"Kenapa kak Tris melakukan ini padaku?" Tanya Laura saat dia sudah berada di dalam rumah Tristan, yang tepat berada di sebelah rumahnya. Kediaman mereka hanya terpisah dinding tembok saja. Rumah itu adalah rumah petak 4 pintu yang di kontrakkan. Tristan tinggal di kamar paling pinggir bersebelahan dengan kamar Laura, dulu Tristan tinggal bersama adiknya. Tetapi setelah Tika, adiknya lulus kuliah, adiknyaitu bekerja di kota sebelah sebuah Bank Swasta, hanya kadang-kadang jika saat libur akan mengunjungi Tristan. Tristan dan adiknya Tika, dua bersaudara yatim piatu. Tristanlah yang menyekolahkan adiknya itu dengan menjadi ojek online. Dia sudah tinggal di rumah petak ini kurang lebih lima tahun dan tak pernah pindah. Bahkan saat Tika mengajaknya ikut ke kota sebelah, Tristan menolaknya. Dia sudah betah tinggal di situ. "Aku melakukannya karena ayahmu." jawab Tristan sambil memberikan sebuah handuk dan baju daster. Itu adalah baju adiknya. "Ayah?" "Ya, ayahmu."Jawab Tristan pend
"Aku mungkin kurang ajar tetapi aku rasa kita sama saja urusan akhlak, tidak perlu berhitung tinggi dan rendah. Aku akan bersikap sopan jika ibu juga bisa bersikap hal yang sama. Aku tak bisa memaksa diriku menghormati ibu jika ibu sendiri tak pantas mendapat rasa hormatku." Tristan mundur dua langkah, tangannya bersidekap dengan santai di depan dadanya. "Bagaimana kalau kita bernegosiasi saja?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Tristan tepat saat ibu Laura mengepalkan tangannya, berusha memukul ke arah Tristan. "Negosiasi? Negosiasi apa?" Ibu Laura membeliak, tangannya mengepal di udara. "Aku akan menikahi Laura dan mempertanggungjawabkan semua yang kulakukan padanya tetapi ibu harus melepaskannya.""Kamu kira aku akan dengan mudah menyetujuinya? Kamu telah membuatku malu di depan Harman. Jangan kira akau kan memaafkanmu dengan mudah. Lebih baik akau akan mebuat bayi di perut Laura itu mati dari pada harus bermenantukan anak kurang ajar sepertimu!" Dengus ibu Laura dengan tatapa
Laura duduk di pinggir tempat tidur sambil memuntir ujung dasternya, dia menunduk dalam-dalam sambil mengusap air matanya ketika Tristan masuk ke dalam kamar. "Kenapa kak Tris melakukannya?" Tanya Laura lamat-lamat dengan suara serak. "Ya...? Maksudmu apa?" Tristan mengerutkan keningnya sambil merapikan letak kacamatanya, senyumnya sedikit terkembang melihat Laura sudah menggunakan baju dasteradiknya, setidaknya baju itu jauh lebih sopan dari baju yang tadi dikenakan oleh Laura. "Kenapa kak Tris mau...mau menikahiku?" "Oh." satu kata pendek di ucapkan Tristan lalu perlahan laki-laki itu duduk di sebuah kursi kayu yang berada di depan meja kecilnya dimana ada sebuah laptop kecil dan printer miliknya, tempat biasanya dia menerima orderan pembuatan atau pengetikan naskah skripsi. Ya, meskipun Tristan tidak tamat kuliah karena orangtuanya keburu meninggal dalam sebuah kecelakaan tetapi dia pernah 5 semester mengecap bangku kuliah delapan tahunan yang lalu sebelum dia memutuskan b
"Kak Tris..." Suara Laura seperti tertahan saat dia memanggil nama laki-laki yang membuatnya terpana itu. "Ya?" Tristan mengurungkan niatnya untuk melangkahkan kakinya di depan pintu. "Bagaimana kak Tris tahu jika aku sedang hamil?" Tanya Laura, begitu pelan hampir tak terdengar, di suarakan dengan penuh keraguan. Tristan terdiam, dia berbalik menatap langsung ke mata Laura. "Apakah itu penting?" Tristan balik bertanya, suaranya tajam menusuk sampai ke dalam hati Laura. "Tapi...tidak ada seorangpun yang tahu jika aku sedang hamil sekarang selain ibuku."Sahut Laura dengan ragu. "Kamu tak perlu tahu darimana aku tahu, karena itu tak akan merubah apapun. Dia tak akan pernah meninggalkan istrinya demi dirimu. Cinta itu hanya sebatas kata-kata, bahkan andai kamu ingin membuktikannya, kadang kala sama sekali tak berguna." Kalimat itru di katakan Tristan dengan pedih. Sepertinay kepahitan di masa lalunya membuat Tristan kehilangan kepercayaan untuk perasaan itu. "Apakah Kak Tr
Laura sedang duduk di bangku kecil di depan sebuah salon kecil, dia datang terlalu pagi karena salon itu ternyata belum buka. Di salon ini dia sudah berjanji dengan Tristan bertemu. Tristan sendiri mengantarkan seorang pelanggan tetap ojeknya, seorang anak SD untuk di antar ke sekolah. Dia sudah di bayar bulanan hanya untuk mengantar jemput anak itu. Mereka akan menyewa sebuah baju pengantin di sini. Laura sebenarnya tak ingin melakukannya, andai dia menikahpun dia hanya mau menggunakan pakaian biasa saja. "Tidak Laura, meskipun ini pernikahan yang tidak kita cita-citakan tetapi aku ingin kamu tetap seperti pengantin yang lainnya. Aku masih mampu untuk menyewa baju pengantin yang sederhana untukmu besok." Itu yang dikatakan oleh Tristan, saat Laura mengatakan bahwa dia cukup menggunakankan sebuah gaun seadanya yang di belikan ayahnya tiga tahun sebagai hadiah natalnya. "Tak ada gunanya kak Tris membuang-buang uang untuk pernikahan yang kita tahu hanya untuk menutupi kehamilank
Laura berdiri di depan pintu gereja dalam pakaian gaun putih panjang sederhana, itu baju pengantin dengan sewa termurah yang dipilihnya. Ditangannya buket bunga plastik kecil-kecil macam bunga rumput di genggamnya erat-erat. Tidak ada seorangpun yang mengantarnya ke altar seperti pengantin kebanyakan. Ayah kandungnya entah dimana, bahkan dia tak tahu hidup atau mati. Ayah tirinya, satu-satunya yang menyayanginya, telah meninggal setahun yang lalu. Dan ibu? Laura menggeleng perlahan, dia tak berharap ibunya itu akan datang. Ibunya hanya menandatangani surat kuasa kepada seorang wali dari keluarga jauh Tristan untuk menikahkannya. Sempurna! Bukan pernikahan itu yang sempurna tetapi penderitaan Lauralah yang sungguh sempurna. Laura menggeliat kecil, baju itu terasa ketat dan membuatnya sesak nafas, pada bagian pinggangnya terasa sekali baju itu nyaris kekecilan. Mungkin karena lingkar pinggang Laura yang mulai melebar dan bayi di dalam perutnya itu mulai membesar. "Laura..." Tika,
Malam beranjak, Laura dan Tristan kembali dari gereja setelah mereka menikah. Laura sekarang benar-benar akan tinggal bersama Tristan, karenaTristan tidak ingin Laura bersama ibunya. Tristan tak ingin hal yang sama terulang lagi, sama ketika ibu Laura berusaha menjual anaknya itu pada seorang temannya. "Ibu." Panggil Laura yang tadinya termangu di teras rumah, berusaha berfikir cara menemui ibunya tetapi rumahnya terkunci rapat dari dalam. Tristan baru saja kembali dari mengantar adiknya ke terminal Bus,melihat ibunya keluar dia segera menghampiri ibunya, tentunya dia akan menuju bar dimana dia bekerja sebagai pramusaji sekaligus cleaning service itu. "Ada apa lagi?"Tanya ibu Laura dengan acuh tak acuh. "Aku sudah menikahtadi dengan kak Tris."Sahut Laura, dia tak tahu harus bagaimana memberitahu ibunya, tadinya dia berharap ibunya datang, tapi sampai seremoni itu selesai ibunya tak pernah tiba. "Apa perduliku." Ibunya melengos. Laura menghela nafasnya, dia tak lagi memaksa untu
"Laura, kenapa kamu duduk begitu lama di luar?" Tristan berdiri di depan pintu rumahnya yang memang setengah terbuka saat Laura keluar tadi. Laura terkejut dari lamunannya, dengan gugup dia berdiri, sesaat menatap ke arah pintu rumahnya sendiri. Liam tak ada lagi di balik tirai jendela, anak itu telah masuk kamar mungkin, Laura sudah menyuruhnya tidur dan mengatakan dia akan menjaga Liam dari depan, saat anak itu mngatakan dia agak takut di dalam rumah sendiri. Ibu Laura benar-benar kehilangan perasaan seorang ibu sekarang. Tindakannya semakin aneh dan kejam, Laura ingat ada kunci cadangan di dalam laci kecil di dalam lemarinya. Dia akan mengambilnya besok supaya dia bisa menemani Liam jika ibunya pergi. "Cuaca di luar dingin dan pastilah banyak nyamuk, kenapa kamu tidak masuk?" Tegur Tristan lagi, suaranya terdengar berat. Rumah di sebelah kontrakan tidak ada penghuninya, beberapa hari yang lalu penyewanya pindah dan yang paling ujung penyewanya seorang perempuan setengah baya,
"Seharusnya kamu meyakinkan dirimu bukan bertanya padaku." Sahut Clair sambil menarik punggungnya dan bersandar di kursi dengan sikap rileks. "Baiklah, aku ingin kau menjaganya baik-baik untukku, tapi ingat jangan sentuh dia!" Bian berucap dengan nada yang dalam seolah dia tak punya pilihan tapi di akhir kalimat dia memberi penekanan yang dalam. "Aku akan mengambilnya jika waktunya tiba, tapi tetap harus kau ingat dengan benar, tanamkan di otakmu jika Laura itu milikku!" Bian terlihat sangat serius dengan apa yang dia ucapkan.Clair terdiam dengan tampang yang santai dan acuh tak acuh lalu dia menyeringai serta mengangkat tangan kanannya, dan mulai mengacungkan jari jempol tanda dia mengerti dan menyetujui. ***Sementara itu di tempat berbeda dalam waktu yang sama, terlihat wanita cantik dengan pakaian modis tadi yang sedang duduk di dalam sebuah cafe bersama dengan teman-temannya, menikmati musik live dengan
"sebelum aku membeberkan rencanaku, aku ingin mengatakan satu hal lagi padamu sekedar mengingatkanmu..." "Apa?' Clair terdiam sejenak saat pria di depannya itu. "Apa? katakan saja, aku tak suka menunggu." "Apakah kau pernah berpikir saat melakukan semua yang kau inginkan sekrang ada beberapa banyak orang yang kebahagiaan mereka terenggut paksa? Seperti saat ini, tanpa kau sadari, semua rasa sakit, yang Laura hadapi kali ini timbul dikarenakan dirimu, masalah wanita itu sudah menumpuk banyak, layak tidak jika aku menganggapmu egois? Kau tidak bisa mencintai Kejora, bukankah itu adalah masalahmu? Seharusnya sebelum kau membawa dalam kehidupanmu, sebaiknya kau selesaikan semua urusanmu, dengan tempramen Laura yang saat ini, dengan bagaimana kondisimu, aku rasa kau akan bisa memilikinya begitu saja, aku melihat kelembutan dari dalam diri Laura, jadi saranku, sebaiknya kau lepaskan dia terlebih dahulu, selesaikan masalah yang kau hadapi, dan jangan menambah beban Laura yang suatu hari
Mata Bian berkedip sesaat, menatap lurus pada Clair, dia tahu temannya ini kadang memang menentangnya tetapi tak pernah membiarkannya sendiri. "Aku tak mencintai Kejora!" "Kamu tak mencintai Kejora? it's Ok! Pada awalnya mungkin begitu tetapi masa tujuh tahun lebih pernikahan kalian berdua Kejora tak membuatmu mempunyai perasaan apa-apa padanya?" tanya Clair dengan sikap penasaran. "Aku tak memiliki perasaan apa-apa pada kejora seperti dia juga tak pernah memiliki perasaan apapun padaku." "Bagaimana kamu bisa menyimpulkan jika kalian tak memiliki perasaan apa-apa satu sama lain?" Selidik Clair. "Akh, kamu tak akan mengerti apapun, Clair karena kamu tak pernah menikah." "Ya, aku mungkin tak mengerti apapun tentang pernikahan dan perasaan yang terlibat di dalamnya karena itu aku tidak salah untuk bertanya padamu bukan?" "Aku harus mengatakan berapa kali padamu, Clair. Aku tak pernah menginginkan pernikahanku dengan Kejora tetapi orang-orang di sekitar kami sangat menginginkan
Bian merogoh kantong celananya, dan menelpon seseorang menggunakan smartphone yang dia genggam."Hallo An! Lunasi semua biaya pengobatan Ibu Laura, sekarang juga. Aku akan mengirimkan tagihannya padamu. " kata Bian dengan suara yang tegas.An Baibai tak punya waktu bertanya karena Bian sudah menutup panggilan. ***Laura yang sedang duduk di dalam Kamar pasien. Ibunya telah dipindahkan ke ruang rawat ini dan alat-alat medis itu satu persatu di lepas. Ibunya sudah jauh lebih baik dari sebalumnya, dia menatap wajah Ibunya yang tak kunjung membuka mata setelah di berikan obat tidur mungkin karena tadi ibunya bergumam-gumam tak jelas saat dia masu, suasana kamar yang senyap dan dingin, Laura terlihat sedih memandangi kondisi dari sang ibu."Ibu... maafkan aku, Bu! Maaf...." Ucap laura dengan suara yang lirih. Laura tidak pernah membenci ibunya sendiri, dia tak pernah benar-benar menyalahkan ibunya untuk apa yang telah
"Aku tidak meperdaya dirimu, Laura sayang. Tetapi aku ingin nanti kamu melunasinya dengan jasamu saja, jadilah asistenku selama beberapa hari, maka aku akan menanggap hutang ini lunas!" ucap, Bian dengan lugas dan bibirnya yang menyunggingkan senyum. "Ck! Ternyata benar dugaanku, Om Bian. Tak ada yang tanpa pamrih darimu." "hey, bukankah kamu tak ingin berhutang apapun padaku, aku telah menawarkan bantuan secara percuma atas nama anak kita tetapi kamu jelas-jelas menolakku? Itu hanyalah satu-satu cara untuk membuatmu merasa tak berhutang budi padaku, jadi aku tetap bisa melaksana bagianku." Bian menggedikkan bahunya. Laura terdiam tetapi matanya sekarang menantang ke arah Bian. "Tawaran dari Om Bian ini terlihat sangat matang, begitu mudahnya om Bian memnberikan solusi padaku. Apakah sudah di rencanakan jauh-jauh hari?" tanya Laura kemudian sambil memicingkan matanya. Bian hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Laura, kemudian pria itu tersenyum kecut di hadapan seoran
Melihat Laura yang tak menunjukkan sikap senang dengan perbuatannya, Bian mengerutkan dahinya. Dia mulai tak sabar sebenarnya. "Aku tak punya maksud apa-apa, aku hanya ingin membiayai perawatan Ibumu, apakah aku baru saja melakukan kesalahan?" jawab Bian dengan polos, seolah tidak mengerti arah keberatan Laura. Laura menatap wajah Bian dengan sangat tajam. "Aku memahami manusia licik seperti dirimu om, tidak akan ada hal baik yang kau lakukan dengan cuma-cuma! Jadi, sekarang apa maumu? Om Bian ingin aku melakukan apa untuk membalas budi, kau ingin aku bagaimana untuk membayar?" Sambut Laura yang langsung masuk pada intinya. "Laura..." Bian berusaha meraih pundak Laura, meski dengan kasar Laura menepisnya. Sekarang gadis ini terlihat tidak suka berbasa basi. "Jangan berkata begitu, aku tahu bayi di dalam kandunganmu itu adalah anakku, setidaknya beri aku kesempatan..." "Aku lupa jika anak ini adalah anak om Bian!" "Laura ada apa dengan dirimu? Kemana dirimu yang polos itu?
Laura terlihat sangat terburu, ingin langsung keluar dari dalam Mobil. Akan tetapi, Clair menghadangnya dengan merentangkan tangan, dia memberikan isyarat kepada Laura agar jangan bergerak."Tunggu saja di sini. Aku akan mengurus semuanya."Ucap Clair acuh tak acuh tapi jelas dia bersikap tulus dengan perkataannya. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama rumah sakit, Clair membuka pintu, dan berjalan ke luar pria itu mendatangi petugas rumah sakit, mereka sedang bersama pasien yang pingsan.Di dalam mobil terlihat suasana yang begitu sunyi, tidak ada perbincangan apa pun, Laura hanya memalingkan wajahnya, menatap Clair yang memasuki rumah sakit cukup lama, tak kunjung keluar.Bian yang masih berada di tempat pengemudi, diam-diam pria itu memperhatikan Laura yang terlihat jelas sangat panik, ingin rasanya Bian mendatangi wanita itu dan mencoba untuk memenangkannya. Akan tetapi dia tersadar lagi bagaimana kondisi dirinya dan Laura saat ini.Hingga akhirnya, Clair kembali bersama denga
Dengan segera Bian mengambil kemudi Mobil, dia menjalankan mobil warna siver miliknya dengan hati-hati. Bian beberapa kali menatap wajah Laura dari kaca mobil. Namun sama sekali wanita muda itu tidak menatap dirinya, Laura terlihat cemas akan kondisi dari ibunya yang sangat mengkhawatirkan. Nafas Laura setengah tersengal. "Laura, bagaimana kondisimu? Bagaimana dengan kandunganmu?" tanya Bian tiba-tiba yang menunjukkan rasa khawatir, pria itu mencoba untuk bicara, berharap dapat mencairkan suasana. Laura tak bergeming, dia tak berniat untuk menjawab pertanyaan Bian. "Laura?" "Apa Perdulimu?" Laura menyambar dengan kesal. "Aku hanya bertanya." Bian memelan ludahnya. Dahi pria itu berkerut, dan tatapan dari sepasang bola matanya tajam, terus memperhatikan Laura dari spion di atas kepalanya, memperhatikan wajah gadis kecilnya yang terlihat kelelahan itu. "Akh, senang rasanya tahu bahwa kalian berdua adalah orang yang saling mengenal dan tampaknya pernah begitu akrab." Seloroh Cl
"Menyingkirlah! Jangan mengganggunya!" bentak Clair seakan tak mengenal Bian "Aku yang akan mengurusnya." Bian terdiam, tetapi kemudian dia mengerti saat Clair memberi isyarat agar dirinya menyingkir. Laki-laki ini sedang membuat sebuah skenario dadakan. Clair berjalan ke arah Laura. "Nyonya, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian. Aku bisa melihat kamu sangat kesulitan, bagaimana jika aku mengantarmu? Kau ingin pergi ke mana? Ke rumah sakit mana" dalam sekejap mata, Clair terlihat sangat lembut dihadapan Laura, tersenyum manis, kepada wanita itu. "Bukankah kau...." Laura terhenyak melihat wajah Clair pria yang sebelumnya telah membantu dirinya. Pria itu tersenyum sambil mengangguk, "Ya, itu aku yang kamu kira malaikat tadi." Ucap Clair dengan menyeringai. "Sebaiknya kita mengantarkan ibumu sekarang. Jangan terlalu banyak menimbang." Lanjut Clair lagi dengan ramah. Laura terdiam bingung, kemudian Laura memalingkan wajahnya kepada Bian, setidaknya dia lebih mengenal Bian dari