Dia menyesap dalam-dalam rokok yang tersemat di antara dua bibirnya. Pandangannya tak bisa bergeser dari si gadis yang sudah tertidur.
"Bagaimana dengan hasil dari forensik?" tanyanya setelah memindahkan rokok ke piring kecil di atas meja."Tidak ada sidik jari lain yang ditinggalkan di tubuh Keiko, Bos. Hasil akan dilaporkan ke media besok pagi dengan peryatakan bunuh diri," jawab dari orang dari seberang sana."Sangat lucu." Si bos menarik sebelah ujung bibirnya."Periksa tentang tanda salib yang gadis itu katakan.""Baik, Bos."***Pukul lima pagi. Airi terbangun kembali setelah sempat bangun hanya untuk meminum sup penghilang pengar dari si pemilik rumah tempatnya tidur."Sudah pagi dan aku harus bangun," ucapnya.Airi turun dari ranjang besar dengan seprai putih bersih. Kakinya melangkah keluar dari kamar itu."Pagi ini pers akan mengumumkan kematian Keiko, dan—""Kalian mengenal Keiko?" Gadis itu keluar dengan hanya mengenakan baju dalamnya saja. Sangat tipis.Tuan Oya segera bangkit dan berjalan cepat menghampiri si gadis. "Kamu tau Eri, aku tidak suka berbagi," bisiknya seraya mengalihkan jas yang dikenakan ke tubuh kecil Airi."Apa aku boleh bergabung bersama kalian?" tanya Airi penuh harap. Menatap tepat ke bola mata Tuan Oya.Mata gadis itu tidak berbohong jika menginginkan sekutu. Dia tidak boleh dianggap pelaku hanya karena jejak menghubungi terakhir ada pada kontak miliknya.Tuan Oya memberikan anggukan tipis. Lantas membimbing si gadis untuk mengikutinya. Tangan Airi terus saja meme"Tetap lah berada di dekatku," ucap Tuan Oya yang meminta Airi duduk pada kursi di dekatnya."Kalian sedang menyelidiki kematian Keiko?" tanya Airi.Dua orang yang berada di hadapan Airi hanya mengangguk. Tuan Oya yang menjawab. Lalu pembicaraan mengalir begitu saja."Baik, seperti itu untuk saat ini. Kalian bisa lanjut bekerja."Keduanya memberi hormat dan pamit."Oya-san," panggil Airi, membuat Tuan Oya menoleh ke gadis kecil di sebelahnya."Ada apa Eri?""Kamu tidak memanggilku Nona Takara?""Apa itu harus?"Airi menggeleng. "Aku lebih suka dipanggil dengan nama belakangku itu."Tuan Oya mangut-mangut. Sepertinya mengerti apa yang diinginkan gadis seusia Airi. Bahkan untuk panggilan pun akan terasa asing jika bukan panggilan keseharian yang biasa di dengar.'Kamu tidak seperti aku yang terbiasa dengan berbagai macam sapaan.'Airi bangun dari duduknya. "Oya-san, terima kasih." Membungkukkan badannya tulus.Begitu kembali menegakkan diri, dia mengernyitkan dahi melihat tatapan Tuan Oya kepadanya."Ada apa Tuan Oya?" tanyanya."Apa akan pulang?" tanya balik Tuan Oya, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Airi.Senyum semangat dari bibir Airi menandakan gadis itu tidak mengerti dengan keinginan si tuan pemilik rumah."Eri, bisa untuk tetap di rumah?" tanya Tuan Oya, terlihat seperti mengkhawatirkan sesuatu."Kenapa harus? Apa kematian Keiko memang ada hubungannya dengan aku? Apa kamu akan memberikan aku pada polisi?" Airi memborong pertanyaan.Ketakutan yang ada di diri Airi membuat Tuan Oya bangun dari duduknya. Memberikan pelukan ke gadis kecil yang siap menumpahkan tangisannya."Aku hanya ingin menahan, karena rasanya akan ada kehilangan di dalam sini, bila kamu pergi jauh dariku ."Siapa yang akan menyangka jika pria yang sering memasang wajah datar ini bisa berkata manis? Perkataan yang langsung menyentuh ke relung hati Airi. Perkataan yang membuat Airi tak lagi membenamkan wajahnya di dada bidang Tuan Oya."Ada apa Oya-san? Apa jatuh cinta padaku sejak pandangan pertama?" Airi hanya iseng bertanya, percayalah jika dia bermaksud bercanda saja."Ya."Jawaban tegas itu reflesk membulatkan bola mata Airi. Tangannya terlepas dari memeluk tubuh Tuan Oya."Aku? A–aku ..., ini serius?""Ya. Kamu tidak bermimpi Eri."Pelukan pada pinggang ramping Airi kian menguat.Rahang Tuan Oya tanpa sadar mengeras. Masih dengan lengan mengurung tubuh si gadis, pria itu agak memajukan wajah menatap Airi lekat. Diabaikan jantung yang bertalu keras tak keruan.Tuan Oya mengerjap pelan dan mengulum bibir ke dalam sesaat sebelum berucap, "Coba sekali ini percaya. Ada pria yang benar-benar mencintai kamu."Pria itu berkata serak dengan intonasi rendah yang dalam.Airi merasa bulu kuduknya meremang, walau berikutnya justru merasakan tubuhnya kian melemah. Seperti terbius. Airi kini tidak mengalihkan pandangan. Terkunci pada mata pria dewasa yang sudah melepaskan kacamatanya.Ada kerlipan meneduh. Airi jadi makin sulit mengambil napas saat Tuan Oya dengan perlahan mendekat. Darah Airi mengalir naik dengan cepat, membuat wajahnya memanas dan tegang.Tuan Oya diam memandangi wajah memerah Airi. Kelopak gadis muda itu menyayu. Mengerjap lemah sampai akhirnya terpejam ketika kecupan mendarat di pipinya.Tubuh Airi seakan tersetrum. Seperti tak sadarkan diri dan melayang ringan."Apa bisa kita bersama?"Hening lama. Hanya ada dentingan jam yang menemani kesunyian. "Airi.""Eh, i–iya?""Sebelum menjawab, apa kamu tau siapa aku?" Airi kembali diam. Bergeming. Memutar bola matanya mencari objek yang bisa matanya pijaki. Tidak lama anggukan dia berikan. "Ya, penerus Oyama Group yang siap menjadi pengusaha muda sukses selanjutnya," jawab Airi mencoba riang, berbanding terbalik dengannya yang tadi terlena dalam tatapan pria yang melepas kacamata itu.Dia tentu mengenal Tuan Oya seperti yang dikatakan para polisi kemarin. Pria yang saat ini di usia akhir dua puluhan itu sedang berjalan nanjak pada karir bisnisnya. Sayang sekali harus tersandung karena masalah kematian Keiko, si pria yang ternyata pengusaha muda itu digadangkan akan menjadi mitra bisnis dan menjanjikan kesuksesan bagi perusahaan Oyama Group. "Apa sungguh mengenal? Mengapa di pikiranmu itu selalu ada uang?" "Cih." Airi jadi menoleh ke si pria. "Hidup itu harus realistis."Airi membuka matanya lebar-lebar. Bersikap angku
Mereka berhenti di depan toko baju. Tuan Oya sudah melangkah masuk, Airi mengikutinya dari belakangnya tanpa tahu tujuannya datang ke sana. Pria dengan rambut ikalnya itu terus berjalan sampai akhirnya dia berhenti di bagian gaun. Gaun yang panjang, pendek, lengan panjang, lengan pendek, tidak berlengan, dan segala macam bentuk kerahnya tertata rapi di sana. "Pilih satu gaun."Airi menatap Tuan Oya tidak percaya. Maksudnya memilih, untuk apa? "Kenapa harus Oya-san?" tanya Airi menyebalkan. "Hanya tersisa waktu kurang dari satu jam. Kita harus sampai sebelum pers dimulai.""Astaga! Kamu serius?" "Tentu saja, Eri. Pilih satu." Tuan Oya mendekatkan bibirnya ke telinga Airi. "Dan pastikan itu membuat cintaku makin bertambah.""Apa tanpa gaun yang ada di sini, cinta itu akan berkurang?" Airi berkacak pinggang. Mereka belum bersama. Tapi dengan seenak diri pria berkacamata itu membahas tentang cinta yang bertambah."Tidak. Tapi aku menyukai saat bisa membelanjakanmu."Airi menghela na
Airi mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyadarkan diri sendiri. Silaunya sinar matahari yang menembus kaca jendela, membuat si gadis refleks mengernyit. "Sekarang sudah pagi, dan aku harus bangun."Namun betapa terkejutnya dia saat matanya turun melihat tangan yang melingkar pada perut. Ketika Airi mendongak, dia bisa melihat wajah tampan milik seseorang yang masih setia memejamkan mata.Betapa Airi terhipnotis melihat ciptaan Tuhan yang kini tepat berada di depan matanya. Begitu dekat, sehingga tapa sadar sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh pahatan wajah pria itu. Namun belum sampai menyentuh, tangan seseorang sudah lebih dulu menahannya. Airi tersentak. Betapa terkejutnya dia ketika mata Tuan Oya itu terbuka dan menatapnya datar. Tangan Tuan Oya yang menarik tangan Airi, membimbing menyentuh bibirnya. Pria itu mengecup tangan Airi sebentar lalu melepaskan. "Moorning kiss," ucap pria itu serak. Mengajukan permintaan.Airi mengerjapkan matanya. Dengan cepat dia mele
Tangannya mengeratkan rangkulan pada pinggul ramping gadis itu. Mereka sama-sama diam setelah pertanyaan dari si gadis. Namun senyuman di bibir Tuan Oya tidak luntur juga. "Kamu tidak perlu jawaban bukan?"Airi menunduk lagi. Malu. Dan detik itu juga dirinya mematung. Tubuhnya meremang merasakan sentuhan lembut dari kekenyalan bibir pria yang merangkulnya.Tuan Oya mengajak tangan Airi untuk bergantung ria ke lehernya. Gerakan dari pengecapnya mulai menjelajah ke tiap sisi dalam mulut Airi. Lantas bermain tali-temali yang belum pernah dua orang itu lakukan sebelumnya. Namun seperti sangat ahli.'Beruntung juga mengikuti jejak Alice untuk belajar dari klip-klip video yang di kirimnya.'"Hh. Kamu memang sangat menarik." Dengan napasnya yang terengah-engah, Tuan Oya melepaskan pangutannya. Memberikan kecupan singkat lantas makin mempersempit jarak tubuhnya dan sang kekasih. Tanpa kata tangannya berpindah posisi. Memegangi dagu Airi untuk bisa bersitatap dengan bola mata kecokelatan itu
"Kenapa aku merasa ini gak asing?"Airi terduduk. Sebuah kertas tertulis sebagai catatan kecil yang diberikan sang kekasih untuknya. Airi sangat merasa kenal dengan tulisan itu. Padahal ini pertama kalinya mendapatkan pesan tertulis dalam kertas. "Mandi dan siap-siap lah. Hari ini aku ngga bisa menemanimu, ada anak buahku yang pasti akan selalu menuruti tiap kalimat dari kamu. Jangan sungkan. Oke Sayang?" Senyuman di bibirnya terpatri cantik. Airi menguap. Merenggangkan otot tangannya sekali lagi. "Selamat pagi Airi kesayangannya Momy, selamat berbahagia dengan status baru." Gadis itu berbicara sendiri. Senyuman dari bibirnya belum juga luntur. "Aaakh ..., aku harus hubungi Mom karena akhirnya berhasil melepas masa lajaang ...!" Suara teriakan Airi membuat pria yang berdiri tepat di balik pintu ikut tersenyum. Meski yang terdengar di telinganya samar-samar saja. Brak!Airi terkejut begitu membuka pintu mendapati seorang pria yang berdiri dan langsung membungkuk memberi hormat. "
"Di mana ketua kalian?" Di sebuah bangunan tua yang megah berlantai dua. Aris— pria yang menunggu Airi di depan kamar Tuan Oya ini unjuk diri memimpin teman-temannya."Apa-apaan ini?!" Seorang pria bertubuh besar nan kekar datang ke hadapan Aris. "Kalian mau apa??" tanya pria itu lagi. "Engga mungkin Bos Naka yang suruh!"Decihan terdengar dari pria berbadan besar dengan tato di kedua tangannya sampai ke pergelangan tangan. Dia yang memakai kaos polos itu berdiri di depan Aris. "Apa sebagai Bos seorang Naka bisa salah hanya karena menyuruh mereka datang ke sini?" Pria berambut ikal dengan kacamata yang membingkai mata kecilnya itu melirik Aris dan kawan-kawan, kemudian menatap remeh pria berbadan besar. Bersama beberapa orang di belakangnya, si bos datang mendekat. "Bo–bos Naka (?)" Semua bawahan di belakang si pria berbadan besar itu ikut menurunkan badan. Membungkuk dan memberi hormat"Tangkap semuanya. Bawa ke penjara markas!" titah si bos dengan wajah tegasnya setelah meliha
"Kamu pikir bisa mempermainkan aku seperti ini?!" Sejak masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kuat-kuat, kekasih Airi itu langsung menyeretnya dan mendorong ke tembok. Bekas cekalan saat di dalam mobil saja masih membekas memarnya. Kini Airi merasakan lagi perih dari kemerahan yang membiru di pergelangan tangannya."Argh ..., sakit Tuan, i–ini ada apa, Oya–san?""Kamu pikir bisa mempermainkan aku seperti ini??" Tuan Oya mengulang pertanyaannya. Tangan dan kaki Airi kini terkukung habis oleh tubuh sang kekasih. Airi tak bisa berkutik. "A–aku ..., aku tidak mengerti, Tuan." Airi gugup. Ketakutan."Ke–kenapa?"Dengan ganas Tuan Oya kembali mencumbu bibir Airi dengan kasar. Bahkan tampak seperti bukan cumbuan, hanya lahapan saja tanpa perasaan. Airi ingin berontak, tapi tak bisa apa-apa. Pergerakannya sangat, sangat terbatas."Tu–tuan, eugh ..., Tuan, to–long ..., to–long eungh ..., hentikan."Airi memohon, tapi sang kekasih sepertinya tidak ingin peduli. Seolah tuli.Tuan Oya ter
Menggunakan aplikasi yang terpasang di ponselnya. Seperti apa yang seseorang pernah ajarkan, Airi mencoba mencari lokasi dari panggilan terakhir yang dia lakukan."Kak Rafael tau tentang Tuan Oya, kemungkinan juga tau tentang Tuan Kime." Airi membatin. Tuan Oya yang di rasa Airi sangat familiar pada salah satu foto yang ada di berkas sang papah, di yakini Airi mengetahui juga tentang kematian dari papahnya itu. "Ah, ini ketemu! Ups." Pekikannya langsung tersumbat.Airi menutup bibirnya dengan satu telapak tangan. Dia lupa jika masih berada di rumah Tuan Oya. Meski kekasihnya itu sedang ada pertemuan secara online di ruang kerja, Airi tetap mewanti-wanti ada kamera tersembunyi yang tetap memantaunya. Dia harus sungguhan berhati-hati."Ah, akhirnya ketemu." Airi berucap pelan meski hatinya bahagia tak terkira seperti mendapatkan buah apel yang dia sukai."Eh? Ini bukannya ...." Apa yang di lihat membuat Airi menghela napas panjang. Ternyata pria yang di kenal sebagai teman kecilnya s
Drrt ... Drrt ....Lagi, Airi tak tidur di rumahnya. Dia segera mengangkat telepon tanpa melihat terlebih dahulu. Kantuk masih menyertainya."Halo, siapa?" Ponselnya itu dia letakkan di dekat telinga. "Airi-ah? Begitu lah cara kamu menyambut uncle?""Paman?" Airi terperanjat. Bangun dari tidurannya dan menaruh ponsel di atas tempat tidur. "Airi–ah, itu bukan di rumahmu!""Hah?" Airi menoleh ke layar ponsel dan langsung menutupi ponsel dengan bantal yang ada di dekatnya. Ternyata bukan telepon suara. Video call yang dilakukan pamannya itu membuat Airi kalang kabut kebingungan."Paman, aku sedang menginap di rumah Alice, nanti aku hubungi Paman lagi. Selamat pagi dan sampai jumpa." Gadis itu berbohong. "Hah, hh ...." Helaan napas lega dia keluarkan setelah panggilan video dia tutup sepihak. Meski pada kenyataannya, sang paman tetap saja tak gentar terus menanyakan di mana Airi saat ini berada. Pesan dengan kalimat yang sama terus hadir menyamai suara jarum jam. [Kamu sedang di ru
"Bos, bagaimana dengan pembangunan?" Kime datang menghadap pria yang duduk di kursi kebesarannya. "Lakukan seperti biasa. Ambil alih semuanya, itu milik kita." Kepala Kime mengangguk patuh. Tanpa basa-basi lagi segera masuk ke kursi dan meja yang biasa dia gunakan untuk memulai zoom meeting bersama para investor atau pemegang saham di perusahaan yang dia dirikan. Tepatnya yang si bos dirikan."Selamat sore," sapa Kime ramah. Di antara keluarga dari Sindikat Naka, Kime adalah satu-satunya pria dengan keramahtamahan serta penuh kelembutan. "Sehubungan dengan kerjasama pembangunan bar kasino terbesar dengan Tuan Keiko, saya Kime yang akan mengambil alih seluruh proses lanjutannya. Ini tentu sudah di bicarakan dengan ketua dari Tuan Keiko.""Loh? Bagaimana ini?" "Kenapa bisa Tuan Kime?" "Bagaimana mungkin bisa jadi Tuan Kime?""Tuan Kime serius? Ada seseorang yang mendatangi kami di hari lalu." Seorang wanita berdiri dan melantangkan suara. Keriuhan yang sempat terjadi dengan sali
"Apa kamu tidak ingat tentang malam itu?" Alice menatap tak percaya dengan tatapan sahabatnya yang kebingungan."Eum, aku merasa mengingatnya." Airi menjawab ragu. "Lalu, kamu tau siapa yang pulang bersama kamu?" Alice kembali mengingatkan Airi. Kekhawatiran sahabat Airi hanya lah pada hubungan badan yang mana mungkin akan membuahi. Alice sangat tidak ingin sahabatnya menderita karena lupa pria mana yang berhasil mendapatkan keperawanannya.Airi menggeleng. "Siapa orang itu?" gummanya."Apa kamu tau, Lice?" "Hey, kamu pikir aku ini apa?" Alice mengingsrekkan hidungnya, berdrama. "Aku hanya mencuri dengar saat pria itu berkata akan mengantar kamu pulang.""Kenapa tidak kamu saja?" "Sayangnya aku, kamu tau kalau aku ingin kamu mendapatkan kekasih. Seperti yang kamu inginkan juga, makanya aku berhenti sampai di sana.""Kamu ...?" Airi benar-benar gemas. Menahan amarahnya dalam hati. Jika pria itu adalah hidung belang yang hanya menginginkan tubuh Airi, bagaimana?"Aku tau pria itu p
Menggunakan aplikasi yang terpasang di ponselnya. Seperti apa yang seseorang pernah ajarkan, Airi mencoba mencari lokasi dari panggilan terakhir yang dia lakukan."Kak Rafael tau tentang Tuan Oya, kemungkinan juga tau tentang Tuan Kime." Airi membatin. Tuan Oya yang di rasa Airi sangat familiar pada salah satu foto yang ada di berkas sang papah, di yakini Airi mengetahui juga tentang kematian dari papahnya itu. "Ah, ini ketemu! Ups." Pekikannya langsung tersumbat.Airi menutup bibirnya dengan satu telapak tangan. Dia lupa jika masih berada di rumah Tuan Oya. Meski kekasihnya itu sedang ada pertemuan secara online di ruang kerja, Airi tetap mewanti-wanti ada kamera tersembunyi yang tetap memantaunya. Dia harus sungguhan berhati-hati."Ah, akhirnya ketemu." Airi berucap pelan meski hatinya bahagia tak terkira seperti mendapatkan buah apel yang dia sukai."Eh? Ini bukannya ...." Apa yang di lihat membuat Airi menghela napas panjang. Ternyata pria yang di kenal sebagai teman kecilnya s
"Kamu pikir bisa mempermainkan aku seperti ini?!" Sejak masuk ke dalam rumah dan membanting pintu kuat-kuat, kekasih Airi itu langsung menyeretnya dan mendorong ke tembok. Bekas cekalan saat di dalam mobil saja masih membekas memarnya. Kini Airi merasakan lagi perih dari kemerahan yang membiru di pergelangan tangannya."Argh ..., sakit Tuan, i–ini ada apa, Oya–san?""Kamu pikir bisa mempermainkan aku seperti ini??" Tuan Oya mengulang pertanyaannya. Tangan dan kaki Airi kini terkukung habis oleh tubuh sang kekasih. Airi tak bisa berkutik. "A–aku ..., aku tidak mengerti, Tuan." Airi gugup. Ketakutan."Ke–kenapa?"Dengan ganas Tuan Oya kembali mencumbu bibir Airi dengan kasar. Bahkan tampak seperti bukan cumbuan, hanya lahapan saja tanpa perasaan. Airi ingin berontak, tapi tak bisa apa-apa. Pergerakannya sangat, sangat terbatas."Tu–tuan, eugh ..., Tuan, to–long ..., to–long eungh ..., hentikan."Airi memohon, tapi sang kekasih sepertinya tidak ingin peduli. Seolah tuli.Tuan Oya ter
"Di mana ketua kalian?" Di sebuah bangunan tua yang megah berlantai dua. Aris— pria yang menunggu Airi di depan kamar Tuan Oya ini unjuk diri memimpin teman-temannya."Apa-apaan ini?!" Seorang pria bertubuh besar nan kekar datang ke hadapan Aris. "Kalian mau apa??" tanya pria itu lagi. "Engga mungkin Bos Naka yang suruh!"Decihan terdengar dari pria berbadan besar dengan tato di kedua tangannya sampai ke pergelangan tangan. Dia yang memakai kaos polos itu berdiri di depan Aris. "Apa sebagai Bos seorang Naka bisa salah hanya karena menyuruh mereka datang ke sini?" Pria berambut ikal dengan kacamata yang membingkai mata kecilnya itu melirik Aris dan kawan-kawan, kemudian menatap remeh pria berbadan besar. Bersama beberapa orang di belakangnya, si bos datang mendekat. "Bo–bos Naka (?)" Semua bawahan di belakang si pria berbadan besar itu ikut menurunkan badan. Membungkuk dan memberi hormat"Tangkap semuanya. Bawa ke penjara markas!" titah si bos dengan wajah tegasnya setelah meliha
"Kenapa aku merasa ini gak asing?"Airi terduduk. Sebuah kertas tertulis sebagai catatan kecil yang diberikan sang kekasih untuknya. Airi sangat merasa kenal dengan tulisan itu. Padahal ini pertama kalinya mendapatkan pesan tertulis dalam kertas. "Mandi dan siap-siap lah. Hari ini aku ngga bisa menemanimu, ada anak buahku yang pasti akan selalu menuruti tiap kalimat dari kamu. Jangan sungkan. Oke Sayang?" Senyuman di bibirnya terpatri cantik. Airi menguap. Merenggangkan otot tangannya sekali lagi. "Selamat pagi Airi kesayangannya Momy, selamat berbahagia dengan status baru." Gadis itu berbicara sendiri. Senyuman dari bibirnya belum juga luntur. "Aaakh ..., aku harus hubungi Mom karena akhirnya berhasil melepas masa lajaang ...!" Suara teriakan Airi membuat pria yang berdiri tepat di balik pintu ikut tersenyum. Meski yang terdengar di telinganya samar-samar saja. Brak!Airi terkejut begitu membuka pintu mendapati seorang pria yang berdiri dan langsung membungkuk memberi hormat. "
Tangannya mengeratkan rangkulan pada pinggul ramping gadis itu. Mereka sama-sama diam setelah pertanyaan dari si gadis. Namun senyuman di bibir Tuan Oya tidak luntur juga. "Kamu tidak perlu jawaban bukan?"Airi menunduk lagi. Malu. Dan detik itu juga dirinya mematung. Tubuhnya meremang merasakan sentuhan lembut dari kekenyalan bibir pria yang merangkulnya.Tuan Oya mengajak tangan Airi untuk bergantung ria ke lehernya. Gerakan dari pengecapnya mulai menjelajah ke tiap sisi dalam mulut Airi. Lantas bermain tali-temali yang belum pernah dua orang itu lakukan sebelumnya. Namun seperti sangat ahli.'Beruntung juga mengikuti jejak Alice untuk belajar dari klip-klip video yang di kirimnya.'"Hh. Kamu memang sangat menarik." Dengan napasnya yang terengah-engah, Tuan Oya melepaskan pangutannya. Memberikan kecupan singkat lantas makin mempersempit jarak tubuhnya dan sang kekasih. Tanpa kata tangannya berpindah posisi. Memegangi dagu Airi untuk bisa bersitatap dengan bola mata kecokelatan itu
Airi mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyadarkan diri sendiri. Silaunya sinar matahari yang menembus kaca jendela, membuat si gadis refleks mengernyit. "Sekarang sudah pagi, dan aku harus bangun."Namun betapa terkejutnya dia saat matanya turun melihat tangan yang melingkar pada perut. Ketika Airi mendongak, dia bisa melihat wajah tampan milik seseorang yang masih setia memejamkan mata.Betapa Airi terhipnotis melihat ciptaan Tuhan yang kini tepat berada di depan matanya. Begitu dekat, sehingga tapa sadar sebelah tangannya terangkat untuk menyentuh pahatan wajah pria itu. Namun belum sampai menyentuh, tangan seseorang sudah lebih dulu menahannya. Airi tersentak. Betapa terkejutnya dia ketika mata Tuan Oya itu terbuka dan menatapnya datar. Tangan Tuan Oya yang menarik tangan Airi, membimbing menyentuh bibirnya. Pria itu mengecup tangan Airi sebentar lalu melepaskan. "Moorning kiss," ucap pria itu serak. Mengajukan permintaan.Airi mengerjapkan matanya. Dengan cepat dia mele