AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (8)PoV INTAN"Pindah?"Suara Axel jelas tak terima. Dia menatapku lekat lekat. Axel baru saja duduk di kelas satu, baru melewati masa orientasi sekolah dan lagi senang-senangnya menikmati masa menjadi siswa baru. "Iya, pindah. Mumpung semester satu baru dimulai. Kita cari sekolah yang bagus ya. Nanti…""Nggak mau Ma. Axel sudah betah sekolah disana.""Tapi bagaimana dengan Dony? Mama nggak mau dia membully kamu lagi."Axel mendesah. "Aku bakalan cuekin dia Ma. Lagipula kan ada Kak Vio."Violet, putri Nadya bersekolah di tempat yang sama. Dan dia satu tingkat di atas Axel. Gadis remaja tomboy dan pemberani yang mengingatkan aku pada Nadya sahabatku. Kemarin saat Axel ribut dengan Dony di sekolah, Vio tak ada karena izin harus ke dokter gigi. Kalau ada Vio, tentu akan lebih ramai lagi karena dia tak akan membiarkan siapapun menyakiti adiknya. Ya, bagi Vio, Axel dan Farin adalah adik-adiknya. Dia tumbuh menjadi gadis pemberani, persis Mamanya.Aku mendesah. Seper
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (9)Kedatangan Nadya dan Aryan bersama Vio mampu membuat wajah Axel sedikit cerah. Mereka bertiga kini duduk di karpet sambil bermain monopoli. Aku tertawa melihat mereka, yang masih suka bermain monopoli meski sudah remaja. Tampaknya mereka hanya sedang menghibur Farin yang berulang kali kalah."Kau sungguh-sungguh In? Pengendara motor tadi sungguh-sungguh sengaja mau menabrakmu?" Aku mengangguk, mengusap bekas luka samar di pipi kiri yang kudapat saat tergores di dasar danau. Luka itu tak terlihat jika disamarkan oleh make up, tapi akan terasa saat diraba. Luka yang selalu mengingatkanku pada kekejaman Surya, mantan suamiku. Usai dia naik banding dari vonis mati menjadi seumur hidup, aku langsung mengajukan gugatan cerai. Tiga tahun kemudian, aku menikah dengan Mas Farrel yang pulang ke Indonesia karena diminta menjadi dosen kehormatan di Universitas nomor 1 di negeri ini. Hingga akhirnya dia kembali ke kota kelahiran kami dan menjadi dosen tetap di kampus
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 10Pov TIGAWanita yang memegang pistol itu, yang memang benar Sindy, mengibaskan tangan, menyuruh Anis pergi. Anis bangun dari posisinya di atas lantai, berjalan mundur dengan lututnya, bersikap seperti seorang anjing penjilat. Sesungguhnya dia memang penjilat. Setahun bekerja di rumah Intan atas perintah Sindy, yang tak bisa melupakan dendamnya. Dia menjadi mata-mata, membisiki Axel bahwa dia bukan anak kandung Papanya, dan mencoba membunuh Intan setiap kali ada kesempatan. Sayang, Dia selalu gagal karena Farrel yang begitu sigap menjaga istrinya. Anis tahu pasti ada kamera di setiap sudut rumah, membuatnya tak bisa mengeksekusi Intan di dalam rumahnya sendiri. Dan lebih dari itu, dia sama sekali tak bisa menggoda Farrel, tuannya yang tampan bukan kepalang.Anis pergi ke belakang, ke kamar yang memang disediakan untuknya. Rumah ini dibeli Anis atas perintah Sindy. Rumah mantan rektor yang mengasingkan diri lalu kabarnya meninggal mendadak tanpa ahli waris. Ru
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (11)"Intan…"Seakan terlempar ke masa empat belas tahun silam, saat dia pertama kali datang ke rumah tahanan, rumahku selama satu tahun lebih setelah ikut andil dalam kematian Jenny, kami kembali saling bertatapan. Kali ini, bukan jeruji besi yang menjadi penghalang, tapi kaca mobil setebal nol koma empat milimeter. Dadaku berdegup kencang. Mengingat semua sikap manis dan lembutnya semenjak kami menjalin hubungan hingga satu minggu masa bulan madu.Bulan madu yang kemudian berubah menjadi petaka.Perlahan, aku seakan kembali merasakan berada di dalam air danau yang dingin. Paru-paruku rasanya membeku. Sekuat tenaga kuhalau semua trauma itu. Di Amerika aku telah bersusah payah menyembuhkan trauma. Aku tak akan membiarkan dia menyakitiku lagi.Aku membuka pintu mobil dan turun, memangkas jarak di antara kami. Dari dekat, barulah kulihat bertapa kurus tubuhnya. Sisi kiri dan kanan pipinya ditumbuhi jambang yang tampaknya dia cukur asal asalan. Ada janggut tipis m
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (12)PoV INTANAku berdiri di depan rumah, bolak balik mengecek jalan raya, menunggu mobil antar jemput sekolah. Farin sudah pulang sejak tadi. Sementara Axel, seharusnya dia sudah tiba sejak setengah jam yang lalu. Sopir mobil jemputan tidak bisa kuhubungi, mungkin sengaja tidak mengangkat telepon agar konsentrasi pada stir. Tepat pukul tiga lebih tiga puluh, bersamaan dengan adzan ashar berkumandang dari masjid komplek, sosoknya muncul dari ujung jalan. Axel pulang berjalan kaki! Dia melangkah sambil menundukan kepala, sementara kakinya bergantian menyepaki kerikil, daun daun kering, dan apa saja yang bisa dia raih dengan kakinya. Dikuasai rasa terkejut, sejenak aku tak mampu melakukan apa-apa. Hingga kemudian aku turun dari teras rumah dan berlari menyongsongnya."Axel, kok jalan kaki? Katanya naik jemputan."Axel langsung meraih tanganku dan menciumnya sebelum melangkah masuk."Axel kok nggak jawab Mama?"Axel berbalik, dan aku terkejut mendapati sinar mat
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 13"Apa maksud Mbak Wulan? Aku hanya bertemu Surya satu kali, di sini, tiga hari yang lalu."Mbak Wulan menyipitkan matanya. "Kau kesini?"Aku mengangguk dengan canggung. "Hanya ingin memastikan bahwa dia tak akan menemui anakku sebelum mendapat izin dariku."Mbak Wulan menatapku curiga."Dan apa yang kau katakan hingga dia pergi? Dia bilang pada Ibu, seorang wanita menawarinya pekerjaan dengan gaji besar. Aku pikir itu kau."Aku menggeleng."Aku sama sekali tidak melakukan itu Mbak."Mbak Wulan lalu duduk dengan wajah sedih di bangku bambu yang ada di teras."Harusnya dia tidak seenaknya pergi. Aku toh ikhlas memberinya makan walau hanya sepiring nasi setiap hari, tanpa lauk."Suaranya membuatku terenyuh. Aku memang gampang iba. Mas Farrel menarikku keluar. Dikeluarkannya beberapa lembar uang seratus ribuan dan diberikannya padaku."Sayang, Berikan pada mertuamu. Kasihan dia."Aku mengangguk tanpa kata-kata dan berjalan melewati Mbak Wulan di teras. Masuk ke d
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (14)PoV INTANAxel turun dari mobil sambil memandang rumah Surya dengan alis mengerut. Dia yang selama ini hidup berkecukupan, sepertinya merasa heran ada rumah yang tampak demikan menyedihkan. Untung saja, halamannya tidak berupa semak belukar lagi.Tanpa berkata-kata, aku menggandeng tangannya menuju pintu. Mas Farrel menyusul di belakang sambil menjunjung kantong berisi kotak kue. Dalam hati, aku bertanya tanya, adalah yang seperti kami? Aku adalah korban percobaan pembunuhan mantan suamiku sendiri. Dan kini aku justru kerap menyambangi keluarganya karena satu alasan : demi Axel."Mama. Berhenti. Aku nggak mau masuk."Suara Axel membuat langkahku terhenti seketika. Kutatap wajah tampan jagoanku. Matanya terpaku pada daun pintu kayu yang lapuk dimakan rayap. Rumah sunyi, tapi aku tahu Ibu ada di dalam, mungkin tengah merenungi hari yang suram usai anak kesayangannya divonis hukuman penjara demikian lama. Terlalu sering menangis membuat penglihatannya kabur.
AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,