"Yudha membawanya ke sini?" Mata Felix membelalak kaget."Terus kenapa?" Agnes menatapnya serius. "Jangan berani-berani membawa pergi anak ini tanpa persetujuanku, atau aku akan merebut kedua anak Yara.""Bu!" Felix tidak punya pilihan lain. Dia berjalan mendekat dan memandangi si kecil. "Dia nggak mirip adiknya."Dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto si kecil beberapa kali. "Yara sudah boleh pulang dari rumah sakit beberapa hari lagi. Dia boleh datang ke sini?""Kapan pun juga boleh." Agnes menambahkan dengan sedikit rakus, "Tapi dia harus bawa adiknya ke sini."Felix tersenyum. "Oke.""Punya anak itu sangat membahagiakan. Rumah itu baru lengkap kalau ada orang tua dan anak-anak." Agnes teringat Kakek Susilo dan matanya sedikit memerah. "Sebuah berkah yang nggak ternilai harganya.""Iya, Bu, jangan sedih." Felix memeluk Agnes dengan lembut. "Kakek di surga pasti sudah lihat dan ikut bahagia.""Ya." Agnes buru-buru mengusap air matanya dan bertanya lagi, "Ngomong-ngomong, Yara
Sehari setelah Yara keluar dari rumah sakit, hakim yang menangani kasus perceraiannya datang berkunjung."Selamat, kamu sudah menjadi ibu." Sophia memandangi si kecil di kereta bayi dan merasa gemas. "Yara, kamu pasti sangat manis waktu masih kecil. Si kecil ini sangat murah senyum."Yara tersenyum sayang. "Ya, dia suka tersenyum. Aku nggak tahu apa yang membuatnya sangat bahagia.""Bahagia punya ibu yang cantik sepertimu." Sophia lalu menegakkan tubuh dan menatap Yara. "Kalau nggak salah, kamu pernah bilang anaknya kembar, 'kan? Yang satunya mana?"Senyum di wajah Yara sedikit memudar. "Dia ... dengan Yudha.""Oh, maaf, aku nggak bermaksud mengungkitnya." Sophia dapat melihat bahwa Yara sedang sedih. Dia segera menambahkan, "Kamu tetap ingin bercerai?""Bu Sophia, ayo bicara di luar." Meski dia tahu bahwa Yola tidak mungkin mengerti, Yara tetap tidak ingin membicarakan perceraian di depan anaknya.Sophia mengerti dan mengangguk. "Ayo keluar."Yara memanggil pengasuh untuk menjaga Yola
Yara perlahan menurunkan tangannya yang memegang ponselnya, hampir menangis kegirangan dan berkata, "Siska, ayahku sudah bangun.""Ayahmu?" Siska pun ikut merasa senang. "Syukurlah, Tuhan memang maha pengasih. Bagaimana sekarang? Kamu mau ke rumah sakit?""Iya, aku mau ke sana sekarang." Yara berbalik dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap-siap."Aku ikut." Siska meletakkan piringnya dan juga kembali ke kamar untuk berganti pakaian.Di tengah perjalanan, Siska tiba-tiba bertanya, "Oh iya, yang telepon kamu tadi dari pihak rumah sakit?""Bukan, itu Melanie." Setelah lebih tenang, Yara akhirnya merasa sedikit aneh."Melanie?" Siska melirik Yara. "Kalau ayahmu sudah sadar, kita bisa dapat petunjuk lebih banyak soal kasus penusukannya waktu itu 'kan?""Seharusnya begitu." Yara mengangguk sambil berpikir."Rara, menurutmu ... Melanie ikut terlibat nggak?" Siska bertanya dengan ragu-ragu.Saat peristiwa itu terjadi, mereka semua sangat curiga pada Melanie. Meski Santo belum
Yara memasuki kamar dengan raut wajah curiga. Siska mengikuti di belakangnya.Di ranjang rumah sakit, luka-luka di tubuh Santo sudah lama sembuh. Dia sedang melihat ke luar jendela dan menoleh saat mendengar suara pintu dibuka."Ayah!" panggil Yara dengan suara tercekat. "Ayah akhirnya bangun."Sekelebat keraguan muncul di mata Santo. Dia menatap Yara, lalu menatap orang di belakang Yara. "Kalian ... cari siapa?"Jantung Yara berdegup kencang. Dia meraih tangan Santo. "Ayah, aku Rara!"Santo mulai meronta. "Lepaskan aku, aku nggak kenal siapa kamu!"Dia berteriak ke luar dengan suara keras, "Melly, cepat masuk, Ayah takut. Mereka siapa?"Tubuh Yara melemas dan hampir ambruk."Rara, kamu nggak apa-apa?" Siska memegang tangan Yara dan berkata dengan suara gemetar, "Rara, ayahmu sepertinya nggak kenal kita lagi.""Bukan sepertinya lagi. Memang begitu." Suara Melanie terdengar dari belakang mereka.Dia menyilangkan lengan dan bersandar di kusen pintu, mengabaikan permintaan tolong Santo. "
Wanita itu mendecakkan lidah. "Kukira hatimu sangat mulia. Nggak masalah kamu nggak jadi merawatnya. Demi kekayaan keluarga, aku bersedia mencarikan panti jompo biar dia bisa menikmati masa tuanya.""Aku bersedia merawatnya." Yara segera membenarkan "Aku cuma nggak nyangka kamu mau melepaskannya begitu saja."Wajah Melanie sangat masam. Dia berdiri lagi dan menatap Yara lekat-lekat. "Pikir sendiri, dia sekarang sampah, nggak bisa makan minum sendiri. Pergi ke toilet harus dilayani. Dia bahkan nggak kenal siapa kamu. Dalam kepalanya sekarang, anaknya itu Melly."Yara tetap teguh. "Aku tahu, aku bersedia merawatnya. Kapan aku bisa membawanya pergi?"Melanie mengerutkan kening dan mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Yara. "Rara, kamu nggak gila, 'kan?""Aku baik-baik saja." Yara menghindar dengan jijik. "Harta keluarga Lubis, hak waris, apa pun itu, ambil saja semuanya. Aku ingin dia."Melanie masih merasa tidak percaya. Dia menyentuh dagunya dan berkata, "Atau kamu berharap dia sad
Setelah kembali ke apartemen, Yara membawa Santo ke kamarnya. "Ayah, kamu tidur di sini dulu beberapa hari.""Tempat apa ini? Ini bukan rumahku." Siapa sangka, Santo yang telah berhasil ditipu tiba-tiba membuat masalah lagi. "Ini bukan rumahku. Aku mau pergi, aku mau pergi."Yara menyerahkan Yolanda kepada pengasuh, lalu menggandeng Santo bersama Siska. "Ayah, ini rumah Melly. Ayah tinggal di sini dulu, ya. Beberapa hari lagi, Melly akan Ayah pulang.""Rumah Melly?" Santo rupanya masih ingat beberapa hal, tapi sebagian besar sudah lupa, misalnya bahwa Melly harusnya tinggal satu rumah dengannya.Tidak perlu waktu lama, dia menerima bahwa ini adalah rumah Melly. Dia tidak teriak-teriak minta pergi lagi. Hanya saja, dia terus mengejar-ngejar Yara dengan pertanyaan, "Di mana Zaina?""Ayah tidur dulu malam ini. Besok aku antar Ayah ketemu Ibu,” kata Yara sambil menahan emosinya.Santo sudah lelah setelah membuat keributan dan tidur lebih awal.Malam harinya, Yara tidur di kamar Siska. Yola
Dia memegang lengan Santo dengan erat. "Ayah, kamu ingin bertemu Ibu 'kan? Ayo kembali.""Itu bukan ibumu. Aku mau pulang." Pria tua itu tampak marah.Yara terus membujuknya dengan segala cara, tapi Santo tidak mau menerima kenyataan bahwa Zaina telah meninggal dan menolak kembali ke pemakaman."Rara!" Felix akhirnya sampai dan bergegas menghampiri mereka. Dia menatap Santo dengan keheranan. "Paman Santo? kamu sudah sadar?"Yara tidak menyangka Felix akan datang. Setelah bertanya, dia menjelaskan bahwa Santo menderita Alzheimer dan sekarang tinggal dengannya."Melanie ini, sungguh keterlaluan." Felix menggelengkan kepalanya tanpa daya dan berkata kepada Yara, "Sudahlah, jangan paksa ayahmu pergi kalau dia nggak mau."Dia menatap Santo dengan penuh simpati. "Semua orang tahu dia sangat mencintai ibumu. Mungkin, melupakan kepergian istrinya akan lebih baik untuk perasaannya."Yara memikirkan memikirkannya dan menyadari bahwa mungkin ini memang yang terbaik. "Tolong antarkan ayahku ke mob
Ketika hendak pulang, Yara memanggil sopir pengganti untuk membawakan mobilnya dan naik mobil Felix bersama-sama."Kita cari pengasuh satu lagi saja." Felix memberi saran, karena dia tahu merawat pasien Alzheimer perlu banyak tenaga."Nggak perlu." Yara buru-buru menolak. Dia melirik Santo di sampingnya. "Ayahku lebih banyak diam sekarang. Baru tadi dia marah waktu aku terlalu memaksa."Dia meyakinkan Felix dengan serius, "Aku bisa mengurus mereka sendiri, nggak perlu cari pengasuh."Felix berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Kalau begitu, pindah rumah saja, bagaimana?"Memang, apartemen yang mereka tinggali sekarang tidak bisa menyediakan tempat sendiri untuk pengasuh. Dia ingin pindah rumah terlebih dahulu, baru kemudian mencari pengasuh."Nggak, Kak, aku nggak butuh apa-apa sekarang." Yara berkata dengan serius, "Kak Felix, aku beneran baik-baik saja. Aku nanti marah kalau kamu memutuskan sesuatu tanpa pendapatku.""Oke." Felix bisa melihat bahwa Yara benar-benar tidak mau. "Kapan-k
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid