Wira cukup terkejut dengan permintaan Ayu. Pasalnya hubungan Ayu dan keluarganya juga cukup renggang karena Ayu yang memilih kawin lari dan kabur ke Semarang. “Ayu jaminin diri Ayu aja ke Mas,” ucap Ayu yang tidak habis pikir. Wira geleng-geleng kepala. Ia dengan gemas mengacak-acak rambut Ayu. Ia jadi ingin segera mengesahkan pernikahannya dengan Ayu kalau seperti ini. “Mas maunya hati kamu, Yu.” Wira menatap lurus ke arah Ayu. Ayu terdiam, mendengar ucapan Wira yang membahas soal hati. Jujur, ia masih mengharapkan Danang yang ada di depannya saat ini. Namun laki-laki itu sudah pergi jauh darinya. Melihat Ayu terdiam, Wira pun kembali mencairkan suasana. “Nggak usah dipikirin, Yu. Oh iya, kamu yakin mau pulang?” “Eum ... yakin, Mas. Seratus persen yakin. Ayu mau menata semuanya kembali. Ayu nggak mau terpuruk kaya gini gara-gara Mas Danang. Ayu mau upgrade diri Ayu.” Wira bangga mendengar ucapan Ayu yang kembali termotivasi untuk melanjutkan hidup. Ia kemudian me
Di lain tempat, seorang wanita dengan daster yang dibalut cardigan rajut, tengah menandangi rumah Danang. “Di mana kamu sembunyikan anak gadisku?” tanyanya berulang kali. “Ayu nggam ada di sini, Bu. Danang juga tidak tahu Ayu di mana,” jawab laki-laki bernama Danang. “Halah, kamu pasti bohong toh. Kamu sembunyikan anak saya karena hubungan kalian ndak saya restui? Ayu .... Nang ndi koe, Nduk?” (Di mana kamu, Nak?) Danang sudah mengatakan yang sejujurnya pada Ibu Ratmi, ibunda Ayu. Namun wanita paruh baya itu tidak percaya apa kata Danang dan menganggapnya berbohong. “Buk ....” “Nggak usah manggil-manggil saya buk, kamu udah jahat sama anak saya. Awas saja kamu, ya, kalau Ayu belum ketemu juga. Kamu bakal dapat ganjarannya,” ucap Ibu Ratmi dengan menunjuk-nunjuk Danang. “Saya nggak ngumpetin Ayu, Bu. Saya jujur.” Napas Ibu Ratmi memburu. “Udah lama anak gadisku hilang setelah pergi sama kamu. Kalau ndak mau ngaku juga, biar yang berwajib yang bertindak.” Set
Keesokan harinya, Wira bersiap-siap untuk mengantar Ayu pulang ke Solo. Begitu juga dengan Ayu. Ia memakai kemeja Wira yang tampak over size di badan mungilnya. “Sudah siap, Yu?” tanya Wira pada Ayu. “Udah, Mas. Ayo pulang sekarang, aku kangen ibu sama budhe,” jawab antusias. Wira mengambil kunci mobil, ia berjalan beriringan dengan Ayu menuju parkiran. Orang-orang yang melihat mereka mungkin akan mengira kalau mereka berdua adalah sepasang suami istri baru. Dengan penampilan Ayu yang mengundang perhatian. Juga Wira yang tampak gagah di samping Ayu layaknya suami yang selalu siaga. Perjalanan menuju Solo kira-kira memakan waktu dua jam lebih dari apartemen Wira. Sekarang masih pukul 6 pagi. Mereka akan sarapan di tengah jalan saja nanti. Wira membukakan pintu mobil untuk Ayu. Perlakuannya selalu manis pada Ayu. Ayu mengucapkan terima kasih seraya tersenyum. Wira pun masuk ke jok pengemudi. Melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ayu membuka jendela mobil, udara
“Biarin Ayu istirahat dulu, Bu. Masalah pernikahan dibahas kapan-kapan saja. Ayu juga masih shock dengan kejadian kemarin,” jelas Wira pada Ratmi. Ratmi mengerutkan kening. “Memang apa yang terjadi pada Ayu?” Wira menatap Ayu, seolah meminta izin untuk menceritakan kejadian kemarin. Ayu pun mengangguk, mengizinkan Wira bercerita. “Kemarin ada orang yang jahatin Ayu, Bu. Dia mencekoki alkohol pada Ayu dan ....” Dengan runtut, Wira menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi pada Ayu. Ratmi mengatupkan tangan pada mulutnya. Ia kemudian menatap Ayu dan memeluknya erat. Untunglah tidak terjadi apa-apa pada anak gadisnya. “Nak Wira, ibu berterima kasih sekali pada kamu, Nak.” “Sudah jadi tugas Wira untuk melindungi Ayu, Bu. Wira akan melakukan apa pun selagi mampu.” Ratmi tersenyum, ia mengelus puncak kepala anaknya. Ia jadi merasa bersalah telah memaksa dan memarahi anaknya. “Kamu istirahat dulu, Nduk. Maafkan ibu,” ucapnya pada Ayu. “Nanti saja, Bu. Ayu tidak a
Baru saja Ayu pulang dan bisa berkumpul lagi dengan ibunya. Namun kini ia kembali terpisah dengan ibunya. Apalagi terpisahnya karena sang ibu dibawa ke kantor polisi. Itu semakin membuat Ayu sedih. Wira mengambilkan alkohol dan kapas untuk membersihkan luka pada lulut Ayu. “Mas bersihkan dulu, ya, lukanya. Takut nanti infeksi.” Ayu yang tadi melamun pun menoleh pada Wira. “Biarin aja, Mas. Lukanya nggak sakit, kok,” ucap Ayu dengan suara parau. “Luka kecil pun perlu diobati, Yu.” Wira meneteskan cairan alkohol pada kapas. Lalu membersihkan luka tersebut dengan pelan-pelan. Ayu tidak merasakan perih atau sakit. Karena luka di hatinyalah luka yang paling sakit. Ia bersikap biasa saja. Membiarkan Wira membersihkan lututnya. "Seandainya menyembuhkan luka di hati segampang itu," batin Ayu. “Sudah selesai. Kamu jangan banyak-banyak melamun. Aku akan membantu masalah ini,” tutur Wira. “Mas bisa bantu Ibu bebas dari polisi itu?” tanya Ayu. Wira mengangguk. “Ya, Mas ak
Ruang sunyi, mata kosong ke depan, bayangan masa lalu yang melekat. Membuat gadis itu terus menyalahkan dirinya. Bayangan itu membawa jiwanya terus merasa bersalah.“Harusnya aku tidak melakukan itu,” ucapnya berulang kali pada dirinya sendiri.Harusnya dia tidak pergi dari rumah. Harusnya dia tidak melawan keluarganya demi cinta yang palsu. Harusnya dia tidak pergi kabur. Maka masalah seperti ini tidak akan pernah terjadi.Ibunya tidak akan terseret kasus. Budhenya juga tidak akan ikut terlibat. Ini semua karena dirinya. Karena Ayu.“Maafkan anakmu yang bodoh ini, Bu. Ayu memang yang salah. Ayu akar dari kerunyaman ini,” monolognya dengan air mata yang menggenang di pelupuk.Kecemasan Ayu semakin menjadi ketika pikirannya membawa ia pada kemungkinan buruk. Kalau ibunya tidak bisa dibe
Di kantor polisi, Wira dan Suhandi pergi menemui pihak yang membawa Ibu Ratmi dan Budhe Ning. Mereka menanyakan kejelasan yang sebenarnya terjadi. Ibu Ratmi dan Budhe Ning telah selesai diinterogasi. Mereka mengatakan sejujurnya kalau tidak ada maksud untuk membuat salah satu keluarga Danang kenapa-kenapa. Karena dari awal memang putrinya pergi dari rumah bersama Danang. Hingga tak kunjung pulang, jadi dia melaporkannya. Suhandi pun menghadapi polisi tersebut. Untuk melakukan pembelaan dan menemukan titik terang yang sebenarnya terjadi. Suhandi tidak akan membela yang salah. Ia mengkajinya dengan dasar-dasar hukum yang ia kuasai dan tidak sembarangan untuk memutuskan. Tidak lama, Danang pun datang. Ia mengatakan pada Suhandi, karena Ibu Ratmi, ibunya terkena serangan jantung dan perlu pengobatan yang serius. Padahal ia juga tidak bersalah sehingga dilaporkan oleh Ibu Ratmi. “Ibu saya tidak akan sakit kalau wanita itu tidak sembarangan melaporkan saya ke polisi.” Danang menunj
Orang yang Ayu tunggu-tunggu kehadirannya telah datang. Wira menepati janjinya untuk membawa Ibu dan budhenya. Saking senangnya Ayu, ia sampai memeluk Wira erat. “Terima kasih, Mas. Mas udah bawa ibu sama budhe Ayu pulang,” ucapnya yang semakin mengeratkan pelukannya. Ibu Ratmi dan Budhe Ning yang melihat mereka berpelukan tersenyum. Mereka pun meninggalkan kedua sejoli tersebut, tidak mau mengganggu keduanya. Pak Suhandi pun ikut masuk. Bu Ratmi membuatkan kopi untuk pengacara yang telah membantu menangani kasusnya. Kembali lagi pada Wira. Wira yang dipeluk erat oleh Ayu tentu merasa senang. Jantung Wira bahkan berdegup tidak karuan. Ia belum pernah sedekat ini dengan Ayu. Namun ia bukannya mau mengambil kesempatan. Ia tahu Ayu terlalu terbawa suasana sehingga memeluknya erat. Ayu juga terus mengucapkan kalimat terima kasih padanya. “Sama-sama, Yu. Aku juga senang bisa bantu kamu dan keluargamu,” ucap Wira. Ia tidak menunjukkan ekspresinya yang senang dipeluk oleh Ayu. Ia b
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep