Xaferius seketika menarik gigitannya dengan bibir yang masih dipenuhi darah, lantas mengarahkan tatapannya padaku, “Sakit? Bagus, kau memang layak mendapatkannya.”
“Sakit sekali,” rengekku sambil menahan tangis.
“Apa kau masih berpikir bahwa aku pasangan yang sempurna sekarang setelah hukuman yang kau dapatkan?”
Air mataku pun serta-merta tumpah di hadapan Xaferius dan bergumam, “Maafkan aku.”
“Aku memang akan selalu memaafkanmu, tetapi kau harus membayar pengkhianatan yang telah kau lakukan secara sadar di belakangku dengan cara yang berbeda.”
“Apa maksudmu?”
<Kami duduk di atas sofa sekarang—berpelukan dan menikmati dua cangkir minuman cokelat panas—seperti pasangan normal. Aku membuka percakapan yang rasanya sudah lama hilang di antara kami. Xaferius merangkul pundakku dengan lembut sambil sesekali mengangguk atau menggeleng sebagai tanggapan.“Jadi, bagaimana kondisi portal? Apa semuanya baik-baik saja?”“Kau tidak perlu mencemaskan hal itu, Anna. Mereka telah mengurusnya.”“Aku hanya penasaran.”“Gadisku memang selalu ingin tahu,” seloroh Xaferius yang tersenyum samar padaku.“Kau belum menceritakan tentang lukamu. Bagaimana kau mendapatkannya?
Hari-hari yang kulalui bersama Xaferius selalu menyenangkan—penuh afeksi—di setiap detiknya. Bulan-bulan bergeser dengan cepat. Kami pun tiba di penghujung tahun dan musim dingin datang jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Suhu turun drastis di titik minus, sementara salju terus berjatuhan sejak tadi malam. Rasanya seolah-olah embusan napasku sanggup membeku kapan saja.Kehidupan kami terasa monoton, tetapi tenang selepas Pavla menghilang dari insiden mengerikan yang telah terjadi di kawasan portal waktu itu. Dia tak lagi muncul atau bahkan terdengar kabarnya oleh para kawanan, begitu juga dengan Aldrich. Aku sudah lama sekali tak bertemu dengan pria itu. Ikatan yang pernah terjalin di antara kami berdua pun serta-merta berakhir setelah dia menjauh.“Apa kau sudah siap, Anna?” tanya Xaferius yang masih sabar
Kami tiba di New Orleans—kota metropolitan yang terbelah oleh Sungai Mississippi itu—pada waktu setempat. Langit senja turun menyambut kami setelah berhasil mendarat dengan aman di Bandara Internasional Louis Armstrong. Aku menyambut uluran tangan Xaferius yang ingin berjalan berdampingan denganku. Kami saling berpegangan—mengaitkan jemari satu sama lain—seperti kekasih umumnya.“Apa kau lelah?” tanya Xaferius yang kembali membuka obrolan di antara kami sebelum memasuki ruangan berikutnya untuk mengambil bagasi.“Ya. Aku ingin melepas leherku saja jika itu memang bisa kulakukan.”“Apa kau perlu bantuanku?”“Itu hanya kiasan, Xaferius. Apa kau be
“Berhentilah khawatir secara berlebihan sebab kita sudah sampai sekarang,” ucapnya dengan sorot mata yang dijejali oleh ledakan euforia.Kami kemudian bergegas turun dari taksi setelah membayar tarif perjalanannya. Xaferius kembali menggandengku seperti sebelumnya. Senyum di sudut bibirnya terus melebar seiring dengan langkah panjangnya yang bergerak menuntunku masuk ke halaman rumah besar tipe minimalis modern—yang mengusung konsep kaca—yang elegan.Nyaman.Itu merupakan kesan pertama yang kudapat dari tempat tinggal orang tua Xaferius. Mereka sangat memahami cara menyelaraskan desain dan tema yang harus ditonjolkan pada sebuah bangunan sekaligus menciptakan nilai tambah yang apik. Aku bertanya-tanya apa profesi mereka selepas ‘pensiun’ d
“Apa kau suka memasak?” tanya Lucia yang mencoba menerka lagi. “Ya, tetapi aku sudah jarang melakukannya sekarang.” Kini kami berdua sedang duduk di atas kursi berkaki panjang yang terbuat dari bahan aluminium—dipoles sampai mengilat—seperti yang biasanya ada di area bar. Lucia kemudian menyerahkan segelas jus lemon dan memintaku untuk menghabiskannya tanpa sisa. “Terima kasih, Lucia. Kau membuatnya dengan sempurna. Rasanya sangat enak,” ucapku setelah berhasil menenggaknya separuh. “Benarkah? Tidak ada yang pernah memuji kemampuanku sebelumnya,” komentarnya dengan nada takjub. Tawaku seketika mengudara selepas mendengar pengakuan Lucia, “Apa itu
“Mengapa kalian harus kembali secepat itu?” keluh Lucia yang masih merangkulku dengan sikap tak rela.Aku mengumbar senyumku pada Xaferius kemudian kembali mengarahkannya pada Lucia yang masih gigih membujuk putranya agar tinggal lebih lama—tiga atau empat hari—lagi. Sudah dua minggu kami berada di New Orleans dan Xaferius ingin segera pulang ke Glasglow. Ada setumpuk pekerjaan yang sedang menantinya di sana.Shaunn juga beberapa kali meneleponku dan merengek tentang jadwal kepulangan kami. Kesepian menjadi salah satu alasan yang paling vokal dia ungkapkan, sementara suara Simon selalu meneriakinya dengan beragam kalimat sorakan yang menjadi latar belakang percakapan di antara kami. Pria itu mengolok-oloknya lewat julukan ‘Si Bocah Tantrum’.
“Pastikan kau selalu ditemani Xaferius atau para kawanan saat kau berada di luar rumah, Nak. Alexandr merupakan pemburu yang paling andal dari semua anggota kelompok. Kau akan menghadapi bahaya dan mimpi buruk di waktu yang sama selepas menjadi incaran makhluk itu,” pesan Gerald yang menggumam dengan nada parau.Sensasi yang sudah lama hilang dari tenggorokanku itu kembali merayap dan menyebar dengan cepat. Aku hanya mampu mengangguk, lantas menggali kenangan tentang sosok Alexandr yang muncul di area perbatasan waktu itu. Punggungku gemetar sesaat setelah mengingat sepasang taringnya yang runcing itu berkilau diterpa cahaya bulan.“Ada apa, Anna? Apa kau baik-baik saja?” bisik Xaferius yang menyadari perubahan pada tingkahku.“Tidak ada apa-apa
Kami sudah pulang dan ranjang menjadi satu-satunya tempat paling nyaman yang masuk di urutan nomor satu dalam kategori tempat terbaik untuk kuhabiskan bersama Xaferius. Dia sedang bergelung di bawah selimut—tanpa pakaian—denganku sekarang. Kadang-kadang mendengkur, kadang-kadang mengigau tentang pekerjaannya.Aku memandangi wajah Xaferius—rupa yang masih tetap sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya—sejak tadi, lantas mendesah heran. Mengapa dia sesempurna itu? Namun, aku juga senang setelah menemukan satu fakta menarik lainnya bahwa pria yang tengah terlelap itu milikku.Ada sejenis guyuran emosional yang mengirimkan simbol peringatan di kepalaku. Aku kembali memutar kilas balik memori antara kami berdua, kemu
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de