“Kok saya nggak tahu bakal ada tamu?”
Leonardo meletakkan piring buahnya, siap-siap berdiri untuk menyapa Nyonya Rumah Keluarga Sasongko, yang dipanggil oleh Wendy dengan sebutan Mommy. Di sebelahnya, Ambu tetap duduk dan memalingkan muka.
“Apa kabar Tante?” Leo mengulurkan tangan.
Istri pertama Keluarga Sasongko itu menyambutnya dengan genggaman tangan yang erat. “Tante minta maaf ya atas kelakuan Wendy yang menyusahkan keluargamu.”
Leo mendelik keheranan. Dalam persoalan kedua keluarga, laki-laki itu merasa pihak Bastian yang punya banyak kesalahan. Dia yakin Wendy telah menceritakan itu karena permintaan cerai wanita itu disetujui oleh keluarga perempuan itu juga.
“Iin, Wendy belum turun juga?”
Leo tahu kalau Iin itu adalah nama Ambu. Dia melirik ibu kandung Wendy itu yang tahu-tahu terdiam seribu bahasa. “Sebentar lagi, Tante. Katanya lagi mandi,” ucap pria itu mengambil alih.
Sewaktu Leo meneleponnya untuk meminta bertemu, Wendy mengira laki-laki itu ingin membaik-baiki dirinya. Dia salah sangka. Tujuan Leo datang ke rumahnya itu justru karena pria itu mau Wendy kembali kepada Bastian. Di mana dia harus meletakkan mukanya yang sudah tercoreng?“Bukannya kembali ke sekolah jadi keinginanmu sejak lama ya, Wen?”“Iyaaa,” jawab gadis itu sambil menggerutu. Tapi, sialnya dia lahir dalam keluarga yang tidak menghargai wanita. Ayahnya membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Golongan yang terakhir tidak dapat menikmati keistimewaan seperti bersekolah setinggi yang dia mau. Semua tindak-tanduknya akan diatur oleh Daddy dan rencana yang dia buat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari orangtuanya itu.“Bayangkan, kamu bisa mendaftar di perguruan tinggi terbaik, di manapun di dunia. Setiap hari mempelajari hal baru. Kamu bisa sekaligus cari teman atau koneksi yang dapat mendukung cita-citamu na
Matahari masih menampakkan sinarnya sewaktu Dina mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Cahayanya belum terlalu menyepi. Ditemani oleh Nababan, dia dan ayahnya tinggal duduk manis saja karena pengawal tersebut yang mengurus keperluan mereka semuanya. Nababan yang mencari koper-koper bawaan mereka. Pengawal itu juga yang menuntun mereka untuk naik ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Miris. Kisah hidup Dina sepertinya tidak lepas dari mengikuti orang asing masuk ke dalam kendaraannya. Dia masih terluka jika mengingat-ingat peristiwa penculikan yang dia alami sebelumnya. “Naik, Mbak.” Dina tersadar dari pikirannya sendiri dan segera membantu ayahnya naik ke dalam mobil tersebut. Walaupun yang mengundangnya kembali ke Jakarta adalah Olivia, Dina yakin segala keistimewaan yang dia dapat hari ini pasti kiprah dari Keluarga Armadjati. Dina masih tidak habis pikir. Padahal dengan cuma berstatus sebagai anak tiri pada keluarga tersebut, Olivia mampu memulai jari
Di luar dugaan Dina, orang yang memasuki ruang kerja Pak Hidayat itu adalah Leonardo. Anak pertama Keluarga Armadjati itu cepat-cepat mengambil kotak hadiah yang tergeletak di meja.“Papa, Leo kan sudah bilang jangan ada paksaan,” protes laki-laki itu.“Tapi kenapa dia bilang kamu membatalkan pernikahan?” tanya Pak Hidayat.Dina menoleh ke arah ayah dan anak itu berganti-gantian. Sebenarnya, Dina yang tidak ingin melanjutkan rencana itu. Alasannya karena dia tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan Leo. Sudah jelas laki-laki itu tidak mencintainya. Jadi, buat apa meneruskan komitmen tanpa cinta.“Bukannya sudah jelas? Nggak ada yang dilanggar oleh Pitidoku, semuanya legal,” kata Leo.“Dan kamu mengarahkan kepada Bastian. Dia yang akan dicari-cari apabila skandal penyekapan ini terus dipermasalahkan. Tapi kamu lupa satu hal, Leo. Bisnis zaman sekarang tidak hanya soal legal atau ilegal. Itu bisa diatur. Ya
Pertama, Dina harus meminta izin dulu karena rencana yang baru terbit di benaknya itu memerlukan bantuan orang lain. Mungkin orang tersebut akan melakukannya suka rela. Tapi ada kemungkinan juga, tidak. Dina tertegun. Dia terlalu percaya diri kalau niatnya akan berhasil sehingga melupakan yang terakhir itu. Gadis itu mengenyahkan pikiran buruk itu dari kepalanya. Mbok Surti tidak boleh menderita lagi. Dan, dia akan pastikan itu.“Dinner belum bisa dimulai kalau tamu kehormatan kita belum duduk.”Dina menoleh dan menemukan Pak Hidayat masuk ke Ruang Makan dengan menggandeng ayahnya. Kedua orang tua itu sama-sama berstatus sebagai pria yang telah berkeluarga. Usia Pak Hidayat pun lebih tua dibandingkan Ayah. Namun, menyaksikan mereka bersisi-sisian seperti itu, ayah Dina jadi kelihatan seperti kakek-kakek dibandingkan dengan pemimpin Keluarga Armadjati itu.Dina ingin menghampiri Ayah. Namun, dia kalah cepat. Pak Hidayat sudah mendudukkan ayah
Suara Pak Hidayat tertawa terdengar ke seluruh penjuru rumah. Sumbernya dari ruang makan. Di sana, pemimpin Keluarga Armadjati itu sedang menikmati makan malam bersama anak-anaknya Olivia dan Leo. Turut serta bergabung di meja makan adalah Dina dan ayahnya, juga Mbok Surti. Dina yang memaksa asisten senior itu untuk ikut makan malam bersama.“This is nice,” ujar pria tua itu. “Mungkin lain kali Bastian dapat bergabung.”Secara mengejutkan, Dina mengerti kegalauan orang tua itu. Walau bagaimanapun, Bastian adalah anaknya. Sedari dulu, selalu ada perjanjian tak kasat mata yang menyatakan orangtua wajib menerima apapun kondisi anaknya. Oleh sebab itu, cepat atau lambat Dina harus belajar membiarkan kehadiran adik Leo itu di sekitarnya.“Okay… Papa ada urusan kerja lagi. Terima kasih dinner-nya, Mbok Surti. Kalian lanjutkan ya.”Sepeninggal Pak Hidayat, Mbok Surti mulai membereskan piring-p
Restoran yang dipilih oleh Olivia untuk pertemuan lanjutan untuk membicarakan bisnis yang akan dijalankan oleh gadis bule itu bersama temannya, Becky, bertema fine dining. Jadi, tiga jenis makanan disajikan secara bertahap. Mereka sudah ngobrol banyak dan sudah tiba waktunya untuk menikmati makanan penutup.“Puding vanila,” seru Olivia sewaktu makanan itu disajikan ke hadapannya.“What do you think? Masuk ke menu resto kita nanti?” tanya Becky.Dina menikmati dessert yang tersaji dan seketika tidak setuju jika menu tersebut menjadi pilihan restoran milik Olivia dan Becky nanti. Bukan karena makanan penutup itu tidak enak. Namun, rasanya terlalu biasa untuk sebuah rumah makan yang bertema paduan antara Barat dan Indonesia. Tidak ada keunikan rasa yang akan membuat konsumennya terpukau. Dina ingin, menu-menu di restoran masa depan mereka nanti mempunyai faktor yang bikin semua pelanggannya terpesona sehingga merek
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar