Kediaman keluarga Alexander, terlihat ramai karena kedatangan beberapa rekan kerja untuk bertanya mengenai kejadian yang menimpa Rivo.
“Anda baik-baik saja ‘kan?” tanya Kean, terkejut saat mendengar berita kecelakaan yang menimpa Rivo.
“Hanya luka lecet saja.”
“Sebenarnya, masalah apa yang terjadi?” sahut Avian.
“Entahlah, karena anak sulungku belum mau menjelaskan masalahnya.”
“Begitu. Mungkin saja, anakmu tidak ingin keluarganya khawatir dan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri," tutur Avian mencoba menebak.
“Ya, tetap saja diberitahu atau tidak diberitahu membuat semuanya khawatir.” Kean kembali menyahut.
“Anda benar, sudah dipaksa tetap saja anakku tetap tidak mau memberitahu.” Rivo menghela napas gusar, khawatir dengan anak sulungnya yang memiliki masalah dengan mafia.
“Kemarin, Rafan yang menolong?” tanya Avian lagi.
Setelah membantai pembunuh yang disewa Bram, Rafan berjalan keluar dari gang sempit itu berniat kembali ke hutan. Namun langkahnya terhenti, merasa ada seseorang yang terus mengawasinya dari jauh.Rafan mulai menyadari, saat membantai pembunuh bayaran yang disewa Bram. Ada banyak sekali pasang mata yang melirik ke arahnya. Rafan kembali mengamati sekitar, setelahnya berjalan kembali. Lagi-lagi, mendadak terhenti saat seorang laki-laki paruh baya muncul—mulai tersenyum aneh ke arahnya.“Kau menakjubkan, bisa membunuh mereka sendirian.” Orion muncul setelah melihat aksi pembantaian yang dilakukan oleh Rafan.Rafan hanya melirik datar, kemudian berjalan lagi—melewati Orion begitu saja. Orion masih tersenyum aneh, lalu memberi sinyal agar anak buahnya mengejar dan menangkap Rafan. Bahkan, salah satu anak buah Orion langsung membidiknya. Namun meleset, karena Rafan cepat sekali menghindar, kemudian melakukan parkour.Rafan mengumpat kes
Di tengah kota, Orion semakin menatap licik Rafan. Sedangkan Rafan masih terdiam tidak mengatakan apapun, terus menatap Orion.“Kenapa diam? Kau tidak khawatir dengan orang tuamu kah?”Rafan tidak bergeming, tetapi semakin menatap diam Orion, yang terus saja mengoceh bahkan menatap licik dirinya.“Atau jangan-jangan ... kau tidak bisa memikirkan cara untuk menyelamatkan orang tuamu, kah?” sahut Orion lagi, mulai menatap remeh Rafan.“Cara ya?” Rafan akhirnya berbicara lagi, dengan nada agak pelan, bahkan mulai menatap dingin Orion.“Tentu saja. Bukankah kau ingin menyelamatkan orang tuamu?” balas Orion, semakin menatap remeh Rafan.Rafan terdiam lagi, tiba-tiba tertawa. Sepertinya depresi berat yang dialami Rafan, kembali terlihat. Hal itu membuat Orion bingung.“Haha!” Rafan terus tertawa gila, tangannya mulai memegangi kepalanya.“Apa-apaan kau? Orang tuamu dia
Rafan terus-menerus terhempas keras, akibat serangan anak buah Orion. Kondisinya benar-benar parah, sebelah tangan patah, perut tertusuk, dan darahnya terus merembes. Rafan tetap diam, setelah menerima semua serangannya.“Kali ini kau akan mati!” Langsung menendang tubuh Rafan.Rafan kembali terhempas jauh dan tergeletak di jalan raya, Orion mendekatinya dan menatap remeh Rafan.“Haha! Lemah kau!” tutur Orion, melihat Rafan yang sama sekali tidak bergeming. “Mati kau!”Ssssh apa benar aku akan mati?Rafan berusaha menggerakkan tubuhnya dan berhasil, langsung menangkap kaki anak buah Orion, yang ingin menginjak kepalanya dan dengan cepat melintir paksa.“Aaarghh le—lep—” teriakan anak buah Orion, kembali terdengar karena sebelah kakinya dipelintir paksa hingga patah.Rafan berhasil bangkit, langsung memberi tendangan telak semua anak buah Orion yang
Refan hanya memejamkan mata, ketika Orion ingin membunuhnya. Namun, aneh karena mendengar teriakan Orion dan tubuhnya tidak merasakan sakit, perlahan membuka matanya dan terkejut. Tiba-tiba ada besi yang menusuk tubuh Orion, dari belakang, hingga menembus ke perutnya. Membuat besi yang di cengkeraman Orion terjatuh.Orion meringis, lalu menoleh ke belakang dan terkejut melihat pelaku yang menusuk tubuhnya.“K-kau ma—”Langsung ditarik kasar besi yang tertancap diperut, dan menendang keras tubuh Orion hingga terhempas jauh.“Se-ser—” teriak Orion saat ingin memberi sinyal kepada semua anak buahnya terhenti, sang pelaku ralat Rafan langsung menusuk tubuhnya lagi.Rafan berulang kali menusuk seluruh tubuh Orion, dengan besi yang tadinya tertancap di perutnya. “Ma-mati! Mati! Mati! Mati!” racau Rafan, terus menusuk tubuh Orion bahkan mengoyaknya. Lalu menginjak kepala Orion dengan keras berulang kali, hin
Satu tahun telah berlalu, bahkan mulai tersebar berita baru—padahal sebelumnya sudah tidak pernah didengar lagi. Namun, ternyata ada yaitu terjadi lagi teror yang menggemparkan satu perusahaan yaitu LAN Corp. Kebetulan baru satu tahun berdiri.Pagi ini, ditemukan banyak sekali potongan tubuh manusia. Tidak hanya itu saja, bahkan semua berkas dan data-data penting sudah diacak-acak bahkan disabotase, hingga pemilik perusahaan mengalami kerugian besar.“Sudah periksa CCTV?” tanya Polisi, pada pemilik perusahaan.“Sudah, tapi CCTV dinonaktifkan oleh peneror. Sebelum memulai mengacak-acak ruang pemilik perusahaan, dan membuat empat petugas keamanan yang berjaga sekarat dan dua lainnya tidak ditemukan.”“Dua lainnya tidak ditemukan, artinya potongan tubuh manusia itu ... mayat mereka, kah? Mungkin saja, enam petugas berusaha menangkap. Namun, gagal dan peneror meninggalkan bukti dengan membunuh dua petugas, sisanya dibiarkan
Terlihat sepasang kekasih tidak lain adalah Refan dan Vio—sedang berjalan dengan keheningan—terus saja menyelimuti mereka. Hingga akhirnya, memutuskan singgah sebentar di salah satu kedai yang letaknya hampir mendekati perumahan.Salah satu dari mereka mendadak haus, terbukti jelas hanya Refan yang membeli minuman, sedangkan Vio langsung menolak, meskipun sebelumnya sudah ditawarkan oleh Refan. Refan mulai membuka tutup botol dan menenggaknya hingga habis tidak tersisa, kemudian tatapannya beralih ke arah Vio—yang sedari tadi diam saja.“Berhenti cemburu,” celetuk Refan.“Bagaimana tidak cemburu! Aku selalu melihat dia menatapmu terus! Tebakanku kali ini benar, dia pasti suka denganmu!"Vio membalas celetukan Refan dengan nada sewot—ditambah masih terbakar api cemburu. Membuatnya semakin kesal, dan terus-menerus terbawa emosi. Sedangkan Refan, hanya menghela napas pasrah.“Hanya dia, sedangkan aku tid
Di kediaman Adriano, seperti biasa Asya selalu terbangun tengah malam. Bahkan, kini tengah melangkah keluar dari kamarnya. Melirik sejenak ke ruang tengah, lagi-lagi melihat adiknya tertidur pulas di sofa.“Aksa bangun! Pindah ke kamar sana!” Asya langsung menguncang-guncang tubuh adiknya.“Diamlah!” Aksa menepis pelan tangan Asya, dan tidur lagi.Asya menghela napas pasrah, karena Aksa terus saja keluar rumah. Pulang-pulang, berakhir tidur di sofa. Seketika badmood, karena sifat Aksa amat keras kepala sekali. Asya kembali ke tujuan awal, yaitu pergi ke dapur.Untuk mengambil botol air mineral. Kemudian, kembali ke ruang tengah dan mendudukan diri di sebelah Aksa. Ternyata, Aksa bangun. Terbukti, tengah duduk bersandar. Mendadak mulai menatap aneh Aksa, karena terus mengamati dirinya—entah apa itu?“Apa?” tanya Asya, sembari meminum habis air dalam botol, dan itu membuat rasa hausnya menghilang.
Di salah satu restoran, Asya terlihat berkumpul dengan keluarganya sesuai ajakan Arina untuk makan malam bersama di luar. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan, meskipun sekadar makan makan malam di luar. Efek kesibukan dunia bisnis, membuat Asya tinggal berdua dengan Aksa. Sedangkan orang tuanya sibuk ke luar kota. Mereka sudah menghabiskan makanan yang dipesan, memutuskan memulai obrolan kecil.“Seneng?” tanya Arina, sambil menatap kedua anaknya.“Iya dong.” Asya membalas cepat, hingga teringat akan sesuatu hal. “Kalian tidak keluar kota lagi, ‘kan?”“Tidak kok.” Azdi membalas pertanyaan Asya, kemudian melirik ke arah Aksa sedari tadi diam terus. “Kenapa?”“Nggak!” balas Aksa dengan nada amat ketus.Azdi menghela napas pasrah. “Masih keluar tengah malam kah?”Aksa terdiam, hal itu membuat orang tuanya menghela napas gusar.“Bisa kau hentika
Menjelang berakhirnya liburan sekolah, Asya terlihat berada di kediaman Alexander. Bisa dibilang, sejak dua hari yang lalu. Karena orang tua mereka sedang keluar kota, keluarga Alexander menawarkan agar Asya dan Aksa menginap. Takut terjadi sesuatu lagi, itu sebabnya keluarga Alexander menawarkan mereka untuk menginap, selama ditinggal keluar kota beberapa hari.Di ruang tengah, Asya duduk diam di sofa. Matanya, amat fokus ke novel yang sedari tadi dibacanya. Di sebelah sofa yang diduduki Asya, ada Rafan sedang asik berbaring. Sebenarnya, hanya mereka berdua saja. Para pelayan selama libur sekolah, Diberi cuti semua, jadi hanya ada si kembar dan kedua anak keluarga Adriano.Sekarang, hanya Rafan dan Asya saja. Refan keluar rumah, katanya mau jalan dengan Vio. Aksa, entahlah sejak pagi sudah lebih dulu pergi."Biasanya, kau diam-diam kabur ke hutan gitu?" Asya mendelik heran ke arah Rafan, yang asik berbaring di sofa panjang."Hm, lagi malas saja." Rafan b
Tidak terasa, waktu telah berlalu begitu cepat, kini sedang ada waktu luang. Lebih tepatnya, sedang libur sekolah. Setelah melaksanakan ujian kenaikan kelas, si kembar hanya menghabiskan waktu liburan sekolah di rumah. Berbeda sekali dengan yang lain, pastinya jalan bersama keluarga entah ke mana.Sayangnya, si kembar dan keluarganya tidak pergi ke manapun. Kalau diperhatikan lebih jelas, hanya Refan yang terlihat diam di rumah. Terkadang, jalan sebentar keluar rumah sebagai penghilang bosan dan itu—sendirian.Karena, selama liburan sisi liarnya semakin menjadi. Setiap pagi buta, keberadaan Rafan sudah hilang dari rumah. Rafan pergi ke hutan. Hingga siang tiba, masih betah di alam liar. Memang dasarnya, malas untuk pulang. Kalau Refan bosan, pasti jalan sendiri entah ke mana. Lain halnya dengan Rafan, ketika bosan melanda memilih melatih kemampuannya. Sekaligus, berkeliaran secara bebas.Kini Rafan, terlihat berbaring tanpa peduli tanah atau kotoran lain m
Semenjak kejadian itu, keluarga Alexander hanya bisa pasrah dan menunggu. Karena Rafan pergi dan sama sekali belum kembali, meskipun rasa khawatir terus menghampiri mereka. Ditambah rasa takut, kalau Rafan melakukan self injury lagi.Refan terdiam, senang karena masalah selesai. Tetapi, takut Rafan tidak kembali. Lagi-lagi, Refan hanya bisa menunggu, seperti dulu yang dilakukannya."Kakak," ucap Refan lirih, ingin sekali melihat Rafan pulang.Selama sekolah, Refan benar-benar tidak fokus karena memikirkan Rafan. Begitu juga, dengan Asya yang sudah mulai sekolah lagi. Asya sempat takut keluar rumah, hingga memutuskan izin tidak sekolah untuk beberapa waktu. Di satu sisi, Asya khawatir saat dapat kabar dari Aksa. Kalau Rafan tidak pulang.Arvian, tidak menyangka kalau ada satu anak didiknya lagi yang melakukan hal kejam. Bahkan, yang lebih parah. Arion anak dari Orion mafia yang dulu meneror keluarga Alexander, sekaligus hampir membuat Rafan sekara
Sejak Raskal memberitahu, kalau anak Orion yang mengawasi dan menculik Asya. Rafan langsung pergi ke markas lama milik Orion dulu, saat dirinya dijadikan kelinci percobaan. Sebenarnya, Rafan sudah menebak kalau anak Orion yang mengintai. Tidak lain, adalah Arion.Saat berusaha mendekati Asya. Rafan awalnya biasa, tetapi mulai familier dengan wajah Arion. Namun, Rafan sengaja mendiamkannya dan pergi. Walau sebenarnya, Rafan terus waspada dengan rencana Arion terhadapnya.Rafan mulai menyerang brutal anak buah Arion, juga membantainya satu persatu. Meskipun, dengan tangan kosong. Mulai dari menangkis serangan, menangkap dan mematahkan anggota tubuh mereka, dengan menariknya amat kuat hingga terputus dari tubuh mereka.Rafan mengabaikan teriakan kesakitan mereka, terus menyerang brutal atau lebih tepatnya kembali melakukan pembantaian. Buktinya, perlahan anak buah Arion yang disuruh berjaga, terkapar di mana-mana. Bahkan, darah juga ikutan berceceran. Rafan kembali
Di kediaman Alexander, Rafan masih terdiam di ruang tengah. Pikirannya yang tadi kacau sekarang sudah agak tenang, tetapi firasat itu kembali dirasakannya. Rafan memegangi kepalanya dan bergumam pelan."Mereka sudah memulainya ya?"Refan yang mendengar gumaman Rafan, kembali bingung dan khawatir. "Mulai apa, Kak?" Dengan spontan, Refan bertanya. Namun, Rafan tidak menjawab, malah semakin memegangi kepalanya. Hal itu, membuat Refan dilanda kepanikan lagi. Rafan terpejam dan berusaha tenang lagi.Mereka benar-benar membawanya.Rafan membuka matanya, terlihat sekali tatapannya begitu kosong. Refan benar-benar dilanda kepanikan amat besar, terlebih lagi melihat Rafan beranjak dari sofa, melangkah menuju pintu. Refan langsung mengekor dan bertanya."Mau ke mana?" Refan semakin khawatir.Rafan tidak menjawab, terus berjalan keluar dari rumah."Kakak!" panggil Refan lagi."Ada apa? Kakakmu mau ke mana?" Rivo dan Risa, i
Sudah terhitung 30 menit berlalu kegiatan sekolah usai. Kali ini, semua siswa tumben masih betah berada di sekolah. Termasuk, Rafan. Entah kenapa, masih ingin berada di sekolah. Buktinya, terlihat duduk sembari melamun di kelas. Tatapan Rafan yang sejak tadi tertuju pada luar jendela, kini beralih pada Aksa yang baru ingin pulang.Aksa merasa diperhatikan, langsung mendelik aneh Rafan. Hingga kembali teringat sesuatu, sekarang ingin memastikan lagi dengan benar. "Kau sedang bermasalah ya?" Aksa spontan berkata begitu, tetapi matanya menatap amat serius."Ya, sejak kemarin.” Pada akhirnya Rafan menjawab. “Kau merasa aneh denganku, ‘kan? Bisa dibilang, sedang waspada dengan sekitar. Untuk mencari tau, siapa orang itu dan antek-anteknya terus mengikutiku sejak kemarin." Rafan menjelaskannya sesuai fakta, pada Aksa.Rafan sengaja membeberkannya, biasanya selalu disembunyikan. Namun, merasa ada sesuatu yang direncanakan oleh orang yang mengikutinya.
Tengah malam Rafan masih terjaga, masih memikirkan siapa yang mengikutinya. Yakin, tidak pernah membuat masalah, kalau dulu itu karena ada yang mengusiknya. Baru Rafan akan bertindak.Rafan merebahkan diri, berusaha menepis dan tidur. Tetap saja tidak bisa, pikirannya masih melayang pada sekelompok orang yang mengikutinya."Siapa dan mau apa mereka?" Rafan benar-benar bingung. "Ketenangku hanya sebentar saja kah?" ucap Rafan amat lirih, telapak tangannya terus memegangi kepalanya.Mencoba berubah, tetapi banyak sekali masalah yang menghampirinya. Rumit sekali, menurutnya. Rafan mencoba untuk tidur lagi dan berusaha untuk menenangkan pikirannya sebentar, sebelum masalah baru benar-benar mendatanginya.****Keesokan harinya, saat sarapan Rafan hanya terdiam dan langsung pergi duluan. Refan berhasil mengikutinya, tetapi Rafan semakin diam. Sepertinya, kebiasaan dulu mulai terlihat lagi. Rafan kembali tampang datar dan terkesan dingin,
Saat jam istirahat, seperti biasa Rafan memilih duduk di halaman belakang sekolah. Yang dilakukan hanya terpejam untuk menenangkan pikirannya, terkadang orang lain pikir amat membosankan. Sedangkan bagi Rafan tidak.Selama menjadi siswa SMA, Rafan paling anti diajak ke kantin sekolah. Sekalinya ke kantin, itu pun dipaksa Refan.Tidak lama kemudian, Asya datang dan ikut duduk di sebelah Rafan. Semenjak menjalin hubungan, Asya selalu mendekatinya. Jujur, masih aneh. Meskipun sudah berusaha untuk membiasakan diri.Asya heran dengan Rafan, jarang sekali ke kantin. "Kau tidak lapar atau haus gitu?""Tidak." Rafan dengan santainya berkata begitu.Asya semakin heran, memilih memakan roti sosis yang dibelinya tadi.Rafan melirik Asya sibuk makan roti sosisnya, sedangkan yang dilirik menoleh. Benar saja, kembali mengernyit heran.Asya menyodorkan satu roti sosis, kebetulan membeli dua. “Mau?”"Tidak.""Bener?" E
Aksa terdiam sejenak, setelah mendengar penuturan Rafan. Hingga rasa khawatir dan posesif mulai menguasainya. Aksa menghela napas sejenak, lambat laun mulai menatap serius. Rafan sendiri hanya melirik heran, saat sorot mata Aksa berubah serius terhadapnya.Hingga, berhasil menduga sesuatu hal. "Kau tidak percaya?"Aksa berdeham pelan. “Percaya, hanya saja ...."Walau Aksa tidak melanjutkan perkataannya, Rafan langsung memahaminya. Itu, terlihat jelas dari raut wajah Aksa, sepertinya khawatir—sangat posesif dengan Asya."Aku tau kau mencemaskan Asya karena dekat denganku, ‘kan?" tebak Rafan.Aksa agak tersentak, karena tebakan Rafan benar sekali. "Ya, tapi sudah tidak. Karena, tidak mungkin juga melarang atau memaksanya menjauh darimu." Yang ada, Aksa yang akan dijauhi. Meskipun, niat baik. Tetapi, kalau soal kebahagiaan Asya. Aksa tidak bisa ikut campur."Ehm, baguslah. Tapi, terserah kau kalau masih belum bisa mempercayaik