“Tidak.”
Apakah ada kotoran di telinganya yang mendistorsi dan mengubah kata “Ya” menjadi sebuah penolakan? Danny menarik-narik telinganya. “Apa?” katanya memastikan.
“I can’t come with you.”
Ini tidak pernah dalam sangkaannya. Apa yang kurang dalam perlakuannya kepada wanita itu? Dia sudah baik. Dia telah melakukan semua yang diinginkan oleh perempuan itu. Apapun. Tapi ini balasannya?
Danny mengepalkan tangan. “But, your dream, my dream… our dream,” katanya.
“My dream?”
Jadi apa yang selama ini dia lakukan, kalau hasil yang dia damba-dambakan diingkari oleh wanita itu? Wajah malaikat Ibu Yasmine berubah tak lagi manis. Fitur bibirnya yang sebelumnya tampak seksi, sekarang menyeringai lebar seperti serigala. Mata tajamnya seakan-akan memburu untuk menerkam.
Danny tidak terima. Dia harus membawa Ibu Yasmine ikut dengannya, ba
Lengkingan itu mendarat di telinga Pak Hidayat. Bertambah lagi misteri yang harus dia pecahkan. Laki-laki itu memungut ponsel dan mengantonginya. Meskipun dia penasaran ingin mengetahui penyebab anaknya meninggalkan ponsel di halaman, namun dia harus bersabar karena ini bisa menunggu. Suara yang mengganggu gendang telinganya barusan adalah prioritas yang harus dia dahulukan.Tempat kejadian perkara dari berlangsungnya jeritan itu adalah kamar tidurnya, sedangkan pelakunya adalah istrinya sendiri. Sewaktu dia melangkahkan kaki ke dalam ruang tempatnya beristirahat tersebut, kondisi Yasmine terlihat payah. Beberapa bagian bajunya sobek-sobek. Siapa yang berani menyakiti istrinya itu?Sambil menangis, Yasmine menunjuk ke cangkir kopi yang ada di meja samping tempat tidur. Istrinya itu bergumam menyebutkan kata. Hanya saja, dia tidak dapat mengerti. Dia menoleh kepada Mbok Surti yang setia berada di sampingnya sedari tadi. Asisten yang bertugas di mansionnya itu tidak berk
“Iya, Pak. Pasien atas nama Dina,” kata Leonardo lewat sambungan telepon. Ada jeda sejenak sebelum akhirnya lawan bicaranya memberikan jawaban.“Kurang pasti,” balasnya karena petugas hospital menanyakan kapan Dina masuk ke rumah sakit tersebut. Tidak berapa lama kemudian, “Belum jelas,” adalah respons Leo sewaktu dia diminta menyebutkan penyakit yang diderita oleh pasien.Terakhir, orang di seberang telepon bertanya, “Nama lengkap pasien?”Leonardo mengingat-ingat apakah Dina pernah menyebutkan nama lengkapnya. Rasa-rasanya tidak. Dia hanya tahu nama ayah perempuan itu, Indra. Oleh karena kegagalannya menyebutkan informasi lengkap mengenai gadis itu, sudah dapat ditebak kalau pencariannya gagal.Di tengah keputusasaannya, Leonardo memandang sekeliling. Kamar hotel itu sempit dengan fasilitas yang tentunya sangat terbatas. Tidak akan ada gunanya mendekam di sini. Dia harus memperluas pencariannya di luar san
Pecut yang mengambang di udara telah siap-siap mendaratkan luka pada badan Mbok Surti. Pak Hidayat sudah mengalirkan seluruh energinya agar nantinya pecutan itu menembus luka pada kulit pembantu itu.Mendadak, pintu ruang kerjanya terbuka. Olivia menerobos masuk dan, “She’s not guilty,” larang gadis itu.Pak Hidayat tidak suka dibantah. Apalagi buktinya sudah jelas. Pembantu di mansion miliknya itu membubuhkan obat ke dalam minuman. Cambuknya tetap terangkat tinggi-tinggi.Di luar dugaannya, Olivia merangsek ke arah Mbok Surti dengan membungkukkan badan. Anak tirinya itu melindungi sang pembantu dengan rangkulannya. Jika Pak Hidayat bersikeras mengayunkan cambuk, bisa dipastikan Olivialah yang terluka. Sesangar-sangarnya dia sebagai pemimpin perusahaan, dia tidak akan tega menyakiti anaknya sendiri. Dia boleh dicap sebagai suami yang kejam, tapi dia adalah ayah yang baik. Dia sendiri yang menjamin demikian.“Dia cuma memba
Sejujurnya, Leonardo tidak siap dengan kemunculan Papa di sana. Di ruang jenazah. Kesedihannya telah meluncur sampai ke perut. Sedu sedan yang tertahan menjadi saksi kalau benteng pertahanannya pun akhirnya jebol.Papa meremas-remas pundaknya. Bukannya membuatnya tenang, gestur itu malah bikin dia bertambah gelisah. Kehadiran ayahnya di situ berarti dia tidak menjalankan fungsinya sebagai anak dengan baik. Tingkahnya merepotkan semua orang, bahkan salah satu cabang bisnis Armadjati Group terancam gulung tikar karenanya. Bukan hanya tutup, tapi Pitidoku juga menghadapi ancaman tuntutan hukum.Hubungannya dengan Papa memang tidak selalu harmonis. Namun, tidak adil rasanya apabila menyangkal semua yang dilakukan oleh pria itu demi menjalani perannya sebagai orangtua. Sebagai anak, dia tidak sepenuhnya paham dengan hubungan Mama dan Papa. Keduanya bermusuhan dan tidak tinggal serumah, itu yang sudah pasti. Namun, ayahnya itu tidak lepas tangan begitu saja. Dia ingat ayahny
Dina tidak ingat kapan terakhir kali dia merasa damai seperti ini. Seolah-olah melayang di udara, bebas bergerak ke manapun. Tidak ada batasan. Bahkan, dia bisa terbang kalau dia mau. Ya, dia akan mencobanya. Yang perlu dia lakukan hanyalah melompat setinggi mungkin sampai akhirnya mengawang-awang. Pasti bisa, tekadnya. Kakinya mengambil ancang-ancang. Tangannya terkepal untuk menambah kekuatan. Lari secepat mungkin agar dapat melambung jauh. Satu… dua… tiga.“Aaargh,” teriaknya karena terjatuh. Dina gagal terbang.“Dina… Dina….”Dia mendengar suara. Tapi Dina tidak mengetahui siapa orang itu. Matanya lengket dan dia berusaha keras untuk membukanya. Sedikit lagi. Namun, kelopak matanya tetap menempel. Kesulitannya melakukan apapun yang dia inginkan menyadarkan Dina kalau kebebasannya telah direnggut. Kalau dalam posisi ini, sudah jelas hanya satu yang dapat dia lakukan. Jangan menyerah. Dia kembali membuka mata
Duduk pada kursi rodanya, Dina meneliti orang-orang yang berada di aula. Perawat yang menemani mereka menunjukkan siapa-siapa saja penghuni yang tidak memiliki identitas di sana.“Korban kecelakaan lalu lintas,” jelasnya kepada perawat berharap informasi itu dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan ayahnya.“Wah, kalau begitu bukan di psikiatri tempatnya.”“Sudah dicek tapi –“Apa ada yang baru datang?” tanya Dina tidak sabaran dengan memotong kata-kata Leonardo. Ini adalah keadaan darurat. Dia tidak bisa menunggu basa-basi dari petugas medis itu.Seperti yang sudah gadis itu duga, perawat yang ada di dekat mereka tidak dapat diajak bekerja sama. Dina ingin marah atas dasar keputusasaan demi menemukan ayahnya. Namun, dia tidak berani menunjukkannya karena walau bagaimanapun mereka membutuhkan bantuan tenaga medis tersebut.“Kalau diizinkan, kami boleh mengecek kamar lain?”
Sejak bersama-sama dengan ayahnya, tidak sekalipun Dina pergi dari sisi orangtuanya itu. Memang, Ayah masih diam saja. Tidak apa-apa, ujarnya dalam hati. Dia mengusap-usap punggung jemari ayahnya untuk mengekspresikan kebahagiaannya.Di sebelah sana, Leonardo sedang bersama dengan seorang dokter. Jarak laki-laki itu dengannya cukup jauh sehingga Dina tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. Dia hanya dapat menyaksikan laki-laki itu bertopang dagu sambil manggut-manggut.Dari tempatnya berada, sosok Leonardo tampak seperti pria yang tegas dan berwibawa. Cara laki-laki itu mengajukan pertanyaan sepertinya membuat dokter senang dan bersedia menjelaskannya sebaik mungkin. Leo memang salah satu jenis manusia yang kehadirannya membuat senang banyak orang. Entahlah itu bakat alami atau karena statusnya sebagai ahli waris Armadjati. Untuk yang terakhir, tampaknya tidak. Pasalnya, tidak ada yang mengenal laki-laki itu di kota kecil seperti ini, bukan?Mata Dina bergeser
Bastian mengganti bajunya yang lusuh dengan kemeja yang lebih rapi. Dia turun menemui keluarga istrinya itu. Ada Daddy, Ambu, dan Wendy yang meskipun sudah tidak mengenakan seragam hospital dan mengenakan riasan wajah, tapi masih tampak pucat. Dia ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Namun, Ambu menghalangi.Laki-laki itu menelengkan kepala pertanda keheranan. Tapi, kepalanya sudah cukup penuh dengan permasalahannya dengan Papi untuk dapat memikirkan yang macam-macam. Dia hanya mempersilakan sosok-sosok di depannya untuk duduk. Di atas meja kopi yang terbuat dari kaca, dia lihat Mbok Surti telah menyuguhkan minuman dan makanan ringan.“Sudah dibolehin pulang sama dr. Bambang?” tanyanya.“Nggak perlu dr. Bambang. Kuretnya sukses. Nggak ada komplikasi.” Ambu yang menjawab pertanyaan Bastian itu.Anak bungsu Keluarga Armadjati itu meneliti air muka Wendy. Istrinya itu hanya menunduk. Dia ingin berbincang berdua saja dengan p
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar