Pagi-pagi buta, Jaonna membulatkan matanya saat melihat Aurora sudah berdiri di depan pintu. Wajah perempuan itu tampak cemberut. Joanna menatap tas ransel yang sedang di pegangnya.“Kok bawah tas?” tanyanya bingung. Aurora menghela napas panjang.“Maya mengusirku. Sepertinya dia cemburu,” jawab Aurora. Joanna menahan tawanya. “Kau serius, dia cemburu?” Aurora menganggukan kepala.“Aku boleh masuk?” tanyanya. Joanna menganggukan kepala. Dia membantu Aurora masuk ke dalam rumah.Aurora duduk di sofa sambil merengangkan otot-otot tangannya yang sangat kaku. Membawah bajunya yang tidak banyak membuat tangannya keram.Joanna memberikan secangkir air mineral. Perempuan itu meletakkan secangkir air mineral di depan Aurora.“William, apakah lelaki itu tahu kau di sini?” Aurora menggelengkan kepala.“William sedang pergi. Aku tidak tahu dia di mana. Kata Margaret, pagi-pagi buta dia sudah berangkat dengan mobilnya.”“Aku rasa, sebentar lagi Maya dan William berpisah.”“Tidak, itu tidak mungki
“Mengapa tidak tinggal bersama ayah dan ibumu?” tanya Aurora saat mobil perak itu berhenti tepat di depan sebuah mension berwarna putih. Aurora sangat takjub melihat bangunan mewah itu.“Saya suka jika sendiri,” jawab prof. John.“Oh, jadi begitu. Apa ayahmu berada di dalam juga?”Prof. John menganggukan kepala. Dia segera turun dan membantu Aurora untuk membuka pintu mobilnya. Aurora mengikuti prof. John dari belakang.“Yakin, bisa tinggal sendiri?”“Aku punya dua apartemen di Nevada ini.” Prof. John menatap Aurora dan masih menawarkan niat baiknya. “Aku suka jika kau menempatinya,” sambungnya lagi.“Tidak usah, aku tidak ingin merepotkan orang lagi,” jawabnya. Aurora mempercepat langkahnya mengikuti prof. John. Saat berada di depan pintu, ada dua pengawal berjas hitam yang berdiri dan memberi hormat.“Masuklah Aurora, orang tuaku pasti bahagia melihatmu.” Aurora dan prof. John berjalan menuju ruang keluarga. Aurora tersenyum. Seorang perempuan paruh baya langsung memeluk tubuhnya. N
“Haruskah aku kembali ke rumahmu?” Aurora memandangi William yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tidak bersuara.“Aku tidak ingin membuat Maya marah.” Aurora memandang keluar jendela dengan pandangan sendu. Kabut memenuhi jendela mobil.“Kau membenciku?” tanyanya. Aurora menggeleng.“Kau mengandung bayiku, tentu saja aku ingin bayiku.”“Aku bisa memberikan anak ini setelah aku melahirkannya,” sergap Aurora. William tidak mengubris. Lelaki itu mengambil ponselnya. Sepertinya dia sedang menghubungi seseorang saat ini.“Edward, antar aku dan Aurora ke pusat perbelanjaan. Aku ingin memberikan tas kepadanya!” perintah William. Aurora spontan menoleh ke arah William.“Aku tidak mau!” protesnya.“Lihat! Tas yang kau gunakan sangat lusuh. Aku bahkan malu melihat tas ini. Apa kau tidak punya uang sepeser pun untuk mengantinya? Ah sungguh, kau benar-benar miskin!”William menghela napas panjang. Aurora menatap tas ransel yang sangat disukainya. Barang itu adalah pemberian ayahnya. Sejak dulu,
“Sial, hampir saja!”William memandang keluar jendela. Untung saja Edward melajukan mobilnya dengan cepat sehingga wartawan itu tidak menangkapnya. Apa jadinya jika wartawan itu mengambil foto Aurora dan menyebarkannya? William menyeka peluh yang menetes di dahinya saat ini.“Kau seharusnya tahu, tidak mudah menghindari paparazzi itu!” gerutu William kesal. Aurora sepertinya tidak mendengarkannya. Bola mata perempuan itu berbinar memandangi tas indah yang ada di tangannya.“Hai, apa kau mendengarkanku?”“Jika wartawan itu mengejar kita, pastinya semua akan berantakan!”“Kau mau jika di kampus, kau akan kesulitan?” protes William. Aurora menghela napas panjang. Dia meletakkan tas itu di sampingnya sambil memandangi William.“Itu bukan urusanku! Seharusnya kau tahu bahwa menikahiku memiliki konsekuensi. Aneh saja kalian!” balas Aurora secepat mungkin. Dia memandangi bola mata William. Aurora tidak takut, dia akan melawan lelaki itu. Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba merasukinya.
William Keller dituduhkan berselingkuh. Berita mengenai perselingkuhan William menjadi headline news dan membuat lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal. William membuang majalah di atas meja lalu berjalan menuju jendela.“Berita murahan!”William menatap Edward yang berdiri di depannya. “Bagaimana bisa mereka menuduhku berselingkuh?”“Benar-benar lucu!” William menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. William memandangi Edward yang masih berjaga di depan pintu. Lelaki itu sejak beberapa hari selalu terdiam.“Kau menemui Maya dan Dominic selama ini. Bagaimana dengan mereka berdua?”“Apa ada yang mencurigakan dari mereka berdua?”“Apa benar kasus perselingkuhan itu?” William menatap Edward dengan bola mata menyipit. Edward menggelengkan kepala. “Tidak ada yang mencurigakan, Tuan!”“Semua sama saja, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.” Edward menunduk ke bawah dan terus bercerita. Dia tidak berani memandangi William.“Sepertinya nona Maya tidak berse
Aurora Smith, gadis berusia 24 tahun dan berambut panjang itu menatap kosong puing-puing kamarnya yang hancur. Bola matanya membulat sempurna saat melihat beberapa lelaki berjas hitam menjemput di dalam kamar. Perlahan, Aurora bisa melihat ada lima lelaki yang sedang menatapnya. Kelima lelaki itu memakai kacamata hitam. Semua memiliki wajah yang sangat menyeramkan. Bagaikan gigolo yang akan memangsanya.“Nona Aurora?” serunya. Aurora yang duduk sambil memeluk lututnya segera menatap lelaki berjas hitam yang sedang berdiri beberapa sentimeter dari tubuhnya. Kaki Aurora bergetar. Dia sedikit ketakutan namun Aurora berusaha menatap kelima lelaki asing itu.“Tuan kami sudah menikahi anda, anda adalah istrinya sekarang, pernikahan sudah didaftarkan dan tidak ada pilihan lain,” jawabnya. Aurora menghela napas panjang. Seakan ada bongkahan besar yang berada di tengorokannya saat ini. Bagaimana bisa dia sudah menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya?“Tuan Robert sudah memerintahkan
Aurora terbangun dan menatap tubuhnya di atas ranjang super king."Apa aku mimpi?"Pertemuanya dengan lelaki berjas hitam itu seperti mimpi buruk yang dengan cepat harus dilupakan."Ah!" desahnya. Aurora mencoba turun dan berjalan menyusuri ruangan kamarnya yang sangat besar. Bahkan kamar itu lebih besar dari rumahnya yang berada di Manchester.“Nona Aurora?” sahut suara itu. Aurora yang sedang asik memandangi lukisan spontan menoleh ke belakang dan menatap Bibi Margaret sedang menyiapkan gaun untuknya.“Tuan William akan datang, saya sudah menyediakan baju untuk hari ini.”Perempuan itu menunjukan gaun kepadanya. Aurora menatap gaun berwarna biru yang diletakkan di samping tempat tidur.“Apakah aku harus menggunakannya?”Bibi Margaret menganggukan kepala. “Tentu saja, Nona!”“Apa ada masalah?”Aurora menghela napas panjang. Pakaian itu terlalu mewah. Aurora tidak suka memakai gaun. “Apakah lelaki itu berumur tua?” tanya Aurora segera sebelum perempuan paruh baya itu pergi meninggal
Bola mata William membulat sempurna saat menatap seorang perempuan muda sedang berdiri ketakutan di depannya. Bekas air mata jelas terlihat di pipi manisnya. Bibir perempuan itu tipis dengan kulit yang putih bersih. Matanya menatap dengan tajam. Perempuan itu terlihat sangat asing.“Kau gadis yang disuruh istriku?”Aurora menggelengkan kepala. “Maksudmu apa? Aku tidak mengerti!”Willliam beranjak dari tempatnya berdiri lalu bergegas berjalan mendekati Aurora yang berdiri di balik pintu. Aurora mencengkram gaunnya. Lelaki itu memiliki wajah tampan namun tatapannya begitu tajam.“Perempuan yang akan melahirkan anak untukku!” tegasnya. Aurora memundurkan tubuhnya saat William berdiri beberapa sentimeter di depannya.Aurora membuang pandangannya. “Aku tidak mau!”“Lalu, buat apa kau di sini jika kau tidak mau?”Aurora mengigit bibir bawahnya karena ketakutan. William kemudian meletakkan tangannya di pipi Aurora. Tubuh perempuan itu seakan menegang. William menyentuh bagian rambut Aurora y
William Keller dituduhkan berselingkuh. Berita mengenai perselingkuhan William menjadi headline news dan membuat lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal. William membuang majalah di atas meja lalu berjalan menuju jendela.“Berita murahan!”William menatap Edward yang berdiri di depannya. “Bagaimana bisa mereka menuduhku berselingkuh?”“Benar-benar lucu!” William menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. William memandangi Edward yang masih berjaga di depan pintu. Lelaki itu sejak beberapa hari selalu terdiam.“Kau menemui Maya dan Dominic selama ini. Bagaimana dengan mereka berdua?”“Apa ada yang mencurigakan dari mereka berdua?”“Apa benar kasus perselingkuhan itu?” William menatap Edward dengan bola mata menyipit. Edward menggelengkan kepala. “Tidak ada yang mencurigakan, Tuan!”“Semua sama saja, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.” Edward menunduk ke bawah dan terus bercerita. Dia tidak berani memandangi William.“Sepertinya nona Maya tidak berse
“Sial, hampir saja!”William memandang keluar jendela. Untung saja Edward melajukan mobilnya dengan cepat sehingga wartawan itu tidak menangkapnya. Apa jadinya jika wartawan itu mengambil foto Aurora dan menyebarkannya? William menyeka peluh yang menetes di dahinya saat ini.“Kau seharusnya tahu, tidak mudah menghindari paparazzi itu!” gerutu William kesal. Aurora sepertinya tidak mendengarkannya. Bola mata perempuan itu berbinar memandangi tas indah yang ada di tangannya.“Hai, apa kau mendengarkanku?”“Jika wartawan itu mengejar kita, pastinya semua akan berantakan!”“Kau mau jika di kampus, kau akan kesulitan?” protes William. Aurora menghela napas panjang. Dia meletakkan tas itu di sampingnya sambil memandangi William.“Itu bukan urusanku! Seharusnya kau tahu bahwa menikahiku memiliki konsekuensi. Aneh saja kalian!” balas Aurora secepat mungkin. Dia memandangi bola mata William. Aurora tidak takut, dia akan melawan lelaki itu. Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba merasukinya.
“Haruskah aku kembali ke rumahmu?” Aurora memandangi William yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tidak bersuara.“Aku tidak ingin membuat Maya marah.” Aurora memandang keluar jendela dengan pandangan sendu. Kabut memenuhi jendela mobil.“Kau membenciku?” tanyanya. Aurora menggeleng.“Kau mengandung bayiku, tentu saja aku ingin bayiku.”“Aku bisa memberikan anak ini setelah aku melahirkannya,” sergap Aurora. William tidak mengubris. Lelaki itu mengambil ponselnya. Sepertinya dia sedang menghubungi seseorang saat ini.“Edward, antar aku dan Aurora ke pusat perbelanjaan. Aku ingin memberikan tas kepadanya!” perintah William. Aurora spontan menoleh ke arah William.“Aku tidak mau!” protesnya.“Lihat! Tas yang kau gunakan sangat lusuh. Aku bahkan malu melihat tas ini. Apa kau tidak punya uang sepeser pun untuk mengantinya? Ah sungguh, kau benar-benar miskin!”William menghela napas panjang. Aurora menatap tas ransel yang sangat disukainya. Barang itu adalah pemberian ayahnya. Sejak dulu,
“Mengapa tidak tinggal bersama ayah dan ibumu?” tanya Aurora saat mobil perak itu berhenti tepat di depan sebuah mension berwarna putih. Aurora sangat takjub melihat bangunan mewah itu.“Saya suka jika sendiri,” jawab prof. John.“Oh, jadi begitu. Apa ayahmu berada di dalam juga?”Prof. John menganggukan kepala. Dia segera turun dan membantu Aurora untuk membuka pintu mobilnya. Aurora mengikuti prof. John dari belakang.“Yakin, bisa tinggal sendiri?”“Aku punya dua apartemen di Nevada ini.” Prof. John menatap Aurora dan masih menawarkan niat baiknya. “Aku suka jika kau menempatinya,” sambungnya lagi.“Tidak usah, aku tidak ingin merepotkan orang lagi,” jawabnya. Aurora mempercepat langkahnya mengikuti prof. John. Saat berada di depan pintu, ada dua pengawal berjas hitam yang berdiri dan memberi hormat.“Masuklah Aurora, orang tuaku pasti bahagia melihatmu.” Aurora dan prof. John berjalan menuju ruang keluarga. Aurora tersenyum. Seorang perempuan paruh baya langsung memeluk tubuhnya. N
Pagi-pagi buta, Jaonna membulatkan matanya saat melihat Aurora sudah berdiri di depan pintu. Wajah perempuan itu tampak cemberut. Joanna menatap tas ransel yang sedang di pegangnya.“Kok bawah tas?” tanyanya bingung. Aurora menghela napas panjang.“Maya mengusirku. Sepertinya dia cemburu,” jawab Aurora. Joanna menahan tawanya. “Kau serius, dia cemburu?” Aurora menganggukan kepala.“Aku boleh masuk?” tanyanya. Joanna menganggukan kepala. Dia membantu Aurora masuk ke dalam rumah.Aurora duduk di sofa sambil merengangkan otot-otot tangannya yang sangat kaku. Membawah bajunya yang tidak banyak membuat tangannya keram.Joanna memberikan secangkir air mineral. Perempuan itu meletakkan secangkir air mineral di depan Aurora.“William, apakah lelaki itu tahu kau di sini?” Aurora menggelengkan kepala.“William sedang pergi. Aku tidak tahu dia di mana. Kata Margaret, pagi-pagi buta dia sudah berangkat dengan mobilnya.”“Aku rasa, sebentar lagi Maya dan William berpisah.”“Tidak, itu tidak mungki
Edward selama di dalam mobil memandangi Maya dari kaca spion. Wajah perempuan itu terlihat lelah. Sejak pagi mereka berada di kantor Dominic. Pukul lima sore, mereka baru bisa pulang.Edward tahu, Maya memiliki hubungan gelap. Gosip yang menyebar itu benar. Walapun Maya lebih suka menutupi kenyataanya.“Mengapa kau melihatku seperti ini?”“Apakah terbesit di pikiranmu menyesal menghianati William?” Maya menatap Edward. Pengawalnya itu menyetir mobil dan hanya terdiam.“Tidak, Nona!” jawab Edward.“Berapa tahun kau bekerja di keluarga Keller?” tanya Maya lagi. Edward mencoba mengingat, berapa tahun dia mengabdi di rumah pengusaha terkenal itu. Edward sudah lupa, yang dia ingat waktu itu, dirinya berada di keluarga Keller semenjak lulus dari kuliah. Tuan Damian melunasi hutang ayahnya dan dia membalas hutang budi Tuan Damian dengan menjadi pengawal setia.“Jangan pernah menceritakan semua ini.”“Aku yang membiayai seluruh pengobatan ibumu. Jadi pikirkan itu!” tukas Maya.“Baik Nona!” E
Maya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia menatap seluruh wartawan yang mengarahkan kamera. Kilatan cahaya memenuhi wajahnya. Seluruh wartawan fokus memandanginya. Mereka menunggu penjelasan dari Maya saat ini.Dominic memandangi Maya. Entah mengapa perempuan itu terdiam cukup lama. “Bicaralah!” bisik Dominic sedikit mencondongkan wajahnya. Menyuruh perempuan di sampingnya untuk mengangkat suara. Maya menutup matanya sejenak. Peluhnya menetes di dahi. Dia menenangkan deru napasnya yang memburuh.“Oke!” “Maaf atas semua gossip yang beredar. Aku dan Dominic tidak memiliki hubungan apapun. Terkait gossip itu, kami tidak tahu dan tidak peduli!” Dominic tersenyum. Dia lalu mengambil pengeras suara dan mendekatkannya ke wajah.“Aku dan Maya adalah teman. Aku bersahabat dengan tuan William dan tidak mungkin kami melakukan hal menjijikan seperti itu!” jelas Dominic menambahkan. Maya menghela napas panjang. Seluruh wartawan fokus mengambil gambar mereka berdua. Maya
“Ayo kita pulang,” bisik William. Dia terus memeluk Aurora dan sesekali perempuan itu cegukan. Aurora menongakan wajahnya dan menatap William lebih dekat.“Aku mau di sini,” jawabnya. William menyentuh kepala Aurora dengan lembut. Dia mencium kening perempuan itu hingga dua kali.“Di sini? Kau serius ingin di sini?” tanyanya. Aurora menganggukan kepala.“Ya, aku mau di sini, William!”Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia menatap ibunya yang masih terbaring lemas. Walaupun sudah melewati masa kritisnya, Aurora tidak ingin jauh dari ibunya.“Joanna sudah pulang, besok kalian harus kuliah.”“Aku sudah menyewa beberapa pengawal untuk berjaga di sini. Ibumu belum sadar. ” William tidak pernah melepaskan gengamannya dari Aurora.Suasana di rumah sakit Valley Hospital Las Vegas sangat sepi. Hanya ada beberapa lelaki berjas hitam yang sudah bersedia di depan pintu rumah sakit. William memerintahkan kepada pengawalnya untuk berjaga di tempat itu.“Aurora,” sahu
“Ada apa?” sahut Joanna segera.“I-ibuku kritis!”Tanpa berpikir lama, Aurora bergegas beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan keluar dari dalam cafe. Air matanya mengalir di pipi. Aurora ketakutan setengah mati. Tidak, dia tidak ingin terjadi sesuatu kepada ibunya.“Aurora, tunggu!” Joanna mengikutinya dari belakang. Secepat kilat Aurora menyeka air matanya yang terus berjatuhan.“Aku ikut!”Joanna segera menghentikan taksi yang lewat di depan mereka. Selama di perjalanan, Aurora terus menangis. Dia panik, Aurora bingung harus berbuat apa saat ini.“Sudah, jangan menangis!”“Aku yakin, nyonya Rebeca baik-baik saja,” sahut Joanna. Dia terus menyentuh pungung Aurora untuk menenangkannya. Aurora menutup wajahnya dengan kedua tangan dan terus menangis. Tidak, dia tidak ingin kehilangan lagi.“Semua akan baik-baik saja,” sahut Joanna kemudian. Aurora terdiam membisu, hanya isak tangisan yang menjadi jawabannya.“A-aku harus bagaimana?” Joanna berusaha menenangkannya. Ponsel Aurora ter