Aku kembali bermimpi sebagai Anna di usia sepuluh yang pernah mengalami beberapa perundungan dari dua orang teman sekelas yang menganggapku si kutu buku karena aku selalu menenteng tas yang penuh berisi buku-buku pelajaran. Diejek atau diganggu adalah ‘makanan’ sehari-hari bagiku.
Mimpi itu kembali terputus sebentar, lantas berlanjut—aku merupakan Anna yang sekarang; berjalan melintasi hutan Nightingale sendiri. Aku didera perasaan bingung dan takut yang tidak berkesudahan, kemudian melangkah ke balik semak-semak yang rimbun. Aku melihat diriku terus bergerak dengan tersaruk-saruk menuju ke sebuah sumur yang tidak ada di sana sebelumnya—atau apa aku memang tidak menemukannya?
Indra penglihatanku menangkap sebuah pendaran cahaya yang muncul dari bibir sumur. Aku mengernyit, memandang ke warna kuning emas yang b
Itu priaku. Aku tidak lagi mengingat sejumlah peralatan infus yang masih terpasang di tubuhku. Kedua kakiku refleks bergerak menuruni ranjang dan seketika menghambur ke dalam pelukannya. Xaferius menghujaniku kecupan yang panjang. Dia menciumku seperti seorang pengembara yang ingin memuaskan dahaganya karena telah berhasil menemukan sumber air yang dia cari selama berhari-hari. Setiap sentuhan darinya melukiskan seluruh kerinduan dan keputusasaan. Dadaku bergetar dipenuhi euforia berlebih yang juga mengisi sepasang netranya. Sengatan rasa nyeri yang tiba-tiba hadir membawaku kembali berpikir secara rasional setelah melepas pertemuan mengharukan kami. Pandanganku beralih dengan enggan ke pergelangan tangan kiriku—warna selangnya berubah menjadi merah sekarang, sebagian darahku naik dan menimbulkan efek ngilu yang membuat keningku
“Aku mengingatnya sekarang. Apa dia adalah serigala berbulu krim itu?”Xaferius mengangguk menanggapi pertanyaanku, “Kau benar. Sarah bergabung dengan Aldrich setelah konflik berdarah antara Rusia dan Jepang terjadi di tahun 1905. Dia lari dari Manchuria setahun setelah perang itu berakhir. Mereka telah terikat dalam sebuah hubungan yang begitu lama. Kau tidak perlu meragukan loyalitas wanita itu pada Aldrich. Aku yakin dia bahkan rela melompat ke dalam api jika Aldrich yang memintanya.”Itu bukan usia yang singkat—Sarah bahkan telah melewati beberapa peristiwa bersejarah di sepanjang eksistensinya, menyaksikan sederet kejadian luar biasa sebagai saksi hidup yang tidak orang-orang tahu. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Wanita itu masih tetap diam di posisi yang sama—tanpa berganti pose. Kedua t
“Tutup mulut kalian!” hardik Sarah dengan nada yang seketika membuatku terlonjak dan menoleh padanya.“Apa yang salah denganmu?” balas Shaunn dengan intonasi yang tidak kalah tinggi.“Tenanglah, Shaunn,” tegur Xaferius, dia langsung berdiri dan bergerak mendekati Sarah.“Serigala betina itu sudah gila!”“Zip your mouth,” tambah Simon yang berusaha untuk membungkam Shaunn.Adaire merangkul kedua pundak werewolf muda itu agar tet
“Ada beberapa rahasia di dalam sana, Anna. Rahasia yang hanya segelintir orang tahu dan kau bahkan belum menyentuh dasarnya.”Rahasia.Aku juga benci itu—selain kejutan, tentu saja. Terakhir kali aku mendapat sebuah kejutan, terakhir kali pula aku melihat Xaferius. Kita tidak pernah tahu sesuatu seperti apa yang sedang menunggu di balik itu, bukan?“Aku tidak ingin mendengarnya.”Xaferius mengangkat satu alisnya, “Mengapa? Kupikir kau selalu penasaran.”“Hanya kadang-kadang. Tidak selalu. Kupikir aku harus belajar menahan diri untuk mengetahui sesuatu yang memang seharusnya tidak kuketahui.”
“Apa kalian sedang membicarakanku?”Suara yang tidak asing itu datang dari arah pintu. Rambut panjangnya yang melewati pundak dibiarkan tergerai bebas di antara bingkai wajahnya. Seringai di bibir pria itu melebar menatap kami.Itu Aldrich. Dia berdiri di sana, menyandarkan satu sisi tubuhnya yang dibalut piama untuk pasien—persis sepertiku, sementara kedua tangannya terlipat di dada. Dia tampak jauh lebih sehat daripada terakhir kali aku melihatnya—kulit pucat dan kantong yang serupa dengan luka memar di bawah matanya, dia telah mendapatkan warna kulitnya kembali.“Apa aku boleh masuk?” tanyanya lagi dengan satu alisnya yang menukik ke atas.“Bukankah kamarmu ada di ruangan
“Have I lost you forever?”Pertanyaan dari Aldrich itu tidak mampu kujawab. Entah mengapa aku tidak ingin membuatnya terluka lebih dalam dari yang dia rasakan sekarang. Sesuatu yang kukhawatirkan itu merupakan salah satu bentuk dari simpati untuknya.Tanpa aku harus memberi jawaban pun, kupikir Aldrich telah mengetahuinya sejak awal—aku hanya milik Xaferius, dia akan kalah bahkan sebelum persaingan di antara mereka dimulai. Dia pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah aku mengembalikan kalung yang dia berikan padaku sebagai ‘hadiah’ di hutan Nightingale. Pria itu berpamitan, tetapi sorot matanya lagi-lagi memberikanku sebuah simbol jika dia akan datang kembali—sama seperti tempo lalu.
Xaferius mencoba menenangkanku dengan segenap ucapan lembut yang pada akhirnya sukses membuatku melupakan seluruh kekhawatiran yang tersimpan di dalam kepalaku. Dia mengalihkan topik pembicaraan kami ke hal-hal yang jauh lebih ringan; mulai dari bunga sepatu sampai resep kue pai yang ingin kucoba setelah melihatnya melalui iklan televisi tadi. Barangkali, jika aku menjalin hubungan bersama seorang pria normal—yang berasal dari kalangan manusia sepertiku, kami hanya akan melewati kehidupan yang sederhana. Pergi berkencan dan menonton bioskop atau merencanakan masa depan yang... Aku menghela napas, marah pada diriku sendiri.Lupakanlah, Anna.Suara dalam kepalaku selalu muncul di saat yang tepat, memberiku sejenis sinyal peringatan sekaligus mentor yang berguna agar aku tidak mengambil opsi yang salah. Namun, kadang-kadang itu ju
Aku tidak pernah menyangka jika mimpiku akan terwujud dengan bantuan Xaferius. Dia berjanji untuk mengurus segala sesuatunya minggu depan. Aku kemudian mencubit paha kiriku dua kali, memastikan aku tidak sedang berkhayal lagi. Mulutku spontan mengaduh sesaat setelah efek dari getilan itu terasa menyakitiku. Jadi, itu benar—aku akan mempunyai toko bungaku sendiri, segera. Dadaku diliputi segenap perasaan gembira yang secara otomatis melebarkan garis ekspresif di wajahku. “Pikirkanlah nama yang cocok untuk tokomu, tetapi kau tidak boleh mengkhawatirkan sesuatu dengan berlebihan. Dokter menyuruhmu lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” pesan Xaferius yang kedua alisnya bertaut sekarang. “Tenang saja. Aku tahu porsinya.”
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de