Kata orang-orang, dunia kerja itu akan lebih mengerikan dan lebih menyebalkan daripada dunia sekolah atau perkuliahan. Karena di dunia kerja kita bisa jadi bertemu dengan rekan kerja yang toxic atau mungkin atasan yang seenaknya. Tentu saja Karra termakan dengan omongan mereka. Tapi rupanya dia tidak pernah mengalami itu. Selain beberapa omongan pegawai kantor yang lain yang iri dengan kedekatannya dengan Zevan.Karra masih ingat betul pertemuannya dengan Endra sekitar empat tahun yang lalu di hari pertama dia masuk kerja. Dari hari pertama, laki-laki itu selalu bersikap ramah padanya. Dia tak pernah membuat Karra merasa bodoh dan tidak becus karena dia memang baru pertama kali bekerja.Endra memimbing Karra dengan tulus dan sepenuh hati. Dia jarang sekali memarahi Karra. Bahkan seingat Karra, laki-laki itu tidak pernah berbicara dengannya menggunakan nada tinggi.Saat Karra bertanya mengapa Endra begitu sabar menghadapinya yang sama sekali belum berpengalaman, laki-laki itu menjawab
Endra melipat laptopnya. Dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas lebih lima. Dia lalu berdiri. Seperti biasa, dia hendak mengajak Karra makan siang bersama di restorang dekat kantor.Dengan cepat, Endra lalu berjalan keluar ruangan. Setelah langkahnya terhenti di ruanngan Karra, dia mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar Karra mengucap kata, “ masuk, “pelan, dia lalu membuka pintu ruangan.“Kar, makan siang bareng yuk,” kata Endra.“Pak Endra makan sendiri aja,” sahut Karra.Endra mengerutkan kening saat menyadari wajah Karra yang sayu dan ada kantung mata. Dia tampak kurang sehat. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Padahal dari pagi juga Karra berinteraksi dengannya. Endra merasa sudah keterlaluan.“Lo sakit, Kar?” tanya Endra.Karra yang dari tadi ingin menangis karena memikirkan perasaannya pada Endra, akhirnya mengeluarkan air mata juga.“Astaga, lo kenapa nangis?” kata Endra, “dia berjalan lebih dekat kepada Karra.”“Sa ... saya, diare, Pak. Semale
Sejak ada personel Evolution yang ulang tahun dan ada fans yang memberi kado, hampir setiap konser pasti ada saja Evolutioner yang memberi gift kepada mereka. Walaupun mereka tak sedang berulang tahun. Ada yang memberi jam tangan, sepatu, bucket bunga dan lain-lain.Malam ini, di lagu penutupan, Zevan mendapatkan dua gift. Yang satu sebuah kotak, entah apa isinya. Sementara yang kedua sebuah bucket bunga. Zevan memeluk kotak itu dengan tangan kirinya. Sementara bucket bunganya dia lemparkan ke Sisil yang standby di samping Okan karena dia tak bisa memegang di tangan kanannya yang masih memegang mic.Sampai konser berakhir, semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja. Zevan senang melihat wajah-wajah cerah Evolutioners. Seperti biasa, saat acara makan bersama juga mereka membahas keseruan konser.Namun segalanya berubah hanya dalam waktu satu malam. Saat Zevan baru membuka mata, dia dikagetkan dengan suara ketukan keras di pintu kamarnya. Setelah mendengar suara Sisil yang menyebut nam
Zevan mengangguk. “Oke deh. Kita lihat dulu aja perkembangannya,” katanya.***Endra berjalan cepat menuju ruangan Karra. Dalam hitunagn detik, setelah pintu terbuka, sekertasrisnya itu muncul dari balik pintu.“Masuk, Pak,” kata Karra.“Lo udah enakan?” tanya Endra setelah dia duduk di kursi di seberang meja Karra.Karra mengangguk. “Iya,” katanya.“By the way, meetingnya entar diundur setelah jam dua ya,” kata Endra, “berkas-berkasnya lo simpen dulu aja. Kalo lo kasih sekarang, takutnya entar malah hilang.” Endra lalu berdiri lagi.“Pak Endra ke sini cuma mau ngasih tau itu doang?” tanyanya.Endra mengangguk.“Repot banget sih? Kenapa nggak telfon aja?” tanya Karra.“Gue habis dari toilet tadi. Jadi sekalian,” sahut Endra.Entah mengapa Karra yakin Endra belum sempat melihat berita tentang Zevan. Gadis itu lanta menahan Endra.“Bentar deh, Pak Endra udah tau kabar tentang Zevan belum?” tanya Karra.Endra mengerutkan kening. Dia lalu duduk lagi. “Zevan? Dia lagi konser kan? Kenapa Em
“Jadi kejadiannya sebenernya itu, Zevan sudah sempet terima bunganya. Dia kekepin gitu ya, Van?” Sisil menoleh pada Zevan yang duduk di sampingnya.Zevan mengangguk. “Soalnya tangan gue bawa mic kan,” katanya.“Bener! Terus, karena dia kerepotan, dia pegang mic-nya di tangan kiri dulu, and then dia lempar bunganya ke gue. Jadi itu sebenernya ada gue yang nangkep bunganya. Nggak dibuang dilempar di lantai gitu aja ya, Guys,” kata Sisil.Zevan mengangguk-angguk lagi. Dia lalu membaca komentar. “Kenapa nggak dikasih biasa aja?” ucap Sisil.Zevan tertawa. “Ya karena gue mau nyanyi,” katanya.“Karena Zevan mau nyanyi lagi, Guys. Kan nggak enak kalo sambil nyanyi berjalan membelakangi gitu,” sahut Sisil, “lagian ada yang salah kah kalo misalnya Zevan ngasih bunganya ke gue. Itu buat sementara doang. Habis itu dia simpen kok di kamarnya.”Sisil lalu membaca komentar-komentar lagi. Banyak yang berkomentar bahwa mereka hanya melakukan pembelaan. Banyak yang berkomentar kalau Zevan sombong ya s
“Ya biar lain kali nggak ceroboh!” sahut Rita.“Udah dong, Ta. Kan gue udah bilang dari awal kalo itu itu nggak direncanain,” sahut Dania.“Pokoknya gue tetap bakal ngomong sama Endra. Titik,” kata Rita. Gadis itu lalu memutus sambungan telepon.***Karena fashion show masih diadakan nanti malam. Paginya Rita benar-benar memutuskan untuk datang ke kantor Endra. Sebelum datang, gadis itu ingin mengonfirmasi Endra dulu. Dia menelepon laki-laki itu berkali-kali. Sialnya, tak satu pun dari teleponnya mendapatkan tanggapan. Modal nekat, Rita pun mendatangi kantor Endra meski belum membuat janji dengan laki-laki itu.Seperti yang sudah Rita duga, setibanya di depan resepsionis, dia dicegah untuk brtemu Endra. Wanita berambut bergelombang itu menolak permintaan Rita karena Rita belum membuat janji dengan Endra.“Tidak bisa, Ibu, semua orang yang ingin bertemu dengan Pak Endra harus membuat janji dulu,” kata resepsionis itu.“Bilang saja saya bestie-nya pacar dia. Pasti dia bakalan mau kok ne
Dania menghembuskan napas lega saat akhirnya apa yang dia takutkan tak terjadi. Sambil berjalan keluar dari kamar, dia mengambil sebuah pembalut dari tasnya. Dia lalu kembali lagi ke kamar mandi.“Dan, hape lo bunyi nih!” kata Rita, “ada telfon dari cowok lo.”“Bentar!” kata Dania. Setelah menyelesaikan urusannya, dia llau keluar dari kamar mandi. Dia lalu mengambil ponselnya.“Taro, meja aja dulu,” kata Dania saat Sisil menyodorkan sebuah kotak berisi makanan padanya.“Halo,” kata Dania setelah menempelkan ponselnya di telinga.“Hei, gimana kabar kamu?” tanya Endra.“Baik, kenapa tanya gitu? Kayak kita nggak telefonan tiap hari aja?” tanya Dania.Terdengar hembusan napas panjang Endra dari seberang. “Soalnya aku denger kabar nggak enak dari Rita,” katanya.Kedua mata Dania membulat. “Rita? Dia beneran cerita sama kamu?” tanyanya.“Iya. Kamu beneran telat?” tanya Endra.Dania tertawa. “Aku udah dapet kok. Barusan banget,” katanya setelah tawanya reda.“Syukur deh,” balas Endra.“By th
“Next time, pake baju yang bikin lo nyaman aja,” kata Endra, “pakai rok kalo kependekan kayak gitu kan kalo di tempat rame kayak gini juga lo sendiri yang risih.”“I ... iya, Pak,” kata Karra.“Lagian, gue juga nggak suka. Kalo misalnya ada cowok yang jelalatan ngeliatin lo,” kata Endra.Mendengar itu, kedua mata Karra melebar. “Kenapa?” tanyanya.“Karena selain sebagai sekertaris gue, gue juga udah anggep lo kayak adek gue sendiri, Karra,” kata Endra. Dia tersenyum manis sekali, “abang mana yang suka adeknya dilihatin sama cowok dengan tatapan mesum?”Karra menghembuskan napas lemah. Adik lagi? Seandainya laki-laki yang duduk di depannya itu tahu kalau orang yang dia coba tarik perhatiannya adalah dirinya.***Karra menemui Lya di rumah gadis itu sepulang kerja. Dia merasa masih belum puas bercerita tentang Endra. Ada banyak yang mengganjal di hatinya. Terutama fakta bahwa Endra hanya menganggapnya sebagi adik.Lya menyambut Karra di ruang tamu. Gadis itu tertawa ketika melihat tampa