Keesokan harinya, Dinda terbangun sekitar pukul setengah lima pagi. Dia beranjak dari kamar menuju ruang dapur yang ada di rumahnya. Pertama kali, dia membuka kulkas. Namun, tidak ada bahan masakan yang bisa diolah.
“Lah, bagaimana mau bikinin sesuatu buat Danang,” keluhnya.
Wanita yang masih menggunakan piyama lengan pendek warna biru muda, tanpa ada motif itu pun duduk di salah satu kursi yang tidak jauh dari kulkas. Otaknya dipaksa untuk berpikir lebih keras.
“Beli makanan, juga tidak memungkinkan. Mana ada orang jualan sepagi itu. Paling kalau ada, ya, bubur,” gerutunya sambil memegangi rambutnya yang tergerai berantakan karena belum disisir.
Ekor mata Dinda melihat ke arah jam dinding yang terpasang di ruangan itu. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima pagi. Sedangkan, dia belum juga mandi dan bersipa untuk pergi ke kantor.
Akhirnya, Dinda melangk
Beberapa jam setelah Dinda pergi dari ruang kerja dengan nuansa warna krem itu, Danang pun mengambil gagang telepon yang ada di atas meja. Dia menguhubungi Agil agar kembali ke ruangannya. Ada hal penting ingin ditanyakan.“Secepatnya, Gil!” titah Danang menutup sambungan telepon.Kebetulan, saat ini pekerjaan lumayan senggang, sehingga Danang bisa mengobrol lebih banyak dengan Agil. Laki-laki dengan jas hitam itu masih penasaran dengan ucapan Agil yang terasa menganehkan.Tidak lama kemudian, Agil sudah masuk ke dalam ruangan Danang setelah mendapatkan ijin dari atasannya itu. “Bapak ada perlu dengan saya?” tanya Agil sambil menarik kursi di depan Danang.Sebuah kursi yang sebelumnya ditempati oleh Dinda. Kemudian, mata pria itu menatap ke arah Danang dengan tajam. Seakan bersiap agar bisa fokus dalam meneliti setiap kalimat yang keluar dari mulut Danang.“Agil, tolong jawab dengan jujur. Hal ini berkaitan dengan sesuatu yang sangat penting. Apa yang kamu tahu soal Dinda?”“Oh soal
Dinda yakin ada seseorang yang sudah membuat Danang berpikiran buruk tentangnya. Dinda sendiri sudah mengantongi satu nama, yaitu Agil. Hanya pria itu yang selama sehari penuh bercengkerama dengan Danang.Tepat saat parkiran sudah kosong, kebetulan Agil belum pergi dengan sepeda motornya yang murah itu. Dinda pun menunggu di samping kendaraan roda dua milik Agil.Dari kejauhan, Agil berteriak memanggil nama Dinda. “Mau apa kamu di situ?!” teriaknya seakan takut kalau Dinda akan merusak motor kesayangannya.“Agil, kamu sudah bicara apa saja dengan Danang?!” gertak Dinda yang mampu membuat Agil menyiutkan nyalinya.Agil menunduk lalu terkekeh. “Maaf, nggak sengaja keceplosan.”“Memang, apa yang kamu tahu soal aku, hah?” balas Dinda penuh dengan penekanan.Dinda tidak suka jika ada orang lain yang mengganggu. Aplaagi, sampai ikut campur dengan apa yang sedang ia kerjakan. Terutama tentang dia yang sedang berusaha untuk mendapatkan hati Danang.“Sudah aku katakan, nggak sengaja keceplosan
Keesokan harinya, Dinda datang ke ruang kerja Agil tanpa ada salam ataupun mengetuk pintu. Nyelonong masuk, seakan maling yang tak punya rasa hormat. “Kita perlu bicara,” kata Dinda yang masih berdiri di ambang pintu.Wanita yang saat ini menggunakan rok merah hati sepanjang lutut dan kemeja putih itu membalikkan badan, kemudian menutup pintu ruangan itu dengan rapat. Kemudian, balik badan lagi dan menatap lurus ke arah Agil yang masih sibuk dengan komputernya.“Agil, bisa kan kita bicara dulu. Toh, jam kerja belum mulai,” kata Dinda melangkahkan kaki mendekati Agil.Agil pun menatap ke arah Dinda yang masih berjalan.“Mau bicara soal apa? Soal kemarin? Memang kamu mau menjanjikan apa?”“Idih, bukannya kamu yang memberikan persyaratan?” tanya Dinda dengan tegas.Dinda duduk di sebuah kursi yang ada di depan Agil. Wanita itu terlihat mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Kemudian, dia tertarik dengan sebuah benda yang ada di pojok meja. Sebuah vas kecil berisi kaktus.“Mau kaktus?”
Ayu masih berkutat dengan pekerjaannya. Namun, tidak disangka telinganya mendadak panas. Seakan baru saja tersiram oleh air baru mendidih.Usut punya usut, ternyata ada beberapa rekan kerjanya sedang membicarakan latar belakang Ayu yang tidak memiliki pengalaman di dunia perhotelan."Maaf, apa pengaruh latar belakang ku dengan pekerjaan?" tanya Ayu dengan sopan sambil menatap ke arah teman-temannya yang ada di depannya.Posisi ruang kerja di dalam divisi Ayu adalah model terbuka. Tidak ada sekat, mereka bekerja menjadi satu dalam meja panjang. Ternyata, mereka selama ini sering membicarakan Ayu secara diam-diam.Sebuah ketidak tenangan yang terganggu, cukup membuat Ayu merasa buntu dalam mengerjakan pekerjaan."Kalau kalian tidak menyukaiku, bilang saja di depan saya secara langsung. Jangan saling berbisik untuk menjatuhkan orang lain."Ayu beranjak dari duduknya dan membawa satu berkas untuk diberikan kepada Wira, lalu melangkahkan kaki menuju ruangan Wira. Tenaga wanita itu sudah te
Danang baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Dia buru-buru mengemas barang-barang dan bersiap untuk meninggalkan gedung itu. Langkah kakinya semakin tergesa karena menuruti perut yang sudah tidak bisa ditunda untuk diberikan gizi.Pria itu sudah tiba di parkiran, menggunakan motornya menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam ke sebuah warung mi ayam. Dia berhenti di samping warung untuk memarkirkan kendaraannya. Tidak lama kemudian, dia masuk ke dalam warung untuk mengisi perut.“Mi ayam sama jeruk hangat,” kata Danang kepada seorang pedagang yang sedang berdiri membuat racikan bumbu di dalam mangkuk bergambar ayam jago.“Siap, ditunggu, ya,” jawab pedagang itu dengan senyuman yang begitu ramah.Danang pun melangkahkan kakinya ke salah satu meja yang ada di warung itu. Sebuah meja yang ada di pojok kanan. Menurutnya, tempat itu sangat nyaman untuk mencari ketenangan. Apalagi, di samping warung adalah sawah-sawah hijau yang ditumbuhi padi.“Dari padi, kita belajar. Semakin tingg
Diah tidak tahu ke mana perginya Danang. Wanita itu malah kepikiran akan satu hal. Dari mana adiknya mendapatkan uang untuk membayar biaya operasi Ibu Asih."Aku harus mencari tahu asal-usul uang itu. Nggak mungkin kalau Danang dapat dari hasil kerjanya. Gaji sebulan saja masih kurang, apalagi hanya dalam hitungan hari." Diah menatap ke arah pintu.Niat hati, Diah ingin menanyakan hal itu kepada Danang. Namun, pria itu belum juga kembali ke ruang rawat Ibu Asih.Danang sudah hampir setengah jam meninggalkan ruangan itu tanpa pamit yang jelas. Bahkan, tidak ada juga pesan yang dikirimkan kepada Diah mengenai keberadaannya saat ini."Ke mana lagi anak itu pergi?" lirihnya sambil meraih ponsel yang ada di atas nakas, sebelah ranjang pasien.Namun, baterai di ponselnya sudah habis. Tidak ada yang tersisa. Dia pun berdiri dan mengambil kabel charger untuk mengisi baterai ponsel yang disambungkan dengan terminal listrik itu."Ayo nyala," celetuknya sedikit kesal karena ponsel yang sedang di
Keesokan harinya, sekitar pukul enam pagi. Diah mengajak Danang pergi makan di kantin rumah sakit. Menikmati sarapan dengan sajian yang ditawarkan di sana. Walaupun hanya makanan sederhana, namun bisa memenuhi kebutuhan tubuh mereka, istilah orang jawa sing penting wareg.Kakak-adik itu duduk di salah satu meja kantin, membaca menu makanan yang ada di kertas bernuansa coklat.“Danang, apa Mbak boleh bertanya sesuatu?” tanya Diah meletakkan selembar kertas itu di atas meja.Danang yang masih sibuk membaca menu makanan itu pun ikut meletakkan kertas ke atas meja. Kemudian, menatap ke arah Diah dengan wajah yang begitu meneduhkan diiringi senyuman manis di ujung bibir.“Mbak mau tanya soal apa?” tanya Danang setelah beberapa saat menunggu Diah, namun wanita yang usianya terpaut dua tahun darinya ini tidak kunjung membuka suara.Diah masih berpikir. Dia merasa takut jika pertanyaannya akan melukai hati adiknya. Mau bagaimanapun, Danang sudah sangat lelah mencari biaya hidup. Sekan-akan, D
“Mbak, apa semua orang tua selalu begitu? Maksudnya mencari sesuatu yang terbaik untuk anaknya?” tanya Danang dengan suara yang mulai bergetar.Pria dengan kaos berwarna merah itu tidak bisa menahan kesedihannya lagi. Patah hati membuatnya seakan terjatuh ke dalam jurang berkilo-kilo meter. Mau bagaimana lagi, rasa cintanya melebihi rasa cinta dengan diri sendiri.Bahkan, Danang akan melakukan pengrobanan untuk sang wanita idamannya. Namun, untuk kawin lari seperti permintaan Ayu, dia tidak akan pernah sanggup. Bagi Danang, restu orang tua sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.“Orang tua mana pun pasti menginginkan sesuatu yang terbaik untuk anaknya.” Diah masih sibuk dengan buah apel yang ada di tangannya.Danang mengangguk, seakan paham. Memang, hal itu benar adanya. Namun, apakah orang miskin selalu hina?“Memang ada apa, Nang?” tanya Diah sambil meletakkan pisau di atas meja, kemudian duduk di kursinya dengan membawa apel yang sudah dipotong-potong dan dimasukk
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep