Berlina terlihat sedang banyak pikiran hari ini.Saat pulang kerja di malam hari, Yara akhirnya bertanya, "Uangnya sudah terkumpul semua?""Sudah." Berlina berusaha untuk tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu."Yara menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa membantu banyak. Ngomong-ngomong, siapa yang sakit? Sakitnya serius?"Mata Berlina langsung memerah."Kak Berlina." Yara mulai panik. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita. Aku nggak akan tanya lagi. Tapi kamu kelihatan sangat gelisah seharian ini. Kupikir, mungkin kamu akan merasa lebih baik kalau bisa menceritakannya."Dia menarik sudut mulutnya. "Nggak masalah kalau kamu nggak mau."Sebenarnya, dia menyadari dari beberapa hari ini. Berlina tidak dekat dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Rasanya selalu ada jarak."Yang sakit anakku." Air mata berlinang begitu Berlina membuka mulutnya. "Namanya Naya, dia baru delapan tahun."Dia berhenti sejenak sebelum berkata lagi, "Penyakit jantung bawaan."Yara merasa dadanya sesak s
Dia merasa kasihan atas keadaan Amel, tapi dia sendirian dan tidak punya uang lebih untuk membantu mereka."Ya, tadi sekalian belanja bahan makanan." Yara tahu tentang situasi Berlina dan tidak ingin merepotkan Berlina."Jadi begini, aku harus keluar sebentar dan aku ingin kalian ..." Mata Nando menyapu keduanya sebelum akhirnya tertuju pada Yara. "Tolong jaga Amel dulu, aku nggak akan lama."Dia ingin menemui Melanie dan meminta Melanie datang menemui Amel.Yara memandang Berlina dengan ragu.Meskipun agak enggan, Berlina mengangguk cepat dan berkata kepada Nando, "Bukannya kamu bilang ibu Amel pulang? Kami nggak bisa bantu menjagakan Amel terus-terusan. Kalian harus memikirkannya lagi.""Jangan khawatir, aku akan menjemput ibunya hari ini." Mengetahui bahwa Berlina tidak terlalu bersedia membantu, Nando menatap Yara. "Maaf harus merepotkanmu sekali lagi."Oke." Yara menggandeng tangan Amel, berniat masuk ke dalam."Ngomong-ngomong." Nando tiba-tiba memanggilnya. "Kamu sudah sering me
Melanie menutup telepon. Nando tertawa sinis, segera mengirim pesan: "Jangan menyesal."Dia meletakkan ponselnya dan memasuki ke gedung Grup Lastana, menuju meja resepsionis."Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu masih muda dan cantik, dengan bahasa Inggris yang fasih.Nando dulunya adalah siswa berprestasi, tentu saja bahasa Inggrisnya lumayan. Dia segera mengatakan bahwa dia ingin bertemu Melanie.Resepsionis itu tetap memberikan tersenyum sempurna. "Apa sudah membuat janji? Atau mungkin telepon Nona Melanie lebih dulu, minta dia menjemputmu?""Merepotkan." Nando kehabisan kesabaran. "Kamu telepon saja dia sekarang dan minta dia turun."Resepsionis itu ragu-ragu sejenak, kemudian menghubungi nomor Melanie.Melanie sedang di dalam rapat dengan Yudha ketika sekretarisnya masuk dan memanggilnya. Dia dapat langsung menebak bahwa itu adalah Nando.Dia tidak ingin menghiraukannya, tetapi dia mendengar Yudha berbisik, "Keluarlah, kamu nggak bisa membantu banyak di sini.
"Bukan sepuluh miliar, beri aku ... uang jajan saja." Mata Nando sedikit mengelak.Melanie merasa aneh. "Bukannya sudah aku kasih tadi malam? Nggak mungkin langsung habis buat sewa kamar 'kan? Masa nggak bersisa?""Ayolah, kamu nggak tahu harga-harga di sini?" Nando sedikit jengkel. "Aku sudah habiskan semua uangnya untuk beli makanan dan baju Amel. Beri aku 10 juta lagi.""Satu hari satu malam bisa makan sebanyak apa? Harga baju anak kecil juga paling berapa?" Melanie merasa ada yang tidak beres."Apa pedulimu? Kamu mau kasih atau nggak?" Nando terlihat semakin kesal dan berteriak keras. "Kamu akan jadi menantu keluarga Lastana. Uang 10 juta saja itu kecil, kenapa kamu pelit sekali?"Melanie tidak ambil pusing dan langsung memberikan uang kepada Nando.Nando menerima uang itu dan mengancam dulu sebelum pergi. "Jangan coba-coba meninggalkan aku dan Amel."Melanie menatap punggungnya dan mengatupkan giginya. Dia harus mencari cara untuk menyingkirkan pria dan anak sialan itu secepatnya.
Yara baru tahu dia harus pergi memilih lokasi setelah tiba di kantor. Jadi, dia belum sempat mengganti sepatunya.Padahal Candy dan Berlina mengenakan sepatu yang lebih tinggi darinya. Staf perusahaan fashion pada dasarnya sangat memperhatikan detail ini. Bedanya, dia sedang hamil, tapi dia pikir itu tidak masalah.Yang tidak dia sangka, Yudha benar-benar tidak berbohong. Beberapa tempat tersebut pada dasarnya berada di kaki gunung. Secara ekologis memang bagus, tapi jalannya tidak mudah dilalui.Baru di lokasi pertama, Yara sudah tersandung beberapa kali."Rara," bisik Berlina dari belakang. "Kamu nggak mau pulang dulu saja?""Nggak apa-apa, aku masih bisa bertahan." Yara tidak ingin melepaskan kesempatan ini."Ya sudah." Berlina tersenyum. "Lebih hati-hati saja. Kalau nggak kuat, pulang saja dulu. Aku akan mencatat, nanti kubagikan denganmu kalau sudah pulang.""Iya, terima kasih Kak." Keduanya kini semakin dekat dan hubungan mereka semakin erat.Setelah melihat lokasi pertama, merek
"Tinggal bersama?" Yara bertanya-tanya dalam hati. Jika itu benar, lalu cinta Melanie pada Yudha ... tulus atau pura-pura?Berlina mengangguk lagi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakannya lagi, tapi dia agak ragu.Yara tidak dapat menahan rasa penasarannya. "Ada lagi?""Aku dengar." Berlina menekankan lagi. "Aku dengar ya, Melanie juga punya anak dari pacarnya ini.""Serius?" Rahang Yara hampir menganga mendengarnya.Dia ingat betul bahwa Yudha pernah mengatakan bahwa Melanie tidak bisa hamil. Dan justru karena itulah Yudha semakin yakin bahwa Melanie adalah gadis kecil yang menyelamatkannya.Namun, setelah dipikir-pikir, Melanie yang tiba-tiba ingin pergi ke luar negeri saat itu juga sangat aneh. Mungkinkah dia memang punya pria lain? Atau bahkan sedang hamil anak pria lain?Yara tidak berani memikirkannya lebih lanjut. Dia menatap mobil di depannya. Entah kenapa, dia merasa bahwa Yudha benar-benar ... pantas mendapatkannya kalau memang dia ditipu!Dia tidak kasihan sedikit pun
Yudha memejamkan matanya kesal.Di telepon barusan, dia tahu persis mengapa dia menerima undangan makan malam ini. Dia tahu Melanie akan sedih jika dia tahu. Namun, dia tetap menyembunyikannya dari Melanie.Dan itu semua dia lakukan tanpa berpikir panjang. Seperti sebuah refleks.Dia benar-benar gila. Padahal wanita itu yang mengandung anak-anak orang lain.Dia tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya.Saat Yudha kembali ke ruang pribadi, makanan sudah hampir tersaji semuanya.Candy mempersilakan semua orang untuk mulai makan. "Mari makan, terutama Rara yang sedang berbadan dua, kalian berdua pasti kelaparan.""Bukan berbadan dua, tiga malah." Berlina mengingatkan sambil tersenyum."Benarkah? Kembar?" Candy sangat terkejut. "Kebahagiaannya berlipat ganda."Karena penasaran, dia bertanya pada Yara, "Tapi, ayah mereka nggak keberatan kamu datang ke sini sendirian? Hamil kembar 'kan nggak gampang."Genggaman Yara semakin erat pada sendoknya. Dia berusaha keras untuk tetap tersenyum. "Dia
Felix tidak berkata apa-apa dan memandang lebih lama sebelum akhirnya mematikan rokoknya dan kembali ke mobil."Ayo pergi."Gio yang seorang psikiater saja tidak mengerti dengan jalan pikiran seperti ini.Dia menyalakan mobil sambil berkata samar, "Kamu ini benar-benar pengagum tanpa nama. Biar kuberi tahu, kamu nggak akan mendapatkan manfaat apa-apa dari perilaku seperti ini."Felix melihat ke luar jendela mobil. "Aku cuma ingin memastikan dia baik-baik saja.""Cih!" Gio tidak mau repot-repot menghiraukannya.Mereka melewati sebuah limusin. Felix merasa limusin itu agak familier, tapi tidak terlalu memikirkannya.Di dalam limusin, Yudha menyilangkan kaki dan memberi perintah, "Jalan."Dia tadi mengikuti Yara, dan dia juga melihat Felix. Jadi Yara berbohong tadi. Ayah dari anak-anaknya juga ikut ke sini.Dia tersenyum pahit. Mereka berdua benar-benar tak terpisahkan.Namun, kurang dari sepuluh menit setelah Yudha pergi, sebuah taksi lain berhenti di bawah gedung apartemen. Tak lama kem