Cahaya kamar tidur masih terang begitu Dina memasukinya. Mbok Surti telah memejamkan mata dan badannya tertutup selimut sampai ke leher. Namun, dia tahu pasti kalau Mbok Surti belum tidur. Pasalnya, sandal kamar masih bertengger di kaki pembantu senior itu.
“Mbok…. Maaf,” lirih Dina berkata. “Karena aku, Mbok yang harus meladeni Wendy sekarang.”
Tidak ada reaksi apa-apa.
Dina melanjutkan, “Aku sakit hati Mbok diperlakukan seperti itu. Padahal, Mbok jauh lebih lama berada di sini ketimbang kedatangan Wendy, kan?”
Hening lagi. Hanya suara halus mesin pendingin udara yang mengisi ruangan tersebut.
“Aku tahu Mbok belum tidur. Itu sandal bulu belum dilepas.”
Kaki yang tidak tertutup selimut langsung ditarik ke atas. Setelahnya, dengan cepat selimut tersingkap dan Mbok Surti bangun untuk duduk. “Nona Wendy nggak salah, Nduk.”
“Aku lihat sendiri lho, Mbok. Nggak usah disembunyikan, deh. Lagian, cuma ada kita berdua di sini.”
“
Dina menyesap lemon tea lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur. Meja konter yang bersih, kulkas yang mengilap, dan peralatan yang tertata rapi di tempatnya masing-masing. Inilah definisi surga bagi mereka yang bergerak di industri kuliner.Pekerjaannya pagi itu sudah selesai. Dina telah mengantarkan kopi dan sepiring risoles untuk tuannya, Leonardo. Olivia masih tidur dan berpesan tidak ingin diganggu sampai waktunya makan siang. Dia juga telah menikmati nasi goreng bersama Mbok Surti ketika subuh tadi, sebelum rekan kerjanya itu berangkat membeli bahan-bahan untuk keperluan Olivia. Akhirnya, Dina dapat mencicipi rasanya menjadi karyawan yang mengurusi dapur sesuai ilmu yang dia pelajari. Memang bukan cita-citanya menjadi pembantu di rumah orang kaya. Tapi, kesempatan mengembangkan keterampilannya bisa datang dari mana saja, termasuk di tempat ini. Oleh karena itu, Dina ucapkan syukur dalam hati.Dina meletakkan cangkir bekas minumannya ke dalam bak cuci. Ti
Jengkol, makanan yang meskipun populer di Indonesia tapi belum tentu banyak disukai. Rata-rata alasannya karena baunya yang menyengat, terutama efek setelah memakannya yaitu ketika kita membuang sisa makanan itu dari tubuh.Olivia mengangkat mangkuk yang berisi jengkol. “Nggak sebau yang dibilang orang-orang.”“Tadi direbus dulu,” jelas Dina sambil menata wadah agar berada dalam jangkauan tangan saat proses memasak tiba nanti.“Kamu memang the best,” puji Olivia lalu mengeluarkan ponsel. Dia mengarahkan kamera depan dan memencet tombol.Dina terlambat menyadari kalau Olivia sedang merekam sekitarnya. Dia buru-buru menyingkir dari kamera.“That’s right, guys. Aku akan masak makanan Indonesia. Masak apa? Eits, rahasia. Tungguin videonya, ya.” Olivia menyusuri pesan dari pengikutnya di siaran langsung tersebut. “Dina?” tanya gadis itu tiba-tiba.“Ya,&rdquo
ItsAyu adalah akun media sosial milik Ayu Mawardi, kakak angkatan di kampusnya dulu. Dia kenal benar dengannya karena Dina pernah magang di suatu hotel di Bandung dan kakak kelasnya itu adalah karyawan tetap di sana.“Baunya memang begini?”Dina tersadar dari benaknya yang mengembara ke masa perkuliahannya dulu. Dia menoleh kepada Olivia yang masih mengaduk semur. Sambil mendekati gadis itu, Dina berkata, “Airnya udah menyusut.” Dia lalu mengambil garpu dan menusuk jengkol pelan. “Dan lembut. Bisa diangkat, Mbak.”“Okay. Nyalain kamera, Din.” Olivia menepuk-nepuk wajahnya dengan tisu sebelum menempelkan spons bedak untuk memulas ulang riasan wajahnya.Dari monitor, Dina cukup terpana menyaksikan gerakan Olivia yang luwes mengaduk semur dan menjelaskan kalau masakan itu telah matang. Gadis itu tidak terlihat canggung sewaktu memindahkan semur jengkol ke piring saji. Olivia adalah tipe orang
Di tengah-tengah perkembangan media sosial yang pesat, cara seseorang mencitrakan dirinya adalah penting. Kita berharap akan diidentifikasikan orang lain sebagai apa; sahabat dekat, kakak yang tahu segalanya, mama online tempat curhat, tetangga seksi, cewek alim, atau bahkan selebritas idola yang super eksklusif.Olivia sendiri memilih identitas sebagai cewek dewasa muda yang menikmati hidup. Jadi, konten yang dia pilih seringkali menampilkan kegiatannya bersenang-senang; wisata, makan-makan, belanja, dan mengikuti tren gaya hidup terkini. Beruntung gadis itu dianugerahi wajah bule yang dipuja-puja oleh banyak warga Indonesia sehingga dengan cepat dia mengumpulkan follower yang kerap mengikuti unggahannya di media sosial.Akan tetapi, kesuksesannya sebagai influencer bukanlah semata-mata karena menunggu durian runtuh. Kecerdasannya dalam melihat peluang sangat berperan di sini. Olivia memanfaatkan kecintaan dan rasa bangga berlebihan penontonnya terha
Kesibukan Dina ketika bertuankan Bastian dan sekarang Leo sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda. Pagi-pagi dia sudah bangun dan bersih-bersih. Dina mencuci piring bekas makan malam Keluarga Armadjati. Kepada Wendy, dia akan menunggu perintah perempuan itu. Jadi, tugasnya baru diberikan sewaktu istri Bastian itu bangun. Di bawah komando Leo, dia diizinkan bereksperimen memasak dengan memanfaatkan bahan yang tersedia di dapur. Oleh sebab itu, sekarang dia ada di dapur untuk menyiapkan sarapan bagi majikannya. Getuk yang sudah dia campur air pandan berwarna semburat kehijauan dalam wadah berbentuk kotak. Kemudian, Dina menyimpannya ke dalam kulkas. Tidak perlu lama-lama, hanya untuk mendinginkan sebelum menyajikannya untuk Leo nanti. Dia tersenyum-senyum membayangkan ekspresi senang laki-laki itu jika melihat jajanan pasar favoritnya itu tersedia di meja. Dina melirik ke meja kecil yang terletak di dapur. Senyumnya kembali melebar. Tadi malam, di sanalah Leo menikmati s
“There you are.”Kedatangan Olivia membuat Wendy minggir. Dia takut dengan perempuan itu. Orang-orang bilang Bastian menyeramkan, tapi Wendy lebih salah tingkah jika berhadap-hadapan dengan kakak Bastian itu.“Hai, Liv,” sapa Wendy yang tidak berbuah tanggapan sama sekali. Dia mengedikkan bahu mendapati perempuan berambut cokelat itu mendekati Dina.Tidak lama kemudian, kedatangan Leonardo mengejutkannya. Namun, melihat raut wajah pria itu yang menegangkan, dia membatalkan niat bermanja-manja dengan kakak iparnya itu. Dia duduk saja dan mengamati semuanya.Wendy mencibir begitu Dina berpura-pura tenang menawarkan makanan. Pembantu satu itu memang pintar memanipulasi keadaan. Dia sudah mencurigai sejak wanita itu datang ke rumah ini. Rok seragamnya terlalu pendek. Dia yakin Dina sengaja menggunting bagian bawahnya. Belum lagi ukurannya yang kekecilan sehingga menunjukkan lekuk-lekuk tubuh pembantu itu dengan jelas. Wajar sa
Dina melirik pendingin udara di ruang kerja Leo yang menyala sempurna. Tapi, keringat di dahi laki-laki itu bercucuran. Dina dalam situasi serba salah. Dia ingin menanyakan banyak hal. Dia mau menjelaskan semua kesalahpahaman.“Startup saya, Pitidoku ikutan diserang rating satu.”Dina ikut-ikutan keringat dingin. Dia mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Kenapa dia harus menceritakan semuanya secara lengkap kepada Ayu? Harusnya ucapannya simpel saja, meminta kakak angkatannya itu menengok ayahnya. Itu saja cukup.“Maaf,” lirih Dina berkata.Leonardo menatapnya. Dina sudah beberapa kali menyaksikan wajah pria itu dengan segala ekspresinya. Dia menjamin saat itu raut wajah laki-laki itu jauh dari kata bahagia. Marah dan kecewa, itu sudah pasti. Benci?“Hubungi temanmu itu.”Memang itu yang disarankannya dari tadi. Namun, kepanikan kakak-beradik itu mengaburkan akal sehat mereka. Sudah, sudah
Semalaman itu Dina tidak bisa tidur. Kalau saja dia memiliki ponselnya sendiri di tangannya, Dina pasti sudah menelusuri media sosial yang membicarakan kasus Olivia. Dia sudah mendengar klarifikasi Ayu yang dibacakan oleh Leonardo. Ya, kakak kelasnya itu mengunggah pernyataan maaf karena telah salah paham. Dina mungkin tidak begitu mengingatnya kata perkata, tetapi dia beruntung karena senior kampusnya itu mau melaksanakan permintaannya juga. Ayu bersedia mengatakan keberadaan Dina adalah secara sukarela. Detilnya, dia tidak begitu tahu karena Olivia dan Leo tidak memberikannya kesempatan untuk melihat butir klarifikasi itu secara utuh.Dina berguling di kasurnya. Di sebelah ranjangnya, Mbok Surti tertidur lelap. Memorinya membuka kembali momen malam di mana pembantu setia Keluarga Armadjati itu membantunya kabur. Dia memejamkan mata. Tidak ingin mengingat-ingat peristiwa yang membuatnya trauma tersebut. Kalau saja waktu itu usaha pelariannya berhasil, begitu Dina membatin.
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar