Laura mematung di depan kamar ibunya, setelah berbicara panjang lebar dengan Tristan malam sebelumnya, Laura memutuskan untuk meminta saran ibunya. Tristan mendapatkan kabar dari adiknya di kota sebelah ada lowongan pekerjaan menjadi seorang sopir dengan gaji yang jauh menjanjikan dari menjadi seorang ojek online di sini. Dosen adik Tristan itu mempunyai seorang teman, istri dari seorang CEO katanya, sangat membutuhkan sopir pribadi karena sopir sebelumnya berhenti. Dia kembali ke kampungnya bersama keluarganya. Tristan mengajak Laura untuk ikut dengannya, pindah ke kota sebelah, mengingat mereka adalah suami istri dalam tanda kutip saja maka Tristan tak memaksa jika Laura tak ingin ikut dengannya. Tetapi, Tristan tetap merasa bertanggung jawab dengan Laura karena itu dia menawarkan Laura untuk mengikuti dirinya. Laura menatap pintu kamar ibunya yang tertutup tetapi ada celah di pintu yang menandakn pintu itu tidak di kunci. Saat tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu tiba-tiba
"Oh, ya...dan lagi, sekali ibu berbaring di situ, ibu tak perlu memikirkan sewa rumah ini sampai bulan depan." "Ugh..." Laura meringis, airmatanya akhirnya tumpah, betapa pedihnya persaan Laura saat mendengar ibunya rela melakukan perbuatan hina ini hanya demi uang sewa rumahnya. "Ibu...ibu tak harus melakukannya." Ratap Laura, dia mentap lekat wajah ibunya itu dengan kesedihan, sekarang dia benar-benar bingung memutuskan, apakah dia harus pergi bersama Tristan atau tinggal bersama ibunya dan mengurus Liam. "Apa urusanmu denganku? bukankah kamu sudah memilih hidup sendiri? kamu sudah dewasa dan tak perlu orang lain? Kamu tak punya hak mengatur hidupku.""Aku adalah anakmu?""Oh, ya? sejak kapan kamu ingat kalau aku adalah ibumu, hah?" "Ibu?""Sejak kamu memutuskan menikah dengan si kurang ajar Tristan itu, ibu rasa kita sudah tak memiliki hubungan apa-apa. Suamimu yang superhero itu, dia telah sok mengancamku dan mepermalukan aku. Jangan harap aku akan melihat padanya. Selama kamu
Setelah menerima segala makian dan amarah dari ibunya, Laura hanya mampu menelan rasa sakit dan hancur yang tidak mampu dia utarakan, apa yang dia alami saat ini memang dia akui adalah kesalahannya sendiri, kebodohannya pada saat itu yang begitu saja dengan polosnya percaya dengan bujuk rayu om Bian, namun rasa kecewa tak bisa Laura sembunyikan kala melihat bagaimana sikap yang diperlihatkan oleh perempuan yang sesungguhnya sangat di sayanginya itu. "Bu, mengapa kau begitu kejam padaku?" "Kejam? Aku kejam? wah, sekarang kamu sudah berani menghakimi ibumu." "Aku memang salah, aku mengakuinya, tapi kau adalah ibuku, aku mengkhawatirkan kondisimu, aku tidak rela kau seperti ini, aku sangat tidak rela, tolong jangan menolak permintaan dariku, Bu, semua ini demi dirimu," bujuk Laura lagi, gadis manis dengan tubuh kurus dengan perut yang sudah terlihat membuncit itu dan memiliki kulit putih susu, menatap wajah seorang wanita dengan usia kurang lebih 38 tahun, dihadapannya. Retina mata be
Laura segera bangkit dari tempat duduknya dia berjalan menyusuri jalan di depan bangunan rumah petak mereka, hingga tidak lama kemudian, wanita itu melihat seorang lelaki gagah dan tampan dengan pakaian berwarna biru muda, berdiri tegap membelakangi sebuah Mobil berwarna hampir sama birunya dengan pakaian yang di kenakannya, benar dia adalah Tristan suaminya yang saat ini. Pria itu memberikan tatapan yang dalam kepada Laura. Seperti ingin berbicara sesuatu dan terburu-buru namun tertahan di kerongkongannya. Laura berjalan mendekat dengan rikuh, dia cepat-cepat menghapus air matanya yang membasahi pipinya sedari tadi. Menyembunyikan tangisannya setelah keluar dari rumah ibunya. Sampai Laura kini sudah berada tepat di hadapan suaminya Tristan, wanita itu menghentikan langkah kakinya dan membuang pandangan saat Tristan ingin meminta tanggapan dari wanita itu. Melihat kondisi Laura yang sedih, dan raut wajahnya yang kusut, Tristan akhirnya mengurungkan niat untuk bicara masalah wanita i
Saat mendengar perkataan dari Tristan, Laura termenung sejenak, matanya mencuri pandang pada lelaki yang kini duduk di sampingnya "Hmm... Taman bermain? Kak Tris yakin ingin membawaku ke sana? Bukankah kak Tris masih harus berkerja?" Tanya Laura dengan penasaran. "Ini masih sore, setelah kita ke klinik kandungan, kita bisa berjalan-jalan sebentar. Bukankah setelah kita menikah tak pernah sekalipun kita jalan berdua. Setidaknya biarpun kita cuma suami istri di atas kertas, kita juga perlu jalan-jalan berdua sesekali." Oceh Tristan dengan santai. "Tapi...pakaianku seperti ini?" Laura menyapu pandangan pada badannya sendiri yang hanya terbalut dress sederhana, dia terlihat sangat tidak percaya diri dengan penampilannya saat ini. "Ya... Kenapa tidak? Itu sangat bagus untukmu, kau harus menyetujuinya ya? Jika aku sudah memutuskan untuk membawamu pergi, maka hal lain bisa ditunda," balas, Tristan lagi dengan suara yang lembut. Laura merasakan betapa berbedanya cara Tristan memperlakuk
Setelah beberapa lama mereka berada di dalam perjalanan, akhirnya tibalah mereka berdua di Rumah sakit. Tristan segera memarkirkan Mobilnya, lalu keluar, begitu juga dengan Laura, mereka berjalan beriringan, memasuki ruangannya utama dari klinik kandungan itu. Kemudian, Tristan mendekati tempat resepsionis. "Halo selamat siang, Sus," Sapa Tristan dengan ramah. Senyum terkembang lebar. "Siang kembali, Bapak, ada yang bisa saya bantu?" tanya, seorang perawat wanita yang terlihat sangat ramah dihadapan Tristan dan juga Laura itu. "Poli Ibu dan Anak di mana ya, Sus. Kami ada janji temu dengan Dokter kandungan Liena, tadi aku sudah membuat janji dengannya untuk memeriksakan kandungan istriku" balas Tristan dengan tanpa berbasa-basi. Laura sejenak hanya bisa berkedip menatap pada Tristan, rasanya ada yang menggelayar hangat dalam dadanya. Sikap Tristan ini sungguh menyanjung perasaannya sebagai perempuan yang kini sedang benar-benar membutuhkan perhatian. Tristan telah mendaftarkan pem
"Dia mendengar suara apapun?" Timpal Laura dengan gugup. "Ya, suara apapun.""Termasuk...termasuk jika aku berteriak atau...atau menangis?"Dokter Liena mengeryit dahinya sebelum menjawab, kemudian dia tersenyum."Ya, ibu. Suara dan emosi ibu kan di rasakannya semua. Karena itulah sebaiknya ibu menjaga kondisinya baik kesehatan fisik maupun kesehatan emosinya. Pengaruh emosi yang dapat menimbulkan dampak buruk pada janin seperti terhambatnya pertumbuhan pada janin. Hal ini terjadi saat ibu hamil kerap memproduksi hormon stres yang disebut juga kortisol. Jika kadar hormon tersebut terus naik, pembuluh darah bisa menyempit dan menurunkan aliran darah ke janin. Sehingga, asupan makanan dan oksigen pada janin berkurang yang akhirnya pertumbuhannya menjadi tidak maksimal.""Oh..." Laura hanya menyahut dengan raut penuh sesal, dia merasa berdosa dengan kejadian barusan, ketika dia bertengkar hebat dengan ibunya. "Dia sedikit aktif bergerak beberapa minggu ini. Apalagi kalau malam, rsanya
"Hm..." Pandangan Laura dan Tristan bertemu. Mareka berdua saling bertatapan beberapa saat. Seperti dua orang yang sedang bermesraan. Adegan itu tentu saja membuat Bian yang sedang berdiri di tempat parkir taman, di depan pintu mobilnya terpana, matanya tak berkedip di balik kacamata Raybennya, memerah dan penuh rasa cemburu. Tristan menunjukkan tatapan tidak senang, kemudian pria itu berbicara kepada Laura, "bagaimana jika kita membeli es cream?" kata, Tristan yang segera mengalihkan dan memberi suasana baru."Es Cream?" Laura menurunkan pandangannya ke arah tangan Tristan. "Ya, bagaimana jika kita membeli es Cream?" tawar Tristan sambil menurunkan tangannya dari pipi Laura. Dia sengaja memegang pipi perempuan ini hanya demi menunjukkan pada seseorang yang ada di seberang sana mengenai teritori dan kepemilikannya. Sikap itu sungguh tak biasa dan di lakukan Tristan tanpa di rencana, Tristan sendiri merasa bingung dengan perasaan sendiri yang mendadak menjadi merasa panas. Dia hanya
"Seharusnya kamu meyakinkan dirimu bukan bertanya padaku." Sahut Clair sambil menarik punggungnya dan bersandar di kursi dengan sikap rileks. "Baiklah, aku ingin kau menjaganya baik-baik untukku, tapi ingat jangan sentuh dia!" Bian berucap dengan nada yang dalam seolah dia tak punya pilihan tapi di akhir kalimat dia memberi penekanan yang dalam. "Aku akan mengambilnya jika waktunya tiba, tapi tetap harus kau ingat dengan benar, tanamkan di otakmu jika Laura itu milikku!" Bian terlihat sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.Clair terdiam dengan tampang yang santai dan acuh tak acuh lalu dia menyeringai serta mengangkat tangan kanannya, dan mulai mengacungkan jari jempol tanda dia mengerti dan menyetujui. ***Sementara itu di tempat berbeda dalam waktu yang sama, terlihat wanita cantik dengan pakaian modis tadi yang sedang duduk di dalam sebuah cafe bersama dengan teman-temannya, menikmati musik live dengan
"sebelum aku membeberkan rencanaku, aku ingin mengatakan satu hal lagi padamu sekedar mengingatkanmu..." "Apa?' Clair terdiam sejenak saat pria di depannya itu. "Apa? katakan saja, aku tak suka menunggu." "Apakah kau pernah berpikir saat melakukan semua yang kau inginkan sekrang ada beberapa banyak orang yang kebahagiaan mereka terenggut paksa? Seperti saat ini, tanpa kau sadari, semua rasa sakit, yang Laura hadapi kali ini timbul dikarenakan dirimu, masalah wanita itu sudah menumpuk banyak, layak tidak jika aku menganggapmu egois? Kau tidak bisa mencintai Kejora, bukankah itu adalah masalahmu? Seharusnya sebelum kau membawa dalam kehidupanmu, sebaiknya kau selesaikan semua urusanmu, dengan tempramen Laura yang saat ini, dengan bagaimana kondisimu, aku rasa kau akan bisa memilikinya begitu saja, aku melihat kelembutan dari dalam diri Laura, jadi saranku, sebaiknya kau lepaskan dia terlebih dahulu, selesaikan masalah yang kau hadapi, dan jangan menambah beban Laura yang suatu hari
Mata Bian berkedip sesaat, menatap lurus pada Clair, dia tahu temannya ini kadang memang menentangnya tetapi tak pernah membiarkannya sendiri. "Aku tak mencintai Kejora!" "Kamu tak mencintai Kejora? it's Ok! Pada awalnya mungkin begitu tetapi masa tujuh tahun lebih pernikahan kalian berdua Kejora tak membuatmu mempunyai perasaan apa-apa padanya?" tanya Clair dengan sikap penasaran. "Aku tak memiliki perasaan apa-apa pada kejora seperti dia juga tak pernah memiliki perasaan apapun padaku." "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan jika kalian tak memiliki perasaan apa-apa satu sama lain?" Selidik Clair. "Akh, kamu tak akan mengerti apapun, Clair karena kamu tak pernah menikah." "Ya, aku mungkin tak mengerti apapun tentang pernikahan dan perasaan yang terlibat di dalamnya karena itu aku tidak salah untuk bertanya padamu bukan?" "Aku harus mengatakan berapa kali padamu, Clair. Aku tak pernah menginginkan pernikahanku dengan Kejora tetapi orang-orang di sekitar kami sangat menginginkan
Bian merogoh kantong celananya, dan menelpon seseorang menggunakan smartphone yang dia genggam."Hallo An! Lunasi semua biaya pengobatan Ibu Laura, sekarang juga. Aku akan mengirimkan tagihannya padamu. " kata Bian dengan suara yang tegas.An Baibai tak punya waktu bertanya karena Bian sudah menutup panggilan. ***Laura yang sedang duduk di dalam Kamar pasien. Ibunya telah dipindahkan ke ruang rawat ini dan alat-alat medis itu satu persatu di lepas. Ibunya sudah jauh lebih baik dari sebalumnya, dia menatap wajah Ibunya yang tak kunjung membuka mata setelah di berikan obat tidur mungkin karena tadi ibunya bergumam-gumam tak jelas saat dia masu, suasana kamar yang senyap dan dingin, Laura terlihat sedih memandangi kondisi dari sang ibu."Ibu... maafkan aku, Bu! Maaf...." Ucap laura dengan suara yang lirih. Laura tidak pernah membenci ibunya sendiri, dia tak pernah benar-benar menyalahkan ibunya untuk apa yang telah
"Aku tidak meperdaya dirimu, Laura sayang. Tetapi aku ingin nanti kamu melunasinya dengan jasamu saja, jadilah asistenku selama beberapa hari, maka aku akan menanggap hutang ini lunas!" ucap, Bian dengan lugas dan bibirnya yang menyunggingkan senyum. "Ck! Ternyata benar dugaanku, Om Bian. Tak ada yang tanpa pamrih darimu." "hey, bukankah kamu tak ingin berhutang apapun padaku, aku telah menawarkan bantuan secara percuma atas nama anak kita tetapi kamu jelas-jelas menolakku? Itu hanyalah satu-satu cara untuk membuatmu merasa tak berhutang budi padaku, jadi aku tetap bisa melaksana bagianku." Bian menggedikkan bahunya. Laura terdiam tetapi matanya sekarang menantang ke arah Bian. "Tawaran dari Om Bian ini terlihat sangat matang, begitu mudahnya om Bian memnberikan solusi padaku. Apakah sudah di rencanakan jauh-jauh hari?" tanya Laura kemudian sambil memicingkan matanya. Bian hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Laura, kemudian pria itu tersenyum kecut di hadapan seoran
Melihat Laura yang tak menunjukkan sikap senang dengan perbuatannya, Bian mengerutkan dahinya. Dia mulai tak sabar sebenarnya. "Aku tak punya maksud apa-apa, aku hanya ingin membiayai perawatan Ibumu, apakah aku baru saja melakukan kesalahan?" jawab Bian dengan polos, seolah tidak mengerti arah keberatan Laura. Laura menatap wajah Bian dengan sangat tajam. "Aku memahami manusia licik seperti dirimu om, tidak akan ada hal baik yang kau lakukan dengan cuma-cuma! Jadi, sekarang apa maumu? Om Bian ingin aku melakukan apa untuk membalas budi, kau ingin aku bagaimana untuk membayar?" Sambut Laura yang langsung masuk pada intinya. "Laura..." Bian berusaha meraih pundak Laura, meski dengan kasar Laura menepisnya. Sekarang gadis ini terlihat tidak suka berbasa basi. "Jangan berkata begitu, aku tahu bayi di dalam kandunganmu itu adalah anakku, setidaknya beri aku kesempatan..." "Aku lupa jika anak ini adalah anak om Bian!" "Laura ada apa dengan dirimu? Kemana dirimu yang polos itu?
Laura terlihat sangat terburu, ingin langsung keluar dari dalam Mobil. Akan tetapi, Clair menghadangnya dengan merentangkan tangan, dia memberikan isyarat kepada Laura agar jangan bergerak."Tunggu saja di sini. Aku akan mengurus semuanya."Ucap Clair acuh tak acuh tapi jelas dia bersikap tulus dengan perkataannya. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah sakit, Clair membuka pintu, dan berjalan ke luar pria itu mendatangi petugas rumah sakit, mereka sedang bersama pasien yang pingsan.Di dalam mobil terlihat suasana yang begitu sunyi, tidak ada perbincangan apa pun, Laura hanya memalingkan wajahnya, menatap Clair yang memasuki rumah sakit cukup lama, tak kunjung keluar.Bian yang masih berada di tempat pengemudi, diam-diam pria itu memperhatikan Laura yang terlihat jelas sangat panik, ingin rasanya Bian mendatangi wanita itu dan mencoba untuk memenangkannya. Akan tetapi dia tersadar lagi bagaimana kondisi dirinya dan Laura saat ini.Hingga akhirnya, Clair kembali bersama denga
Dengan segera Bian mengambil kemudi Mobil, dia menjalankan mobil warna siver miliknya dengan hati-hati. Bian beberapa kali menatap wajah Laura dari kaca mobil. Namun sama sekali wanita muda itu tidak menatap dirinya, Laura terlihat cemas akan kondisi dari ibunya yang sangat mengkhawatirkan. Nafas Laura setengah tersengal. "Laura, bagaimana kondisimu? Bagaimana dengan kandunganmu?" tanya Bian tiba-tiba yang menunjukkan rasa khawatir, pria itu mencoba untuk bicara, berharap dapat mencairkan suasana. Laura tak bergeming, dia tak berniat untuk menjawab pertanyaan Bian. "Laura?" "Apa Perdulimu?" Laura menyambar dengan kesal. "Aku hanya bertanya." Bian memelan ludahnya. Dahi pria itu berkerut, dan tatapan dari sepasang bola matanya tajam, terus memperhatikan Laura dari spion di atas kepalanya, memperhatikan wajah gadis kecilnya yang terlihat kelelahan itu. "Akh, senang rasanya tahu bahwa kalian berdua adalah orang yang saling mengenal dan tampaknya pernah begitu akrab." Seloroh Cl
"Menyingkirlah! Jangan mengganggunya!" bentak Clair seakan tak mengenal Bian "Aku yang akan mengurusnya." Bian terdiam, tetapi kemudian dia mengerti saat Clair memberi isyarat agar dirinya menyingkir. Laki-laki ini sedang membuat sebuah skenario dadakan. Clair berjalan ke arah Laura. "Nyonya, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku bisa melihat kamu sangat kesulitan, bagaimana jika aku mengantarmu? Kau ingin pergi ke mana? Ke rumah sakit mana" dalam sekejap mata, Clair terlihat sangat lembut dihadapan Laura, tersenyum manis, kepada wanita itu. "Bukankah kau...." Laura terhenyak melihat wajah Clair pria yang sebelumnya telah membantu dirinya. Pria itu tersenyum sambil mengangguk, "Ya, itu aku yang kamu kira malaikat tadi." Ucap Clair dengan menyeringai. "Sebaiknya kita mengantarkan ibumu sekarang. Jangan terlalu banyak menimbang." Lanjut Clair lagi dengan ramah. Laura terdiam bingung, kemudian Laura memalingkan wajahnya kepada Bian, setidaknya dia lebih mengenal Bian dari