Sesekali Wira menunduk atau menoleh ke arah jendela di ruang tamu kediaman Bu Ratmi. Pemuda ini sebenarnya malas untuk ikut kedua orang tuanya mengunjungi rumah kawan mereka, terlebih untuk sebuah acara yang bertajuk perjodohan.
Wira mengamati keadaan sekeliling, rumah ini masih kental dengan nuansa Jawa, dominasi kayu jati, atap joglo, perabot ukiran dan juga pintu yang rendah dan membuat tamu harus menunduk saat masuk. Menurut tradisi, pintu yang dibuat rendah mengandung filosofi agar tamu menghormati Tuan Rumah dengan cara menunduk ketika memasuki rumah.
Keadaan rumah seperti ini memang bertolak belakang dengan Wira yang berjiwa modern. Wira yang terbiasa berplesiran ke kota besar bahkan luar negeri memang memiliki gaya hidup yang modern, dan tentunya rumah tinggal Ayu terkesan janggal baginya.
“Huh jaman sekarang masih aja ada yang tinggal di rumah dengan dekor seperti ini. Kalau dari keluarga kurang mampu sih
Bu Lastri menghela napas panjang saat melihat penampilan Ayu di depannya. Gadis itu terlihat berbeda dengan saat bertemu pertama kali dulu. Saat pertemuan pertama ia menganggap Ayu adalah sosok menantu yang ideal baginya. Perangai yang sopan serta tutur kata yang lembut membuatnya memberikan nilai sempurna untuk Ayu.Penampilan Ayu kali ini membuat dirinya bertanya-tanya sebenarnya ada apa dengan calon menantunya itu. Apakah mungkin ia telah salah atau terburu-buru memberikan penilaian untuknya.“Astaghfirullah, aku mikir apa, kok bisa aku menilai seseorang hanya dari penampilan saja,” pikir Bu Lastri kemudian melemparkan senyum pada keluarga Ayu.“Ayu seneng banget lho Jeng saat tahu kalau njenengan (Anda) sekeluarga mau datang ke sini untuk mempertemukan Wira dengan Ayu. Sampai-sampai anak saya mengambil jadwal libur, padahal seharusnya hari ini dia masuk pagi,” kata Bu Ratmi yang terlihat antus
Bu Lastri langsung menuju ke ruang duduk dan menegak air dingin begitu tiba di kediamannya. Wanita ini sepertinya kehilangan mood setelah pulang dari rumah Ayu.“Huft!” keluhnya.“Mmm kopi apa teh Pak?” tanyanya setelah mendapati sang suami ikut duduk menjajarinya.Ini adalah kebiasaanya untuk selalu siap melayani sang suami, menawarkan makanan atau minuman tiap kali duduk di sampingnya.“Nggak usah Bu, Bapak ke sini karena pengin ngobrol bareng Ibu.”“Oh, kenapa Pak?” tanya Bu Lastri sambil memutar posisi duduknya hingga menghadap ke arah sang suami.“Ibu itu kenapa? Dari tadi kok kelihatannya ada masalah. Pasti Ibu mikirin perempuan yang mau dijodohkan dengan anak kita Wira kan?” tanya Pak Hendrawan.Wanita anggun itu pun menghembuskan napas panjang kemudian mengangguk.
“Huft!” Ayu menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya yang empuk. Perempuan berkulit langsat ini sudah mengganti pakaian dan menghapus make up yang menempel di wajahnya.“Aduh gimana ini, kok Wira bisa bilang suka sama aku sih. Huh ide mas Danang beneran nggak bermutu,” runtuk Ayu.Perempuan dengan rambut lurus itu pun langsung mengambil benda pipih di atas meja riasnya. Kemudian mulai menghubungi Danang dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi hari ini.“Halo Dek, acaranya udah selesai?” tanya Danang dengan ramah.Dari nada suaranya terdengar jelas kalau ia menantikan kabar dari Ayu tentang rencana yang telah mereka susun rapi semenjak tadi. Danang sudah mendengar certia Ayu mengenai pertemuan pertama kalinya dengan Ibu Lastri.Saat itu Ayu memuji penampilan wanita paruh baya yang begitu anggun. Dari situ ia bisa menyimpulkan kalau keluarga
Danang duduk di tepi ranjangnya sambil mengacak-acak rambutnya. Berulang kali pemuda ini menghembuskan napas panjang dan bergumam.“Huft! Gimana kalau Ayu tertarik pada lelaki itu,” gumamnya.Pemuda berkulit sawo matang ini pun merebahkan tubuhnya dengan keras seperti membanting. Kemarin ia memang memberikan saran pada Ayu untuk membuat keluarga lelaki pilihan keluarga kekasihnya menolak.Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh mereka berdua untuk meyakinkan keluarga Ayu agar memberikan restu akan hubungan mereka. Namun selama ini upaya yang mereka lakukan selalu mendapatkan penolakan dengan alasan yang sama yaitu perhitungan weton yang tidak pas.Meski Danang pernah mendengar adanya upaya untuk menolak bala weton ketemu angka 25, tapi mereka tetap pada pendirian semula. Semua karena pengaalaman yang terjadi pada kedua orang tua Ayu yang harus mengakhiri pernikahan mereka dan beranggapan b
Dengan langkah yang tergopoh-gopoh, Bu Ratmi langsung mendatangi kamar tidur putrinya setelah mendengar teriakan sang kakak. “Enten nopo to Mbak Yu (Ada apa Mbak)?” tanya Bu Ratmi sambil melihat ke arah Ayu dan kakaknya secara bergantian. Wanita paruh baya ini sudah tahu pasti ada selisih paham diantara mereka berdua. Dari dulu Ayu memang tidak terlalu suka dengan Budhe Ning. Seringkali putrinya bercerita kalau ia malas meladeni Budhe Ning, karena sikapnya yang suka mengatur. Namun dirinya selalu mengajarkan putrinya untuk tetap sopan pada orang yang lebih tua. Sehingga walaupun dalam keadaan tidak suka, Ayu tetap saja diam dan membiarkan sang kakak untuk terus bertindak. Budhe Ning melirik adiknya dengan kedua mata yang bulat membesar. Ekspresi wajahnya sudah seperti pemeran antagonis dalam sinema elektronik. “Ki anakmu wedhok saiki wis mulai wani karo won
Melihat Ibu dimarahi oleh budhenya, perempuan berambut lurus ini pun mengambil tas dan dompetnya lalu meninggalkan kamar segera. Ia melangkah dengan cepat dan membuat kedua wanita paruh baya ini giliran berteriak memanggilnya.“Ayu! Kamu mau kemana Nduk?” tanya Bu Ratmi meneriaki anaknya.“Walah kemana lagi kalau bukan nemuin laki-laki yang nggak sopan itu,” ucap Budhe Ning lantang dan sengaja membuat panas hati adiknya.Ayu berhenti sejenak dan menghadap ke arah Ibu dan Budhenya.“Buat apa Ibu tanya? Bukannya Ibu sudah nggak peduli sampai tega menampar Ayu?” balas Ayu.Ada sebuah penyesalan dalam diri wanita yang melahirkan Ayu itu karena telah menampar pipi putrinya. Ini pertama kalinya Bu Ratmi melakukan hal itu pada putrinya.“Yu … Ibu nggak bermaksud untuk melakukan ini. Ibu hanya,—” ucapan Bu
Wira yang kesal dengan pendapat orang tuanya pun berulang kali mengomel sembari memukul setir mobilnya. Entah sudah berapa kali ia mengucapkan sumpah serapah dari balik kemudi.“Ibu Bapak ini beneran aneh, kemarin aja maksa-maksa supaya aku mau diajak ke rumah Ayu. Mereka juga yang bilang kalau Ayu itu sosok yang sempurna buat aku, tapi kok bisa sekarang bilang aku nggak cocok sama Ayu. Apalagi sebelumnya Ibu bilang sudah pernah bertemu dengan Ayu, tapi sekarang, huh!” omelnya sambil sesekali memukul benda berbentuk lingkaran yang ada dalam genggaman tangannya.Pemuda berkulit terang ini benar-benar dibuat pusing oleh kelakuan kedua orang tuanya. Sebenarnya ia sudah muak dengan desakan kedua orang tuanya yang terus-terusan menyuruhnya untuk menikah.Wira masih ingin menikmati masa mudanya dengan bebas. Masih banyak tempat hiburan yang belum sempat ia jelajahi, tapi kedua orang tuanya tak pernah mau mengerti a
Ayu mempercepat langkahnya untuk masuk ke dalam cafe. Ia harus segera menghindar dari Wira yang tadi tak sengaja bertemu dengannya.“Hadeeh kok iso yo aku ketemu karo wong iku, megelno (Kok bisa ya aku ketemu dengan orang itu, menyebalkan)!” runtuk Ayu.Bibirnya yang dipoles lip matte baby pink tampak mengerucut dan bersungut-sungut. Pertemuannya dengan Wira tadi siang benar-benar tidak memberikan kesan apapun bagi perempuan berkulit langsat ini.“Orang kok terlalu pede, merasa paling cakep. Emang sih kalau diliat mukanya nggak jelek, tapi ya nggak harus sok kecakepan kayak gitu jugalah,” gumam Ayu lagi.Tanpa diketahui oleh Ayu semenjak tadi Wira justru melangkah mengikuti dirinya, dan dengan jelas ia mendengar Ayu bersungut-sungut. Termasuk saat gadis yang dijodohkan dengannya itu mengatakan kalau dirinya tidaklah jelek.“Jadi aku nggak je
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep