"Wah, bagus banget, Mas!" seruku penuh kekaguman. "Keren, Bang!" Selvi pun turut memuji. Kami berdua memandangi stiker yang akan kami gunakan untuk label di bungkus baru kacang buatan kami. Kami bahkan memberi nama pada produk buatan kami sekarang, kacang 'Vive', gabungan nama kami Selvi dan Velove, dibaca seperti angka lima dalam bahasa Inggris. Labelnya berwarna dasar oranye dengan gambar kartun dua orang koki perempuan yang tersenyum lebar. Pilihan font untuk kata-kata di label itu pun begitu lucu, tapi tetap mudah dibaca. "Bang Vincent emang terbaik dah!" puji Selvi sekali lagi sembari mengacungkan kedua jempol tangannya. Pria yang telah menjadi kekasihku itu tersenyum lebar. "Pacar siapa dulu dong? Velove," tambahku dengan nada bangga, membuat hidung Mas Vincent semakin kembang kempis karena senang. Pipinya terlihat merona, dan kedua matanya berbinar bahagia. "Awas, sebentar lagi Bang Vincent terbang, cepat pegang tangannya," seloroh Selvi, yang bergerak cepat mencengkeram
"Mimii!" Cicitan anakku membuatku tersadar. Sepertinya aku berjalan terlalu cepat dan sulit baginya menyesuaikan langkah dengan kaki mungilnya. "Mimi gendong Ricky saja, ya," kataku sembari meraih anakku ke gendonganku agar kami bisa lebih cepat pergi, ketimbang anakku harus berjalan terseret-seret, kasihan. Ah, sudah dalam situasi terhalang restu orang tua Mas Vincent, tapi tetap saja aku menyebut diriku sendiri 'Mimi'. Sial, kebiasaan sulit diubah memang. Habis gimana lagi, anakku juga sekarang memanggilku 'Mimi' terus. Rumah keluarga Mas Vincent kebetulan tidak jauh dari jalan raya. Aku semakin bergegas ke sana, dan berharap ada kendaraan umum yang bisa kami tumpangi, karena aku tak mungkin kembali ke rumah itu untuk meminta Mas Vincent mengantarkan kami pulang. Beruntung sekali saat kami tiba di pinggir jalan, dalam jarak sekitar tujuh meter aku melihat sebuah taksi bergerak dengan kecepatan sedang. "Taksi!" teriakku sembari melambaikan satu tangan. Memahami lambaian tangan
"Makasih, Pak," ucap Mas Vincent seraya menyerahkan sejumlah uang kepada pak sopir. Kami telah tiba di depan Mall. "Sama-sama, Mas. Sebentar saya ambilkan kembaliannya." Pria itu hendak membuka laci yang ada di dekat setir, tetapi Mas Vincent berseru cepat untuk mencegahnya. "Nggak usah, Pak, kan tadi saya bilang mau kasih Bapak bonus buat beli teh dan pisang goreng," larangnya sambil terkekeh. Sang sopir taksi tampak sumringah, mungkin tidak menyangka bonus yang diberikan lebih banyak dari yang diperkirakannya. "Wah, ini banyak sekali lho, Mas. Rejeki nomplok ini." "Nggak apa-apa, Pak." "Jadi senang lho saya," kekehnya dengan senyuman lebar. "Hahaha," Mas Vincent ikut tertawa. "Saya doakan urusannya dengan calon istri Mas lancar ya, cepat naik ke pelaminan," ucap pak sopir dengan segala kesungguhan hati. Ah, si bapak ini, kenapa mesti menyebut lagi bahwa aku ini calon istri Mas Vincent. Yah, setidaknya statusku masih begitu sampai detik ini. "Amin, Pak. Mohon doanya saja," s
Kata orang kita baru akan mengerti betapa berharganya seseorang untuk kita, saat sosok itu tidak bersama kita lagi. Itu benar! Baru memandang punggung Mas Vincent yang berjalan perlahan menghilang dari pandangan mataku saja sudah membuat separuh hatiku terasa kosong. Apalagi sekarang, dia tak ada di sini. Seperti ucapannya yang akan menyingkir dari rusun untuk sementara waktu, sudah beberapa hari ini aku tak melihat pria itu. Hatiku semakin hampa, nggak lagi separuh, tapi sepenuhnya. Seolah baru tersadar bahwa sosok Mas Vincent telah mengisi seluruh ruangan khusus di dalam hatiku. Merana banget, apalagi tidak ada kabar darinya. Apakah dia sehat-sehat saja? Apakah dia sudah makan hari ini? Apakah dia sudah berhasil mencari tahu alasan ayahnya tak merestui kami? Apakah masih ada harapan untuk kami bersatu? Banyak yang ingin kutanyakan, namun untuk bertanya kabar duluan aku juga malu. Ah, kacau! Namun, yang merasakan hal itu bukan cuma aku. Anakku juga sedih dan mencari-cari Pip
"Kenapa Kak Velove ngeliatin aku kayak gitu? Aku cantik, ya?" Aku terkekeh mendengar pertanyaan Selvi yang begitu penuh kepercayaan diri. "Iya, Selvi. Kamu cantik, cantiiiik banget!" sahutku gemas. Selvi ... bocah satu ini telah menjadi suatu berkat bagiku selama masa kegalauanku. Sikapnya tiba-tiba sangat dewasa. Walau bukan berarti dia bisa memberikan semua solusi yang kubutuhkan, ia siap menemaniku saat aku harus atau ingin pergi ke suatu tempat. Seperti di hari ketika aku rindu dengan teman-teman di kafe, ia menemaniku ke sana. "Nggak apa-apa, Vi, aku bisa sendiri," ucapku untuk menolaknya secara halus. Aku nggak enak hati kalau merepotkan terus-terusan. "Santai aja kali, Kak. Aku jagain aja, mana tahu nanti Kak Velo limbung di jalan karena teringat Bang Vincent," celetuknya seenak hati. "Ish, aneh-aneh saja kamu ini." Masih saja sempat menggoda lho, anak satu ini. "Tenang saja, Mamak pasti kasih izin, yang penting pulangnya jangan kayak waktu Kak Velo masih kerja dulu," ja
"Duh, rame banget ini, Vi," keluhku di tengah kerumunan massa di dalam gedung ini. "Namanya nonton konser beneran memang kayak begini, Kak. Wuhuu!" Anak tetanggaku itu menggoyangkan tubuhnya dengan antusias, tanpa memedulikan keluhanku. Saat ini kami berada di mall T, bukan mall yang biasa kami datangi. Demi balas budi pada Selvi yang sudah selalu menemaniku, siang ini aku gantian menemani dia menonton acara live music Band Biru. Namanya memang lucu, Band Biru, kalau diterjemahkan dalam bahasa Inggris kan jadi merk margarin tuh. Selvi katanya lagi tergila-gila dengan vokalisnya yang bersuara serak-serak basah, dan wajahnya sedikit mirip Donghae Super Junior ... kata Selvi. "Selamat siang semuanya ...," seru sang vokalis mulai menyapa penonton. Kalau diperhatikan sebenarnya dia nggak mirip-mirip amat sama Donghae, agak halu memang penggemarnya. Cuma senyumannya lumayan mendekati senyum si anggota boyband K-Pop itu. "Siaaaang!" "Wuhuuuhuuu ...!" "Tony ... Tony ... I love you!"
Berbicara dengan Erick bukanlah hal yang sulit, yang sulit memulainya. Sudah beberapa bulan ini kami tidak berkomunikasi. Palingan ketika aku mendapat pemberitahuan ada uang masuk ke rekeningku untuk Ricky, aku mengirimi dia pesan singkat untuk berterima kasih. Itu pun hanya dijawabnya dengan singkat, hingga kami terbiasa seperti itu karena kesibukan serta kehidupan masing-masing. Dan kini, sejak hubunganku dengan Mas Vincent terhalang restu ayahnya, aku teringat pada Erick. Tentu saja bukan untuk mengajaknya balikan, itu tak mungkin terjadi, tapi aku ingin berkonsultasi dengannya ... jika memungkinkan. Maka siang itu aku memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat padanya, berharap dia akan menanggapi. Kalaupun kami tidak bisa berbicara di telepon, aku masih bisa bercerita dengannya melalui chat. 'Hai, Papa Ricky! Apa kabar?' begitu kutuliskan dalam pesanku. Ah, sapaan itu terdengar sedikit licik. Ketimbang menyebutnya dengan namanya, aku menggunakan panggilan 'Papa Ricky'. Dan
Belahan Jiwa. Untuk kali pertama dalam hidupku aku memahami makna sebutan ini. Seseorang itu telah menempati seluruh ruang di hatiku, hingga tak ada sisa cinta untuk yang lain. Dan ketika orang itu pergi, aku merasakan apa yang dikatakan Mas Anang Hermansyah, "Separuh jiwaku pergi ...." Ada momen dan tempat yang mengingatkanku akan sosok itu dan kebersamaan dengannya yang begitu manis, sampai nggak bisa dilupakan. Sudah hampir sebulan berlalu sejak Mas Vincent meninggalkan rusun. Dan nggak ada kabar darinya sama sekali. Sungguh tega kamu, Mas! Aku sendiri, meskipun rindu serindu-rindunya, tidak punya keberanian untuk menghubunginya duluan. Entahlah, aku bingung bagaimana harus memulainya, selain karena aku merasa malu tentunya.Walaupun sudah banyak yang mendukungku, aku masih ragu untuk memulai duluan. Mana tahu pria itu berubah pikiran, dan ingin mundur.Lagi-lagi aku mengkeret karena berpikir kalau dia mungkin menemukan perempuan yang lebih baik dariku. Atau jangan-jangan dia l
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni