“Have I lost you forever?”
Pertanyaan dari Aldrich itu tidak mampu kujawab. Entah mengapa aku tidak ingin membuatnya terluka lebih dalam dari yang dia rasakan sekarang. Sesuatu yang kukhawatirkan itu merupakan salah satu bentuk dari simpati untuknya.
Tanpa aku harus memberi jawaban pun, kupikir Aldrich telah mengetahuinya sejak awal—aku hanya milik Xaferius, dia akan kalah bahkan sebelum persaingan di antara mereka dimulai. Dia pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah aku mengembalikan kalung yang dia berikan padaku sebagai ‘hadiah’ di hutan Nightingale. Pria itu berpamitan, tetapi sorot matanya lagi-lagi memberikanku sebuah simbol jika dia akan datang kembali—sama seperti tempo lalu.
Xaferius mencoba menenangkanku dengan segenap ucapan lembut yang pada akhirnya sukses membuatku melupakan seluruh kekhawatiran yang tersimpan di dalam kepalaku. Dia mengalihkan topik pembicaraan kami ke hal-hal yang jauh lebih ringan; mulai dari bunga sepatu sampai resep kue pai yang ingin kucoba setelah melihatnya melalui iklan televisi tadi. Barangkali, jika aku menjalin hubungan bersama seorang pria normal—yang berasal dari kalangan manusia sepertiku, kami hanya akan melewati kehidupan yang sederhana. Pergi berkencan dan menonton bioskop atau merencanakan masa depan yang... Aku menghela napas, marah pada diriku sendiri.Lupakanlah, Anna.Suara dalam kepalaku selalu muncul di saat yang tepat, memberiku sejenis sinyal peringatan sekaligus mentor yang berguna agar aku tidak mengambil opsi yang salah. Namun, kadang-kadang itu ju
Aku tidak pernah menyangka jika mimpiku akan terwujud dengan bantuan Xaferius. Dia berjanji untuk mengurus segala sesuatunya minggu depan. Aku kemudian mencubit paha kiriku dua kali, memastikan aku tidak sedang berkhayal lagi. Mulutku spontan mengaduh sesaat setelah efek dari getilan itu terasa menyakitiku. Jadi, itu benar—aku akan mempunyai toko bungaku sendiri, segera. Dadaku diliputi segenap perasaan gembira yang secara otomatis melebarkan garis ekspresif di wajahku. “Pikirkanlah nama yang cocok untuk tokomu, tetapi kau tidak boleh mengkhawatirkan sesuatu dengan berlebihan. Dokter menyuruhmu lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” pesan Xaferius yang kedua alisnya bertaut sekarang. “Tenang saja. Aku tahu porsinya.”
“Aku membawa kabar baik, Anna.”Aku sontak menoleh ke asal suara, lantas mendapati Xaferius yang sedang memegangi sebuket bunga mawar dan sekeranjang buah-buahan untukku. Aku kembali menghela napas, jenuh. Seminggu aku berada di sini, tetapi masih belum ada tanda-tanda bahwa tim medis akan mengizinkanku pulang. Sementara Aldrich sudah keluar lebih dahulu empat hari yang lalu. Aku lagi-lagi iri pada stamina yang dimiliki oleh para werewolf. Mereka pulih dengan cepat.“Ada apa?” sahutku tanpa semangat.“Kupikir aku yang seharusnya bertanya ada apa, Anna. Kau kehilangan antusiasmu.”“Apa yang
Aku sedang berbaring di atas ranjang empuk yang nyaman sekarang—bukan milik rumah sakit yang tinggi dan meneriakkan suara derit setiap kali aku bermaksud untuk turun darinya lagi. Tim medis memperbolehkan aku pulang ke rumah setelah pemeriksaan terakhir yang mereka lakukan; hasilnya baik. Aku kembali memeluk setumpuk bantal yang tersusun rapi di sampingku, kemudian menghirup aromanya—bau pelembut pakaian menempel kuat di balik serat kain, menciptakan suasana kantuk yang menggodaku secara tidak langsung.Sepasang mataku pun nyaris terpejam, tetapi suara ketukan mendadak di pintu berhasil menyentakku kembali ke alam sadar. Aku sontak menyalangkan mata, menoleh dan menyaksikan sederet pelayan Xaferius yang masuk dengan iring-iringan meja dorong bertaplak serba putih, lengkap bersama lusinan nampan tertutup.“Apa itu?&r
Sempurna.Apa aku perlu mengatakannya berulang kali untuk mendeskripsikan figur Xaferius bagiku? Sungguh, dia tanpa cacat—sosok yang belum pernah kutemui di duniaku yang fana dan rapuh. Pria itu sedang berdiri di hadapanku; bertelanjang dada, memamerkan otot-otot tubuhnya yang lebih dari sekadar indah dan kuat. Kupikir tidak akan ada kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan pribadinya secara keseluruhan.Aku menelan ludah, lantas membasahi bibirku yang terasa kering sejak kemeja keluaran Louis Vuitton itu ditanggalkan. Debaran di dadaku seketika berubah menjadi gemuruh yang turut meruntuhkan pertahanan diri kami. Sepasang kakiku refleks bergerak menuruni ranjang dan berayun mendekati Xaferius yang menunggu. Kilau di iris birunya mendadak berkabut setelah kedua tanganku melingkari pinggang kokohnya.
Xaferius bukan tergolong tipe pemaksa seperti Aldrich. Dia memastikan setiap adegan yang akan kulalui bersamanya sempurna dan mengalur dengan lamban. Pria itu ingin aku menikmati seluruh perasaan yang dia berikan padaku. Itu penting katanya.Penting sebab babak yang akan kami lakukan merupakan sebuah pengalaman pertama untukku—sesuatu yang baru dan berharga, sesuatu yang hanya ingin kuserahkan padanya sebagai bukti dari cinta kami. Di sinilah aku sekarang berada, mengerang berulang-ulang di bawah lajunya pacuan tubuh Xaferius yang sedang mengimpitku. Pria itu menenggelamkan wajahnya ke balik dadaku setiap kali ada satu desahan yang berhasil lolos dari bibirku.Keningku selalu mengernyit menahan nikmat sekaligus sakit di waktu yang bersamaan. Sungguh, aku tidak pernah tahu jika bersatu dengan Xaferius rasanya akan semenakjubkan
Kami sedang mengistirahatkan diri di atas sofa setelah permainan panjang dan panas itu berakhir selepas dini hari. Aku duduk di dalam pangkuannya sambil memeluk dada Xaferius yang selalu terasa nyaman, seolah-olah tubuhnya memang diciptakan untukku. Kami saling bertukar cerita dari hal-hal remeh hingga hal-hal di luar nalar yang terjadi selang beberapa waktu terakhir.“Apa kau sudah memutuskan nama toko bungamu?”“Belum. Maksudku, ada dua pilihan yang menjadi kandidat, tetapi aku masih belum memutuskan.”“Dua? Beritahu aku,” serunya antusias.“Berjanjilah untuk tidak menertawakannya.”Satu alis Xaferius terang
Barangkali, aku memang bersikap sedikit kekanak-kanakan. Aku mengurung diri di kamar mandi selama dua jam selepas Xaferius menolak ideku untuk menjadi makhluk abadi seperti dia. Hasilnya, aku sukses membuat kelopak mataku sembap karena menangis.Aku terus bertanya-tanya apa keinginanku itu salah? Di mana letak kekeliruannya? Satu sisi diriku selalu berusaha mendukung gagasan mustahil yang langsung Xaferius tolak mentah-mentah, sementara satu sisi diriku lainnya ikut berdiri di pihak pria itu—memberi segenap kalimat cercaan miring yang membuatku berpikir bahwa aku tidak pernah cukup layak untuk bersamanya.“Anna? Apa kau akan tetap bersembunyi di dalam sana selamanya?” cecar Xaferius yang kembali mengetuk pintu kamar mandi dari luar.“Pergilah!&r
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de