“Adi!”Teriakan seseorang dari depan resto membuyarkan dua pikiran yang sedang mereka-reka apa gerangan hubungan anak kecil itu dengan Pak Candra.“Mama!” teriak anak kecil yang bersama mereka. Anak itu juga turun dari kursi dan berlari menuju ibunya.“Adi, kamu membuat Mama khawatir!” Sesaat kemudian, wanita itu melangkah maju dan menemui Sasha dan Inka lalu berkata, “Terima kasih ya sudah menjaga anakku. Astaga, aku hampir gila dibuatnya!”“Kebetulan kami melihatnya.” Sasha langsung membalas.Mata wanita itu lalu tertuju pada makanan yang ada di atas meja. Ia menatap wajah anaknya dan mulai menatap dengan tajam.“Aku tidak memintanya, Ma. Mereka yang menawari aku makan,” ucapnya. “Iyakan, Kak?” Menunggu sebuah konfirmasi dari Sasha dan Inka.“Tidak apa-apa, Bu. Kami senang bisa membantu.”Lain di mulut dan lain di hati. Bagaimana pun juga Sahsa masih menganggap makanan seharga 80.000 itu mahal. Sasha dan Inka merasa seperti pahlawan kali ini.“Duh, aku kayak enggak sopan sekali ya.
“Papamu akan datang nanti. Kalau memang sudah waktunya.” Balasan dari belakang Andita membuatnya terkejut. Itu adalah Candra. Sungguh, ia sama sekali tidak ingin adik lelakinya menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Anak laki-lakinya pasti akan menuntut semua itu. “Jangan dengarkan Pamanmu. Ia hanya berbicara sembarangan.” Andita mencoba untuk menjauhkan Adi dari Candra. “Hei, aku ini tidak sedang berbohong. Aku sendiri yang akan membawa laki-laki itu untuk datang. Ia perlu menjenguk Adi beberapa kali.” “Hentikan, Candra! Aku tidak mau bertemu dengannya!” “Bukan untukmu. Ini untuk keluarga kecil yang akan kubangun nanti. Aku tak mau istriku menyangka aku sama sekali tidak perhatian dengan keluargaku.” Candra lalu menunduk sejajar dengan Adi. “Papamu akan datang nanti.” *** Hari demi hari terus berganti. Mau tak mau, banyak persiapan yang harus diperbuat pasangan calon pengantin itu. Jika saja ia tidak menggunakan jasa WO, itu akan membuat mereka lebih sibuk lagi. Di sela-sela
Inka mengambil kesempatan untuk berbicara 4 mata dengan Candra. Ia membawanya ke luar, di dekat kolam. Ada tempat duduk di sana dan mereka bisa berduaan saja. Ini tidak seperti yang ada dalam perjanjian mereka. Tidak ada kontak fisik atau semacam itu. Bagaimana bisa muncul pembicaraan tentang anak?“Kamu ingin berduaan denganku, ya?” goda Candra.“Bukan! Sama sekali bukan itu! Kita perlu meluruskan semua ini. Mengapa mereka—tidak, kamu juga. Apa maksudnya tentang anak? Hei, tidak ada anak dalam perjanjian kita.”Candra menikmati rasa khawatir Inka. Ia ingin mempermainkannya lebih jauh.“Bukankah wajar jika dalam pernikahan ada anak. Aku dan kamu juga tidak bisa menjamin jika kita berdua ternyata bisa terjebak dalam nafsu nantinya—”Inka menutup kedua tangannya. “Hentikan! Aku tidak mau mendengarnya!”“Hahaha! Kau ini lucu sekali! Aku hanya sedang berusaha meyakinkan pihak keluargaku. Mana bisa mereka percaya begitu saja kalau aku akan menikah. Perkataanku tadi adalah cara yang paling
“Ah, daripada memikirkan tentang itu, bagaimana kalau kita turun ke bawah dan menikmati jamuan makan malam,” ajak Andita. “Meski ini acara keluarga, tenang saja … kali ini tidak ada meja besar yang terlalu kaku. Kamu bisa memilih mau makan di mana.”“Aku akan ikut kamu saja.”Begitulah Inka mengikuti ke mana Andita pergi. Candra sama sekali tidak muncul lagi selama makan malam. Ia menurunkan amarahnya terlebih dulu sebelum bertemu dengan Inka.Ia juga sudah berganti pakaian begitu pun dengan Andita. Hanya kemeja santai dan celana jeans. Meski keluarga yang lain masih lengkap dengan jas beserta gaun, asalkan ada seseorang yang sama dengannya, Inka tidak akan merasa minder.“Pakaian ini lebih nyaman dari gaun. Benar, ‘kan? Aku juga tidak setuju sebenarnya pertemuan keluarga menggunakan gaun. Apa-apaan itu?”“Mungkin biar terlihat formal.”Inka dan Andita terus bersama. Ada baiknya juga selama pesta kecil-kecilan itu Andita menjadi ‘pengawal pribadinya’. Sosok wanita lain dari sana menat
“Ada hal yang belum bisa kamu ketahui. Pelan-pelan ya, Inka. Nanti juga kamu akan tahu bagaimana kehidupan di keluarga kami dan segala problematic di dalamnya.” Untuk saat ini, Andita hanya bisa menjelaskan seperti itu. “Kuharap rumah tanggamu nanti tidak seperti aku.” Wanita itu menghela napas setelahnya.Inka belum mengetahui semuanya tetapi ia memilih untuk mendekati Andita. Dipeluknya tubuh wanita itu dan menepuk pelan bahunya.“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Kak Andita.”“Haha! Kamu bahkan belum tahu apa yang sebenarya terjadi. Sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu padamu.” Andita melepaskan pelukan Inka. “Selagi bisa, kamu harus menjauh dari keluarga kami.”Betapa terkejutnya Inka saat mendengar kalimat itu. Mengapa ia diminta untuk pergi? Apakah ini sebuah test atau sebenarnya ia tidak disukai oleh wanita yang terlihat baik padanya? Banyak sekali pertanyaan sekejap muncul dalam benaknya.“Kenapa aku harus pergi? Bukankah semakin banyak tantangan dalam hidup akan sema
Inka memeriksa kembali keadaan pintu apartemen. Mimpi itu tidak bisa disepelekan olehnya. Ia membayangkan jika semua itu benar-benar terjadi. Image Candra dalam bayangannya semakin buruk.“Aish! Kenapa bisa mimpi itu sangat mengganggu?!”Ia meminum air satu gelas lalu berusaha untuk tidur kembali. Pikirnya semudah itu, tetapi pada kenyataannya sampai menjelang pagi tak kunjung juga ia merasa kantuk. Saat ia memutuskan untu bangkit dari tempat tidur, dilihatnyalah matahari sudah terbit.“Ah, lama-lama bosan juga di sini tidak buat apa-apa. Masih jam tujuh pagi pula. Apa yang harus aku lakukan? Hari ini tidak banyak kegiatan. Fitting baju? Belum ditentukan.”Baru beberapa hari berada di apartemen sembari menunggu hari lamaran, Inka sudah mulai bosan. Entah mengapa, ia merindukan meja kantornya dan tentu saja Sasha. Terkadang juga omelan Diana menjadi hal yang dirindukan. Rasanya seperti ada yang kurang dalam sehari.“Dia pasti sedang dianiaya Diana di kantor. Aku ingin kembali bekerja t
Sang pengacara tidak ingin membahasnya lagi. Ia tahu sebenarnya jika di sana Candra dan Giselle tengah berkelahi. Bukan hal yang baru lagi untuk ditangkap oleh kedua telinganya.“Aku benar, ‘kan?”Saat Giselle keluar dari ruangan kerja Candra, Inka semakin yakin.“Bu Giselle, apa ada sesuatu di dalam sana?”Giselle menahan amarahnya. Rasanya jengkel saat mendengar bagaimana gadis itu bertanya padanya. Namun, tetap saja ia harus mengontrol semuanya dengan baik.“Apa? Kenapa?” tanyanya beralasan.“Anda baik-baik saja? Kupikir aku mendengar Anda berteriak di dalam.”“Kamu salah dengar, kali! Kami sedang menghubungi pihak lain untuk proposal bisnis. Apa kamu yakin mendengar suara keras Inka? Mungkin karena persiapan pernikahanmu membuatmu sedikit tidak enak badan.” Giselle tak mau berlama-lama di sana. “Aku pergi dulu. Masih banyak yang harus kuurus hari ini.”“Ah, baiklah.”Bersamaan dengan Giselle, pengacara itu juga memutuskan untuk pergi. Inka ditinggal sendirian di ruangan besar. War
Seorang pria di sana sedang sibuk dengan urusan kecilnya. Satu per satu pakaian dimasukkan ke dalam kotak hitam besar. Ya, itu adalah sebuah koper yang siap membawanya menemui sang putri kesayangan. Sesekali ia tersenyum bahkan bersenandung kecil. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana putrinya saat kecil dulu. Jika memikirkan anak kesayangannya itu akan menikah, ada perasaan sedih yang tak bisa dijelaskan. Meski begitu, bahagia yang dirasakan lebih banyak. Sayang sekali, tidak semua orang di sana merasa bahagia. “Jadi kamu akan tetap pergi ke Jekardah dan meninggalkan aku di sini?” Satu tangan wanita di sana tertongkak di pinggang. “Astaga, apa masih harus mempermasalahkan itu? Bagaimana dengan pernikahan Inka? Kami juga mengajakmu untuk ke sana dan hadir. Kamu sendiri yang tidak mau.” Ia berusaha membalas dengan nada yang manis. “Sayang, kan bisa dengan wakil saja. Bagaimana kalau Neneknya Inka saja yang pergi? Aku sedang sekarat seperti ini dan kamu mau meninggalkan aku?” bujukn
"Jangan terlalu percaya diri, Candra. Tidak semua yang kamu bayangkan akan kamu dapatkan." Inka menegaskan sekali lagi. Itu hanya di mulut saja. Kenyataannya, ia adalah orang yang perlu mendapatkan peringatan keras agar tidak jatuh cinta pada Candra. "Kamu lapar?" Candra menggunakan topik lain. "Ayo bersiaplah, kita makan di luar saja. Ah, ini adalah pemborosan di rumah tangga."Inka melipat tangan di depan dada lalu memasang wajah kesal. "Kamu ini sebenarnya punya banyak uang atau tidak, sih? Hanya makan di resto saja mengeluhnya sangat luar biasa!""Tetap saja jika menghamburkan uang, kita bisa jatuh miskin."Kata 'kita' begitu manis untuk diucapkan. Telinga gadis itu mulai panas. Bagaimana bisa Candra mulai menyatukan mereka dengan seenaknya. "Kalau memang keberatan, ya sudah ... aku akan masak sekarang," keluh Inka. Ia menuju dapur, membuka kulkas dengan kasar. Matanya mulai melihat-lihat bahan makanan di sana yang bisa dijadikan makanan. "Kalau tidak mau mengajak makan, ya ja
“Inka, kenapa harus bersembunyi, sih?” “Siapa yang bersembunyi? Aku hanya tidak mau berbicara denganmu!” “Memangnya susah ya tinggal di sini? Ini bagus untuk kita. Semakin sedikit orang yang kita temui, semakin baik. Kamu lupa soal kontrak itu?” “Terserah kamu saja! Lagipula, apa pun yang aku katakan tidak akan berpengaruh padamu!” Inka gusar. Ia tahu tidak memiliki power menghadapi Candra. Hidup terkurung selama 11 bulan tersisa hanyalah yang bisa ia lakukan. Kontrak sudah berjalan, tidak ada celah. Setelah dipikirkannya kembali, uang bulanan dari Candra cukup besar. Setidaknya, itu bisa menyembuhkan sedikit rasa kesalnya. “Jadi, kamu maunya kita tinggal di mana?” tanya Candra menahan emosinya. “Ayo bicarakan baik-baik. Yang perlu kamu tahu, kalau kita tidak tinggal di sini, maka pilihannya adalah bersama ayahku.” Itu keadaan yang sama menjengkelkan. Inka sudah membayangkan kehidupan seperti di film-film. Apakah ia menjadi menantu yang dikuasai mertua dengan segala kekejamannya?
Andita berhenti dengan kegiatannya. Sayur yang sedang dipotong itu ditinggalkannya. Ia bergerak menuju Inka dan memeluknya erat.“Katakan padaku apa saja yang kamu rasakan. Perlukah aku mencarikan dokter yang hebat?”Saat mendengar suara halus Andita, Inka ingin tertawa keras.“Aku tidak apa-apa, Kak Andita. Aku hanya sedang berpikir saja seandainya ada hal yang buruk terjadi.”“Astaga. Kupikir kamu mau mengatakan kalau hasil pemeriksaan kesehatanmu—”Inka menggenggam tangan Andita. Ia menatap lalu tersenyum. “Kak, aku baik-baik saja. Rahimku sangat bagus. Lalu, Candra juga sangat sehat. Ini tidak ada hubungannya dengan mandul atau sejenisnya.”Satu hal penting tidak bisa diucapkan bibir itu. Perjanjian tanpa sentuhan fisik. Jangankan mau punya anak, tidur satu ranjang pun tidak terjadi.“Jangan membahasnya lagi. Besok ayah dan nenekmu akan kembali ke Paris. Apa boleh aku ikut? Lumayan numpang gratis.”“Tentu. Kenapa tidak? Aku akan bilang pada ayahku secepatnya.” Inka bahkan sudah si
"Jadi, bagaimana dengan malam pertamamu?"Blush!Pipi Inka merona. Pertanyaan dari Andita membuatnya salah tingkah. Meski tidak ada yang terjadi, tetap saja pertanyaan itu terlalu brutal. Apakah semua pengantin baru selalu mendapatkan pertanyaan ini? "Stt! Sudah, meski kamu tidak memberitahukannya, aku tahu apa yang sudah terjadi, hihihi.""Ti-Tidak, Kak. Antara aku dan Candra benar-benar tidak ada apa-apa. Kami langsung tidur begitu hari menjelang malam.""Oh, Inka. Aku sangat tahu Candra. Ia tidak akan membebaskanmu begitu saja." Andita malah menuju kamar mereka. "Uh, sepertinya hal yg brutal terjadi tadi malam." Inka semakin tersudutkan. Kamar yang berantakan karena Inka melempar bantal pada Candra tadi pagi kini membuatnya tidak bisa berkutik."Sumpah! Kami tidak melakukan apa-apa!" Inka sudah hampir gila untuk menjelaskan semua itu."Lupakan saja. Aku akan menganggap seperti itu."Mengelak, memberi alasan bahkan menjelaskan dengan detail pun hanya akan sia-sia. Pada akhirnya In
"Kembali bekerja. Sepertinya aku terlalu baik padamu sampai kamu lupa kalau aku adalah bos di sini.""Aku mengerti."Rehan tidak berkutik saat Candra mulai menunjukkan kekuasannya. "Hubungi kembali Rani dan pastikan proyek kali ini berhasil. Aku tidak akn menyerah soal itu.""Itu yang ingin aku bicarakan padamu. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."Candra memasukkan dua tangan ke dalam saku dan berjalan menuju Rehan yang sedang duduk di sofa. "Apa kamu mencurigai seseorang?" Satu alis mata Candra naik. Rehan mengangguk pelan. Pikirannya kembali pada peristiwa kemarin saat pesta pernikahan itu. Giselle yang tidak tahu jika ada seseorang yang mendengar pembicaraanya bersama orang lain."Kamu yakin mau melihat mantan terindahmu menikah? Bagaimana kalau kita hancurkan pesta ini."Rehan berusaha fokus dan menebak siap yang sedang bersama Giselle saat itu. "Aku hanya ingin menjadi saudara perempuan yang baik. Mengejutkan Inka sudah cukup bagiku.""Ayolah, hanya sekali keme
“Ckckck, berani-beraninya menyebut nama pria lain di hadapan suamimu.”“Emang kenapa? Pernikahan ini hanyalah semu. Aku juga tidak mau menganggap serius perlakuanmu nanti. Tenang saja, aku profersional.” Inka terlalu percaya diri mengatakannya.“Dengan siapa pun tidak masalah. Tentang Rehan aku tidak suka!”Inka semakin terheran-heran dengan tingkah Candra. Mengapa membatasi ruang geraknya? Lagipula, Rehan adalah sepupu Candra. Kenapa ia malah melarangnya untuk dekat dengan pria itu? Sungguh hal yang sama sekali tidak masuk akal!“Meski dilarang, aku tidak peduli. Tidak ada semacam itu di kontrak kita. Aku akan melakukan apa yang kusuka.”Inka meninggalkan Candra di sofa dan naik ke atas ranjang.“Kamu bisa tidur di sofa, oke?” kata gadis itu dengan sangat santai. “Empuknya!”Candra berkacak pinggang. Panas hatinya melihat mantan karyawan yang terlalu berani padanya.“Di mana Inka yang selalu hormat padaku? Aku tidak percaya jika gadis itu sekarang bahkan bisa memerintahku seenaknya.”
Tatapan tajam bagai elang yang siap memangsa dihadiahkan untuk gadis berponi di sana.“Harus sekarang membahas tentang perceraian?” Candra benar-benar tidak habis pikir. “Masa ada satu tahun dan kamu sudah memikirkan tentang itu?”“Ya mau bagaimana lagi? Satu tahun itu cepat, kok.” Inka sangat santai saat membalasnya. “Pernikahan kita saja hanya sebulan dipersiapkan. Oh, aku lupa bukan setahun. Sebelas bulan lagi. Kontrak itu di mulai saat aku tanda-tangan.”“Hm … kamu benar-benar ingin bercerai?”Inka mengangguk senang. Senyuman di bibirnya sangat lebar. Saat membayangkan lepas dari perjanjian saja sudah bisa menyenangkan hatinya.“Cerai, ya?”Berbeda dengan Inka, Candra terlihat tidak senang mendengar kata ‘perceraian’. Ia tidak ingin semua itu terjadi.“Oke, aku anggap kamu menantangku. Entahlah tapi … kurasa nantinya kamu akan memohon agar kita tidak berpisah.”“Apa? Haha! Hayalan macam apa ini? Pak Candra, jangan terlalu percaya diri. Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan plu
“Aku ke sini hanya untuk menikmati indahnya suasana vila.”Wanita itu tidak peduli. Ia malah duduk di samping kolam dengan santai. Rehan yang melihatnya lalu bertepuk tangan. Keberanian yang luar biasa untuk membalas perkataan Candra dengan sangat santai.“Kalian berdua benar-benar tidak tahu malu!” umpat Candra.Candra memutuskan pergi dari kolam. Tidak ada gunanya masih berada dan menghirup udara yang sama di sekitar sana. Saat ia kembali ke kamar, Inka terlihat tidur nyenyak di sana. Piyama pink yang dikenakan Inka terlihat lucu malam itu. Candra menghela napas. Itu artinya ia akan tidur di sofa. Sungguh hari yang terlalu menyebalkan!“Kamu sudah kembali?” Inka bergerak dari posisinya yang damai.Candra menoleh ke arah suara dan berkata, “Kupikir kamu tidur.”“Aku hanya berbaring. Ini tempat baru. Aku tidak bisa tidur,” terang Inka. “Waktu pertama di apartemenmu juga aku tidak bisa tidur.”“Kenapa? Karena sekamar denganku? Tenang, aku tidak akan melakukan apa pun padamu.”“Bukan. A
“Hidup berbahagia selamanya!”Sorak-sorak dari penari setelah menampilkan tarian indah terdengar. Inka tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya hari ini. Semalaman ia berpikir panjang tentang ini dan itu. Pada akhirnya, ia ingin menikmati momen indah yang dimilikinya.“Senyummu lebar sekali. Apa kamu senang menikah denganku?” tanya Candra membuat perasaannya terusik. Ia juga sesekali curi-curi pandang pada pengantinnya. Cantik—satu kata untuk menjelaskan tentang Inka.“Aku hanya menikmati setiap momen dalam hidup. Kamu juga, ayo kita menyapa tamu undangan.” Pada akhirnya, Inka mengontrol emosinya.Inka menggenggam tangan suaminya dan mulai perlahan menelusuri taman itu dan menyapa satu per satu tamu dengan senyuman yang paling manis.“Auramu benar-benar keluar dengan sempurna. Duh, duh, duh!” Sasha langsung berkomentar saat didatangi sang pengantin.“Mungkin kamu harus mengikutiku menikah segera,” goda Inka.“Tidak, tidak! Aku mau menikmati masa lajangku sampai puas!” tolak Sasha. “Ak