yang masih berdiri kokoh tanpa cela.

Tidak ada yang berubah sejak kedatangannya pertama kali sebelum akhirnya dia meninggalkan semuanya.

Erlangga berharap, Prabujaya juga akan tetap sama.

"Silahkan, Tuan Muda ..."

Erlangga berjalan tepat di belakang Daniel saat pria itu membawanya ke kamar pribadi Prabujaya.

Di dalam kamar, dia melihat dengan jelas ayahnya tengah terbaring sakit karena usia tua.

Lelaki itu hanya merasa sakit karena begitu merindukan putranya yang baru dia lihat pertama kali dan harus berpisah di hari yang sama.

Erlangga menoleh pada Daniel meminta penjelasan darinya.

"Tuan Besar sakit karena rindu pada anda." Daniel bergumam pelan, lalu pergi meninggalkan Erlangga.

Erlangga merasa hatinya tercabik.

Ini adalah kali kedua dia bertemu ayah kandungnya dan dia tidak ingin kehilangan pria itu seperti ibunya dulu.

Sudah cukup bertahun-tahun dirinya dihina karena tidak memiliki ayah dan sekarang mereka hanya berjarak lima kaki.

"Papa ..." Erlangga berlutut di samping ranjang dan memeluknya. "Erlangga sudah kembali, Pa," lanjutnya.

Wajahnya memerah dan matanya

berkaca-kaca.

Mendengar suaranya, Prabujaya membuka matanya lalu senyumnya melengkung.

"Selamat datang, Nak. Papa sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu? Apa semuanya baik-baik saja?" Prabujaya bangkit dari tidurnya, memeriksa tubuh Putranya dengan seksama.

"Papa, aku baik-baik saja."

"Tapi ... kenapa kamu lebih kurus sekarang? Apa kamu kurang makan? Apa uang yang Papa kirim tidak cukup untuk kebutuhanmu?" tanyanya cemas. Prabujaya tampak terkejut dengan perubahan fisik putranya.

"Tidak, tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin hidup sehat dan punya tubuh yang bagus. Lagipula aku ini seorang model sekarang." Ia bisa melihat kecemasan di mata ayahnya.

"Apa? Model?" Kening Prabujaya berkerut.

"Iya. Bukankah Papa mengirimku begitu jauh untuk melindungiku? Aku lakukan ini juga untuk melindungi diriku sendiri."

Prabujaya memandang sepasang mata obsidian putranya yang tampak begitu dingin dan kelam.

Bibirnya terbuka sedikit. Namun, tak mengatakan apapun.

"Orang-orang mengenalku sebagai anak gendut yatim piatu yang sangat menyedihkan. Tak seorangpun dapat mengenaliku sekarang. Tidak dengan wajah dan tubuhku yang sekarang, Bahkan pembunuh itu juga tidak akan mengenali aku.". Ucapannya tegas dan dingin.

Tawa Prabujaya seketika menggema memenuhi kamar, membuat wajah Erlangga berkerut.

"Kamu memang pintar. Benar-benar anak Prabujaya Pamungkas."

Pria itu merasa tubuhnya kembali segar seakan -akan penyakitnya telah sembuh.

"Beristirahatlah. Malam ini akan ada jamuan makan malam besar. Aku akan umumkan pada semua orang bahwa putraku telah kembali."

Bab terkait

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 6

    Erlangga terkejut. Ia hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya."Apa Papa serius? Bukankah berbahaya memberikan pernyataan seperti itu? Bukankah kita sudah berjuang agar mereka tidak bisa mendapatkanku? Semua itu akan berakhir sia-sia, Pa."Prabujaya diam, senyum membingkai wajahnya. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan.Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin terlihat berbahaya, tapi harus dilakukan sebelum ajal menjemputnya diusia tua."Apakah kamu sudah melupakan tujuanmu?"Jakun Erlangga menggelinding. "Apa maksudnya?""Kamu akan segera mengetahui semuanya."Erlangga berjalan cepat keluar dari kamar pribadi ayahnya.Seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini adalah Daniel, asisten pribadi Prabujaya.Erlangga menemukannya tengah duduk menyesap kopinya di ruang pantry."Apa yang Paman tahu? Aku ingin dengar semua."Daniel tersedak hingga terbatuk saat tangan Erlangga mendarat di pundaknya dengan agak keras.Dia men

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 7

    Komplek River Villa.Pukul tujuh tiga puluh malam, beberapa orang mulai terlihat memenuhii ruang tamu.Tuan Prabujaya menyapa para tamu dengan hangat dari atas kursi roda. Seorang pengawal tampak menemani dan mengawasi dengan kewaspadaan.Untuk beberapa saat perhatian mereka teralihkan saat melihat seorang pemuda yang terlihat asing hadir di sana.Hanya segelintir orang yang mengenalinya dan memandangnya penuh takjub saat Erlangga berbaur.Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan dan berjalan ke arah sekumpulan wanita muda yang tersenyum cerah ke arahnya."Apa kita saling kenal? Wajah kamu sepertinya tidak asing untukku." Seorang wanita berambut panjang keemasan menyapanya. Matanya menyala penuh antusias.Bibir kemerahan Er melengkung, giginya yang putih berbaris rapi. "Oh, benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu di suatu tempat," sahut Er mencoba menggodanya hingga membuat wajah sang gadis merona kemerahan."Siapa namamu?" Seorang gadis mulai

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 8

    Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini."Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?""Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 9

    Rangga memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara.Rangga mengabaikan ibunya saat berusaha untuk memeluknya ketika menyambut kepulangannya di ruang tamu.Laki-laki itu melewati Liana yang membeku dan langsung naik ke lantai dua."Sialan!" Rangga membanting pintu kamarnya sambil mengumpat, sedetik kemudian tubuhnya jatuh di atas kasur.Wajahnya kusut dengan mata merah padam, dia terlihat sangat kacau.Mata Rangga menatap lurus lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar."Boleh Mama masuk?" Sebuah suara terdengar dari luar bersamaan dengan suara ketukan di pintu kamar."Masuk aja, pintunya tidak terkunci." Rangga menyahut acuh tak acuh.Pintu terbuka dan Liana masuk dengan perlahan lalu kembali menutup pintu.Wanita itu duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan putranya yang terlihat marah. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu mengacuhkan Mama tadi?" Mendengar suara Liana begitu lembut di telinga membuat Rangga mera

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 10

    "Berengsek! Ternyata wanita itu punya anak. Kenapa tidak ku habisi saja mereka berdua saat itu." Liana mengamuk di mobilnya hingga memukuli stir berulang kali hingga tangannya memerah.Dia mengusap wajahnya frustasi hingga riasan di wajahnya rusak.Liana merasa begitu bodoh karena telah membiarkan Olivia melahirkan anaknya saat itu.Dia bahkan tidak pernah tahu jika mantan sekretaris suaminya itu telah hamil dan memiliki anak.Liana tidak menyangka jika ancamannya pada Olivia saat itu malah membuat Prabujaya dapat menemukan mereka.Dan kini, suaminya dengan terang-terangan mengakui anak wanita itu sebagai anak kandungnya.Liana mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang."Halo," ucap Liana saat panggilan itu telah tersambung."Ya, Nyonya ...." Suara seorang pria terdengar dari ujung telpon."Temukan Olivia sekarang juga! Dulu aku sudah menganggapnya enteng sampai dia berani menginjakku sekarang. Dia bahkan berani mengirim anaknya pada suamiku.

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 11

    Pak Hasan berdehem pelan sambil menggelengkan kepalanya.Pria tua itu menatap istrinya. Dia membuka mulutnya setelah Bu Hasan mengangguk pelan."Masih belum. Entah apa yang terjadi, tapi jalan untuk menemukan pelakunya berujung buntu. Mereka kehilangan jejak setiap kali hampir berhasil memecahkan kasusnya," kata Pak Hasan dengan rasa menyesal.Sedetik kemudian dia kembali bicara, "Sayangnya ... kasus itu sudah ditutup sepuluh tahun yang lalu sejak mereka tidak mendengar kabar darimu."Suami istri itu berbincang tentang banyak hal selama kepergian Erlangga dari kota mereka.Hingga hari beranjak sore, Erlangga memutuskan untuk kembali.Mobil sedan itu bergerak meninggalkan kediaman Pak Hasan saat matahari telah terbenam.Mereka memutuskan untuk pulang ke komplek River Villa sebelum Prabujaya menyadari kepergian mereka siang ini.Erlangga sudah memutuskan untuk membuka kembali kasus kematian Olivia Putri. Namun, dirinya harus mendapatkan bukti kuat sebelum mengajukannya kepada pihak ber

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 12

    Suara ketukan di pintu kamar membuat Erlangga terjaga.Erlangga melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam dan dia baru akan terlelap setelah lelah seharian.Erlangga bangkit dan meraih knop pintu. Dia tertegun untuk sesaat, mulutnya nyaris jatuh saat menyaksikan seseorang sedang berdiri di depan kamarnya."Papa?" Kening Erlangga berkerut saat sadar sedang berhadapan dengannya.Ia meraih tubuh Prabujaya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar lalu memeriksa kedua kaki Prabujaya yang terlihat lemah saat beberapa jam yang lalu."Apa yang Papa lakukan di sini? Sejak kapan Papa bisa berjalan?" Keterkejutan Erlangga belum sepenuhnya hilang.Prabujaya tersenyum tipis lalu membuka mulutnya dan berkata, "Sudah, sudah ... jangan tegang seperti itu, Er. Papa hanya ingin melihatmu dan mengobtol denganmu."Mata obsidian Erlangga mengunci wajah Prabujaya.Namun, dengan sangat cepat tatapan mata Erlangga kembali teralih pada sepasang kaki yang terlihat kokoh itu.Kaki itu terlihat sehat dan sepert

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 13

    Empat puluh menit sejak panggilan itu, mobil sedan hitam milik Erlangga tiba di pelataran depan sebuah gedung.Ia berjalan masuk dengan aura hangat di wajahnya bersama dua pengawal setianya sementara supir menunggu di mobil.Erlangga mengetuk pintu hingga sebuah sahutan terdengar dari dalam ruangan."Selamat pagi, maaf saya terlambat dihari pertama bekerja," ucapnya salah tingkah lalu menarik kursi dan duduk di depannya.Bu Maya segera menggelengkan kepalanya dan berkata, "Enggak, enggak perlu! Jangan meminta maaf pada saya, saya yang seharusnya meminta maaf karena tiba-tiba menelpon anda seperti tadi. Saya seharusnya memberitahu anda kemarin malam, saya minta maaf."Erlangga berdehem pelan, ucapan wanita itu meredakan sedikit rasa bersalah di hatinya.Situasinya benar-benar membuatnya gugup hingga membuatnya pergi dengan perut kosong.Erlangga berpikir untuk segera menyelesaikan tugasnya lalu kemudian pergi mengisi perutnya."Baiklah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sebaiknya kita lakuk

Bab terbaru

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 127

    "Apa kau sudah dapatkan apa yang aku perintahkan padamu?" Prabujaya bertanya tanpa menoleh. Pria paruh baya itu terus berjalan menuju meja kerjanya.Asistennya, Daniel, mengikutinya dan berhenti tepat di depan meja kerja Prabujaya."Putri Ilham Samudera datang untuk mendengar hasil putusan pengadilan. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kabar itu, tapi seseorang pasti telah memberi gadis itu informasi. Dan saya yakin ini adalah ulah Tuan Muda Erlangga," jawab Daniel tegas."Apa kau telah memeriksanya dengan jelas?" Ada tekanan di dalam suara Prabujaya."Tentu saja, Tuan. Saya bisa memastikan semua itu benar," jawab Daniel tegas. "Tapi ada hal yang lebih penting yang harus saya sampaikan. Ini mungkin sedikit mengejutkan, tapi anda harus mengetahuinya." Daniel berusaha memperjelas situasinya."Hal penting apa?" Raut wajah Prabujaya langsung berubah. Matanya menyipit tajam."Ternyata Tuan Muda telah beberapa kali bertemu dengan putri Ilham Samudera dan berusaha untuk mendekat

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 126

    Pukul tujuh tiga puluh pagi, Komplek River Villa.Erlangga terlihat turun dari kamarnya dengan pakaian rapi. Senyum di wajahnya mengembang, membuatnya terlihat menawan pagi ini.Hari ini sudah diputuskan bahwa Erlangga akan kembali ke perusahaan, melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Tetapi haris ditinggalkan dengan setumpuk alasan yang cukup masuk akal.Er sudah bertekad untuk melupakan semua yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Namun, bukan berarti dia telah melupakan obsesinya untuk mendapatkan Viona. Gadis itu tetaplah menjadi maskot kemenangannya."Selamat pagi semuanya." Er menyapa semua orang di ruang makan. Wajahnya sangat cerah pagi ini, membuat Prabujaya berdehem pelan karenanya.Nyonya Helen yang berdiri tak jauh dari Prabujaya juga menatapnya heran penuh curiga. Rasanya sangat aneh dan sulit untuk dipercaya bahwa anak asuhnya akan berubah hanya dalam satu malam. Seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi kepadanya."Ehem ... sepertin

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 125

    "Bukankah Erlangga pergi ke persidangan hari ini? Untuk apa gadis itu mencarinya? Sejak kapan mereka dekat? Apa kau mengetahui sesuatu?"Nyonya Helen tidak berharap Prabujaya akan bertanya tentang hal itu padanyaMeski pria tua itu memaksanya untuk bicara, Nyonya Helen juga tidak tahu harus menjawab apa padanya."Saya juga tidak tahu, Tuan. Nona Viona hanya mengatakan ingin bicara dengan Tuan Muda. Tapi dia tidak menjelaskan alasannya. Bahkan saat saya memintanya pulang, dia menolaknya.""Apa mereka sudah bertemu tadi? Apa yang mereka bicarakan?""Maaf, Tuan ... saya tidak mendengarnya karena saat itu Tuan Muda minta untuk dibuatkan minuman hangat. Dan saat saya kembali, Nona Viona sudah pergi."Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut pria tua itu.Prabujaya tidak percaya sepenuhnya pada wanita itu, tetapi dia juga tidak dapat memaksanya untuk bicara sekarang."Apa Elangga ada di kamarnya?"Wanita itu mengangguk. "Ya, Tuan. Tuan Muda ada di kamarnya."Prabuajaya berdiri. Dia me

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 124

    "Tuan Muda, boleh saya masuk?"Suara panggilan Nyonya Helen bergema diikuti oleh suara ketukan di pintu kamar Erlangga. Namun, tidak ada jawaban.Wanita paruh baya itu mendorong pintu kamarnya dengan lembut lalu masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.Saat ini, Erlangga baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Cuaca dingin ditambah suhu kamarnya yang dingin sama sekali tidak berpengaruh padanya.Dia mengeringkan rambutnya kemudian melempar handuk berwarna putih itu dengan asal di atas ranjang. Dan ketika Erlangga berbalik, dia terkesiap ketika melihat Nyonya Helen sedang berdiri menatapnya. Kehadiran Nyonya Helen di kamarnya membuat jantungnya berdegup kencang."Kapan ibu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?" "Saya sudah mengetuk tapi tidak ada jawaban. Karena khawatir, saya masuk untuk memeriksa," jawab Nyonya Helen.Er mengusap dadanya seraya menyentak napasnya kuat."Ada apa?" tanya Erlangga kesal."Saya hanya ingin bertanya untuk memastikan sesuatu. Apa and

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 123

    "Apa kau melihat gadis tadi? Bukankah itu Viona, tunangan Rangga?" tanya Prabujaya. "Kenapa dia lari terburu-buru?"Daniel langsung menoleh ke belakang dan melihat gadis yang dimaksud oleh Prabujaya sedang berlari keluar rumah sambil menangis.Dia langsung mengenali gadis itu sebagai putri dari Ilham Samudera dan Delia."Itu memang Nona Viona, putri dari Tuan Ilham. Tapi untuk apa dia datang ke sini?" ucap Daniel. Dia mencoba menebak-nebak apa yang baru saja terjadi ketika mereka sedang tidak berada di rumah.Prabujaya menoleh pada asistennya sambil berkata, "Itu adalah tugas untukmu. Cari tahu apa yang terjadi pada gadis itu!""Baik, Tuan," jawab Daniel.Tanpa membuang waktu, Daniel segera meninggalkan rumah itu. Dia segera masuk ke dalam mobil dan mulai mengejar Viona yang telah berada cukup jauh di depan.Hujan lebat tak membatasi gadis itu untuk mengemudikan mobilnya. Suasana hatinya yang buruk telah menyulapnya menjadi raja jalanan secara mendadak.Viona dengan sengaja menyeret d

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 122

    Ada apa? Untuk apa Ibu Helen menelponmu?""Ada wanita yang datang ke rumah mencari anda?""Wanita? Siapa?" Sepasang alis hitam milik Erlangga tertarik ketika keningnya berkerut."Entahlah, saya juga tidak tahu. Nyonya Helen tidak mengatakan apapun tadi."Erlangga memutar matanya, menebak-nebak sosok wanita yang sedang menunggu kedatangannya.Sejauh ini, Er hanya mengenal dua orang wanita saja sejak dirinya kembali ke negaranya."Sylvia? Tidak mungkin! Dia sama sekali belum mengetahui siapa aku sebenarnya. Bagaimana mungkin dia tahu aku tinggal di sana?" Erlangga berbicara pada dirinya sendiri."Apa mungkin wanita itu adalah Nona Viona?" celetuk Alex dari kursi depan.Pikiran Erlangga langsung teralihkan.Ketika mendengar Alex menyebut nama gadis itu, Erlangga teringat kembali pada percakapan antara dirinya dan Viona sehari sebelumnya.Er tidak menyangka, hati gadis itu akan tergerak karena perkataannya."Ayo, buruan! Kita harus tiba lebih dulu dari mereka. Aku tidak ingin Papa bertemu

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 121

    "Siapa?""Pak Hamdan. Apa anda mengenalnya, Pak?" Pak Hasan balik bertanya. Matanya menelusuri setiap perubahan raut di wajah Alex ketika keningnya mulai berkerut."Pak Hamdan? Tentu saja saya kenal dengannya. Dia adalah orang yang telah membantu Tuan Muda kami, tanpa dia mungkin kasus ini akan tetap tersimpan rapat-rapat. Tidak perduli meskipun kami memiliki banyak bukti untuk membuat mereka mendekam di penjara, tanpa bantuannya semua akan sia-sia." Alex berbicara dengan suara rendah untuk menghindari orang yang ingin mencuri dengar.Dia lantas menghembuskan napasnya kuat ke udara, sementara pikirannya melayang membayangkan saat-saat dimana dirinya melakukan banyak hal bersama tuannya untuk mendapatkan semua bukti yang mereka miliki sekarang."Akhirnya ... Tuan Muda Erlangga bisa lebih tenang menjalani hidupnya sekarang," ucap Alex dengan perasaan lega."Syukurlah. Tidak disangka Erlangga mampu melewati semuanya dengan sabar ya, Pak. Jika saja Olivia masih hidup, dia pasti akan sanga

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 120

    Kemunculan keluarga Pak Hasan bersama beberapa warga desa berhasil mencuri perhatian beberapa pencari berita yang telah menunggu di depan pintu ruang sidang.Rombongan warga desa itu terlihat turun dari sebuah mobil keluaran lama dan berdiri menunggu di depan pintu untuk dipersilahkan masuk.Akan tetapi, tak seorang pun dari wartawan itu bergerak untuk mengejar mereka karena berpikir bahwa keluarga Pak Hasan hanyalah warga biasa seperti yang lainnya.Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Laki-laki itu dan istrinya pelan-pelan berpisah dari rombongan untuk mencari Erlangga."Permisi, Pak. Kapan sidangnya akan dimulai, ya?"Pak Hasan mendekati seorang petugas berseragam coklat yang baru saja keluar dari sebuah ruangan di samping ruang sidang untuk bertanya padanya."Mungkim sekitar satu jam lagi," jawab petugas itu.Saat dia akan pergi, Pak Hasan menahannya dan kembali bertanya padanya."Tunggu, Pak. Apa Erlangga sudah tiba di sini?""Erlangga? Maaf, Pak ... saya tidak kenal.

  • DENDAM SANG PEWARIS   Bab. 119

    Daniel mencoba mengabaikan wajah sendu Vionaà sebelum suasana di ruangan itu terkena imbasnya.Dengan suara tegas, Daniel kembali bertanya pada gadis itu. "Bisa beri tahu saya lebih detail apa yang dia katakan pada anda, Nona?"Mata VIona melebar.Entah mengapa Viona merasa bahwa asisten Tuan Prabujaya tidak mempercayai ucapannya.Karena itu, Viona melempar ponselnya dengan kesal di atas meja."Kau bisa baca sepuasnya!"ucap gadis itu lantang, kemudian berlalu dari ruangan itu untuk bersembunyi di kamarnya yang tenang.Semua orang di ruangan itu tercengang dengan aksi Viona yang tiba-tiba.Mereka menatap kepergiannya hingga tubuh Viona perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan."Saya minta maaf, Tuan Ilham. Saya harus lakukan ini demi kebaikan Nona Viona." Daniel segera mencari alasan sebelum kedua orang tua gadis itu mulai menyalahkannya."Jangan diambil hati. Putriku sangat sensitif akhir-akhir ini. Lakukan saja apa yang harus kau lakukan."Daniel mengangguk.Dengan perasaan be

DMCA.com Protection Status