Yara gelisah sejak dia kembali ke rumah."Dia berani bunuh diri?" Kemarahan Siska meluap-luap. "Aku akan berdoa untuknya sekarang, berdoa semoga dia selamat sampai tujuan."Melihat Yara terdiam, Siska melanjutkan, "Rara, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Nggak mungkin dia mau bunuh diri. Itu semua cuma sandiwara, dia nggak mungkin mati, dia hanya ingin ...""Ingin Yudha datang padanya. Aku takut dia punya rencana lagi," ucap Yara menyelesaikan perkataan Siska.Hanya ada satu perasaan di hati Siska. Betapa beratnya mencintai seseorang. Terutama karena selalu ada wanita jalang yang berusaha merebut pria itu.Dia menggelengkan kepalanya. "Dia sudah mati sejak tadi, kenapa kita pusing-pusing di sini?""Pfft!" Yara seketika merasa geli.Dia teringat kejadian siang tadi. "Ngomong-ngomong, Siska, Tanto mau apa mencarimu tadi?""Apa lagi kalau bukan itu?" Siska tersentak dan tertawa. "Memintaku mengobati dia.""Mengobati?" Yara terdengar kebingungan."Iya." Siska mengangkat sudut bibirnya. "
Dia terdiam beberapa saat, dan ketika dia melihat Yara tidak berniat untuk bicara lagi, dia menutup telepon.Yara terlihat semakin tertekan. Semuanya menjadi hening dan sunyi."Rara," panggil Siska, agak khawatir. "Sekarang masih sore, ayo kita nonton sesuatu?"Yara menggeleng. "Aku agak capek, aku mau tidur dulu.""Masih sore begini?""Ya." Yara bangkit dan menyeret dirinya kembali ke kamar.Dia benar-benar merasa lelah dan tidak ingin memikirkan apa pun.Felix langsung pergi ke rumah sakit setelah menutup telepon. Saat melihat Yudha, tangan Yudha masih dalam genggaman Melanie.Wajahnya langsung beranjak kelam. "Keluarlah sebentar."Yudha menatap Melanie yang tampak tertidur dan mencoba menarik tangannya, tetapi Melanie langsung membuka mata begitu dia bergerak.Matanya dipenuhi kepanikan. "Yudha, kamu mau ke mana?""Aku mau keluar sebentar, nggak lama." Yudha menutupi tubuhnya dengan selimut. "Cuma di depan pintu, kamu bisa panggil aku kalau butuh sesuatu."Melanie mengangguk sedih d
"Ya, terus apa?"Felix tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Kamu adalah kepala keluarga Lastana, orang yang maha kuasa di Selayu. Nggak ada yang bisa berbuat apa pun padamu."Dia menatap Yudha dengan tegas, senyum di wajahnya menghilang. "Tapi aku tetap harus mengatakan, mulai sekarang, jalanilah hidup yang baik bersama Melly-mu, apa yang terjadi pada Rara bukan urusanmu lagi.""Atas dasar apa kamu bicara seperti itu? Kamu pikir kamu ini siapa?" Yudha melangkah ke depan.Felix melenggang pergi. "Siapa? Sebagai calon suaminya.""Felix Lastana!" Yudha menggertakkan gigi penuh kebencian dan mengumpat dengan marah ke arah punggung Felix. "Kamu nggak punya hak untuk mengendalikanku!"Dan tidak punya hak untuk mengontrol Yara juga!Dia menghantamkan tinjunya ke dinding, kemarahan di dalam hatinya intensitas yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Felix sudah memutuskan, dia ingin bersama Yara. Dia ingin merebut kembali hati Yara."Felix?" Seseorang tiba-tiba memanggilnya.Felix meno
Dia menjadi semakin gelisah. "Siapa dia? Apa sebenarnya yang kamu ketahui?"Yara kembali bimbang.Sebenarnya, masalah Melanie membunuh Zaina baru spekulasi saja. Apa yang sebenarnya dilakukan Melanie, dia tidak tahu.Dia hanya yakin Melanie tidak akan meninggalkan petunjuk apa pun.Jika dia sekarang bersikeras bahwa Melanie-lah yang melakukannya, dia mungkin hanya akan menjerumuskan Santo ke dalam penderitaan yang tak berkesudahan.Masalah ini, kalaupun dia harus mengatakannya, dia harus melakukannya selangkah demi selangkah.Zaina sudah tidak ada, dia tidak bisa melihat Santo semakin terjatuh.Santo adalah satu-satunya kerabatnya yang tersisa di dunia ini."Paman, aku sebenarnya belum punya bukti yang kuat. Tapi Bibi pernah telepon, dia merasa ada yang berusaha mencelakainya.""Benarkah?" Santo sedikit skeptis. Zaina tidak pernah mengucapkan kata-kata itu padanya.Namun, sejak dia kembali dari perjalanan bisnis terakhir kali, dia juga bisa merasakan bahwa Zaina sepertinya menyembunyik
Setibanya di rumah, Siska sedikit marah karena Yara memberi tahu apa-apa padanya."Rara, kamu kenapa nggak bilang-bilang?" Dia sedikit bingung."Aku sangat kasihan padanya." Suara Yara tercekat oleh isak tangis.Siska langsung memeluknya dengan hati yang ikut tertekan. "Oke, oke, nggak bilang juga nggak apa-apa. Aku nggak bermaksud menyalahkan kamu."Air mata Yara sudah tak terbendung. Hidungnya bahkan sudah sakit sejak bertemu dengan Santo barusan.Usia Santo sudah hampir 60 tahun, tetapi dia hari ini sudah terlihat seperti berumur 70 tahun.Pukulan beruntun yang terus menerus menderanya sangat membebani pundak kepala keluarga Lubis itu. Jika sekarang dia diberi tahu bahwa putri yang dia lindungi sepenuh hati telah membunuh istri tercintanya .... Yara benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana Santo akan tetap bertahan.Siska dan Felix saling berpandangan, keduanya seperti tak berdaya.Bagaimanapun juga, di mata mereka, orang yang paling menyedihkan adalah Yara."Ngomong-ngomong, K
Felix menghela napas berat. "Memang, cepat atau lambat, dia akan mengetahui dia sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga."Dia bersiap akan pergi. "Kalau begitu, jaga Rara. Aku jemput dia pagi-pagi besok.""Kak Felix," kata Siska sambil mengantar pria itu ke pintu. "Bisakah kamu berusaha lebih keras lagi?"Felix menatapnya dengan bingung."Berusahalah untuk merebut hati Rara kembali." Mata Siska memerah. "Kalau begini terus, aku takut Rara ...""Aku akan berusaha!" kata Felix tegas.Keesokan paginya, Yara terlihat normal-normal saja, hanya terlihat tak bertenaga dan tampak lelah."Nggak bisa tidur nyenyak tadi malam?" Siska tampak sangat khawatir.Yara berusaha mengingat-ingat, "Aku langsung tidur tadi malam. Lumayan nyenyak."Siska mengamatinya dengan seksama. Tidak terlihat ada lingkaran hitam di bawah mata Yara, jadi dia sepertinya memang tidur nyenyak. Akan tetapi, dia benar-benar terlihat sangat lelah dan kurang berenergi."Siska." Felix bertanya lagi, "Kamu yakin nggak mau i
"Siska? Beneran kamu?" Liana tampak terkejut, lalu menatap pria di seberang Siska. "Ini ... pacarmu?"Pasha tersenyum, tetapi tidak membuka mulut untuk menjelaskan."Kami sudah selesai makan, baru saja mau pergi." Siska tidak ingin tinggal lebih lama lagi."Jangan dulu." Liana melihat ke arah meja mereka. "Kalian belum makan banyak, pas sekali, ayo kita makan bersama."Dia memeluk Tanto dengan penuh kasih sayang dan menatapnya dengan kepala dimiringkan. "Tanto, nggak apa-apa 'kan?""Nggak usah." Tanto dengan dingin berkata, "Jelas-jelas mereka sedang kencan, pasti nggak ingin diganggu."Dia tidak menunggu persetujuan Liana dan langsung menyeretnya pergi.Meskipun dia tahu bahwa Siska pasti akan memulai hubungan baru, dia tetap merasa menggila karena cemburu saat melihatnya.Dia takut jika dia tinggal lebih lama lagi, dia akan melakukan sesuatu yang tidak pantas.Melihat keduanya pergi, mata Pasha tiba-tiba berbinar. "Siska, cewek tadi keluargamu ya? Kok rasanya kalian sangat mirip?""B
Pasha terdiam sejenak. "Siska, bukannya kamu sangat ingin pergi ke taman hiburan?""Lain kali saja." Siska menundukkan kepalanya. "Aku nggak enak badan hari ini, kamu pergi dulu saja."Pasha menggertakkan giginya. "Siska, apa pun hubungan kalian dulu nggak masalah bagiku. Asalkan cuma aku yang ada di hatimu sekarang, itu sudah cukup."Siska sedikit terharu, tetapi dia segera sadar. Hampir mustahil ada pria yang tidak peduli bahwa dia pernah menjadi seseorang yang menjual tubuhnya.Dia ingin melupakan masa lalu dan memulai dari awal lagi. Namun, faktanya, masa lalu itu akan terus mengikutinya sepanjang hidup."Pergilah!" Siska membuang muka dan duduk lagi penuh rasa frustrasi."Oke, kalau begitu aku pulang dulu. Aku tunggu teleponmu." Pasha lalu berkata dengan lembut lagi, "Siska, percayalah, aku benar-benar suka denganku. Aku akan menunggumu."Setelah Pasha pergi, Siska menatap Tanto dengan tajam. "Bisakah kamu pergi?"Tak disangka, Tanto duduk di hadapannya tanpa malu-malu. "Kamu mau