Dina terpaku melihat ponsel yang tergeletak di lantai dapur apartemen tempatnya berada saat itu. Pikirannya yang sudah kalut bertambah mumet. Apakah gawai yang dia pinjam dari Leo itu rusak? Kalau ya, bagaimana dia bisa menggantinya? Dina mengutuk dirinya sendiri karena tidak berhati-hati.
Dia menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan perangkat elektronik itu. Coba saja dulu diperiksa. Lagi pula, ada masalah lain yang lebih penting untuk segera dia selesaikan. Ya, ya, banyak urusan yang memenuhi kepalanya. Satu masalah sudah ditimpa dengan masalah lainnya. Serumit itu!
Belum sempat Dina meraih telepon genggam yang jatuh itu, sebentuk tangan lain sudah mendahuluinya. “Maaf,” kata Dina sambil mendongakkan kepala. Leonardo.
Leonardo memeriksa telepon genggam itu. “Kosong, delapan, dua, satu, empat, empat….” Leo menatapnya lama. “Ini siapa?” tanya laki-laki itu.
Dina menjauhkan pandangan matanya. H
Berulang kali Leonardo berusaha meyakinkan Dina untuk melaporkan apa yang dia alami ke polisi. Sebanyak itu pula gadis itu menolak. Terus-terang, dia kecewa dengan jawaban itu. Padahal, dia sudah menawarkan mendatangkan polwan secara khusus. Bastian tidak boleh lolos dari masalah ini. Sampai kapanpun, Leonardo tidak akan menolerir kejahatan.Dina ketakutan, dia tahu itu. Menurut gadis itu, salah langkah sedikit saja bisa membuat nyawa ayahnya hilang. Leonardo tidak percaya Bastian akan bertindak sejauh itu. Rasa-rasanya, adik tirinya itu tidak akan membunuh seseorang. Sontak, peristiwa di kebun anggrek melayang di benaknya. Benarkah? Dia meragukan perasaan yang baru saja terbit tersebut.“Sekarang apa?”Leonardo menoleh. Di sampingnya ada Dina. Tinggi perempuan itu mencapai lehernya sehingga Leo tidak perlu menunduk terlalu dalam demi bertatap-tatapan dengannya. Dari posisinya itu, dia dapat meneliti bola mata besar dan indah yang tidak berani dia pa
Sebenarnya, lokasi rumah yang Leo datangi malam itu tidak begitu jauh dari mansion Keluarga Armadjati. Dari rumah mereka, perjalanan dilanjutkan ke atas bukit. Melewati gerbang utama, Leo disambut oleh jejeran pohon-pohon besar. Laki-laki itu menghentikan mobilnya di halaman. Sambil menggendong tas ransel, dia masih harus berjalan kaki menjajaki paving block untuk pejalan kaki, barulah Leo tiba di depan sebuah rumah bergaya kabin. Namun, begitu dia menjejakkan kaki di terasnya, dia justru membalikkan badan.Tiba-tiba, telepon genggamnya bernyanyi dan spontan dia mengangkatnya agar tidak berisik. “Halo.”Rupanya yang meneleponnya adalah Danny. Asistennya itu mengabarkan kalau Dina sudah diantar untuk menginap di sebuah hotel. “Tapi ada sedikit masalah.”Leonardo tidak mempercayai pendengarannya. Kartu kredit Leo yang dipegang Danny tidak dapat digunakan membayar hotel. Ditolak oleh sistem. Tapi, tak urung dia tersenyum miris. &ldq
“Sekarang kamu bekerja untuk saya.”Jadi, ini alasannya mengapa mobil yang dikendarai oleh Leonardo parkir di depan mansion Keluarga Armadjati. Gerbang masuknya terlihat klasik dengan potongan kayu yang besar dan palang besi melintang di antaranya. Walaupun rumah besar keluarga kaya itu tidak begitu terlihat dari posisi Dina saat ini, tapi dia langsung bergidik mengingat apa yang dia alami di sana.“Kamu akan mendapatkan gaji perbulan. Tapi, seluruh gaji itu akan digunakan untuk melunasi utang.”Dina menengok Leonardo yang duduk di bangku pengemudi. Niat untuk melunasi utang memang sudah ada dalam benaknya. Tapi, tidak dengan cara begini. Tidak di sini.“Jadi?”Dina menoleh berulang kali ke rumah Armadjati. “Aku lebih berguna kalau bekerja di tempat lain.” Bayangan ayahnya terus berseliweran di benak gadis itu. Dia harus memastikan orangtuanya itu selamat.“Di mana?”Dina ter
Dina menarik catatan yang tergantung di atas konter tengah dan menelitinya dari atas ke bawah. Kertas itu bertuliskan menu yang dia persiapkan hari itu; Sup Tomyum, Gado-gado, Nasi Masak Mentega, Mi Goreng Jawa, Ayam Semur, Ikan Bakar Rempah, Sambal Kentang Ati Ampela, dan Sambal Teri Tempe. Semuanya sudah selesai. Dina tersenyum puas. Dia beralih membuka kulkas besar di ruangan itu. Ada jajanan tradisional yang tersimpan di sana; berupa Getuk Lindri, Klepon, dan Lapis Pandan. Nanti begitu acara makan malam hampir berakhir, dia akan menyusun kue-kue itu menjadi 25 porsi dan menyajikannya dengan es krim mochi bikinannya sendiri.“Nduk, sudah siap?”Mbok melongokkan wajahnya di dapur yang menandakan sudah saatnya dia membawa masakan Dina ke meja prasmanan. Pasalnya, tadi asisten senior itu yang menata meja saji di pondok dekat kolam renang. Dina menunjuk kereta dorong yang biasanya digunakan untuk menyajikan makan malam bersama Keluarga Armadjati. Di
Tanpa pikir panjang, Dina berlari ke luar rumah. Helai rambut mulai berlepasan dari ikatannya. Keringatnya pun sudah bercucuran. Dia berhenti tatkala menyaksikan keramaian di kolam renang. Tidak tega dia apabila teriakan minta tolongnya akan merusak pesta Olivia.Sekonyong-konyong, dia melihat Leonardo di pinggir booth foto sedang berbincang-bincang dengan salah satu tamu Olivia. Dina mengepalkan tangan dan mendatangi laki-laki itu.“Dina?” Gelagapan laki-laki itu menyapanya.Dina memberikan kode lambaian tangan agar pria itu mendatanginya.Meskipun menatapnya balik, tapi laki-laki itu tidak segera melakukan apa yang dia mau. “Ini chef hari ini.”Urgensi hal yang harus dia sampaikan kepada Leo mengakibatkan Dina lupa berbasa-basi dengan teman mengobrol laki-laki itu. Tidak mau berlama-lama, dia mengunci pergelangan tangan Leo dan menariknya tergesa-gesa. Dina hanya dapat berharap semua orang sibuk den
Entah sudah berapa lama Dina berjalan mondar-mandir di depan ruang kerja Leonardo. Tapi, laki-laki itu tidak kunjung muncul.“Sedang apa, hayooo?”Bahu Dina terlonjak kaget berpapasan dengan Olivia. Sejenak dia lupa kalau adik Leo itu menempati salah satu kamar di sayap kanan mansion Keluarga Armadjati. Oleh karena itu, ada banyak kesempatan mereka akan sering saling berjumpa.“Omong-omong, makasih ya. Semua suka lho. Pada bungkus.”Tarikan bibir Dina melebar sampai ke cuping telinga. Penghargaan tertinggi dari pelanggan yang menikmati masakannya adalah jika mereka meminta porsi tambahan apalagi kalau dibawa pulang. Mereka ingin orang-orang tersayang di rumah turut menikmati kelezatan makanan tersebut.“Tadi ada yang tanya kontak kamu. Tapi, jangan dulu ya. Harus saya yang pertama pakai kamu.”Sekonyong-konyong, pucuk kepala Leonardo menampakkan wujudnya dari tangga. Dina menggoyang-goyangkan jari, menging
Cahaya kamar tidur masih terang begitu Dina memasukinya. Mbok Surti telah memejamkan mata dan badannya tertutup selimut sampai ke leher. Namun, dia tahu pasti kalau Mbok Surti belum tidur. Pasalnya, sandal kamar masih bertengger di kaki pembantu senior itu. “Mbok…. Maaf,” lirih Dina berkata. “Karena aku, Mbok yang harus meladeni Wendy sekarang.” Tidak ada reaksi apa-apa. Dina melanjutkan, “Aku sakit hati Mbok diperlakukan seperti itu. Padahal, Mbok jauh lebih lama berada di sini ketimbang kedatangan Wendy, kan?” Hening lagi. Hanya suara halus mesin pendingin udara yang mengisi ruangan tersebut. “Aku tahu Mbok belum tidur. Itu sandal bulu belum dilepas.” Kaki yang tidak tertutup selimut langsung ditarik ke atas. Setelahnya, dengan cepat selimut tersingkap dan Mbok Surti bangun untuk duduk. “Nona Wendy nggak salah, Nduk.” “Aku lihat sendiri lho, Mbok. Nggak usah disembunyikan, deh. Lagian, cuma ada kita berdua di sini.” “
Dina menyesap lemon tea lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur. Meja konter yang bersih, kulkas yang mengilap, dan peralatan yang tertata rapi di tempatnya masing-masing. Inilah definisi surga bagi mereka yang bergerak di industri kuliner.Pekerjaannya pagi itu sudah selesai. Dina telah mengantarkan kopi dan sepiring risoles untuk tuannya, Leonardo. Olivia masih tidur dan berpesan tidak ingin diganggu sampai waktunya makan siang. Dia juga telah menikmati nasi goreng bersama Mbok Surti ketika subuh tadi, sebelum rekan kerjanya itu berangkat membeli bahan-bahan untuk keperluan Olivia. Akhirnya, Dina dapat mencicipi rasanya menjadi karyawan yang mengurusi dapur sesuai ilmu yang dia pelajari. Memang bukan cita-citanya menjadi pembantu di rumah orang kaya. Tapi, kesempatan mengembangkan keterampilannya bisa datang dari mana saja, termasuk di tempat ini. Oleh karena itu, Dina ucapkan syukur dalam hati.Dina meletakkan cangkir bekas minumannya ke dalam bak cuci. Ti
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar