Felix terdiam sejenak. "Dua-duanya.""Haha." Yudha menatap sinis. "Kalau soal penculikan, tinggal perlakukan Melly dengan baik saja. Kalau soal kepergianmu ke luar negeri, minta maaflah pada Kakek dan Ibu."Felix menunduk."Aku tadi tanya. Apa jawabanmu?" Yudha tidak ingin melepaskannya.Felix terdiam sejenak, lalu perlahan mengangkat kepalanya. "Yudha, aku nggak ingin lari lagi."Yudha mengerutkan kening."Yudha, entah apa pun yang kamu katakan, entah apa pun yang kamu pikirkan, aku akan melindungi Rara." Felix bangkit berdiri.Yudha maju mendekat. "Kenapa? Sudah berapa lama kamu mengenalnya? Apa kamu benar-benar kenal seperti apa dia?""Yudha, tanyakan pada dirimu sendiri. Kamu sudah kenal Rara begitu lama, seperti apa pendapatmu tentang dia?"Yudha tidak berkata apa-apa.Felix menatapnya lekat-lekat. "Yudha, dengarlah nasihatku. Jangan lari dari kata hatimu yang sebenarnya. Ada konsekuensi yang lebih mahal dari yang kamu bayangkan kalau menjadi seseorang yang melarikan diri."Yudha
Yara baru saja hendak tidur ketika dia mendengar ponselnya berbunyi.Dia merebahkan diri di sofa dan segera membuka pesan. Dan sejenak, dia lupa caranya bernapas.Karena dia tahu bahwa Yudha salah kirim. Pesan itu seharusnya untuk Melanie. Mereka ... akhirnya akan menikah.Yara menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosi dan akhirnya mengetik empat kata dengan tangan gemetar.Yara: "Selamat!"Keesokan paginya saat Yudha melihat balasan ini, dia sangat tidak menyangka dia mengirim pesan kepada orang yang salah, dan salahnya benar-benar parah.Teringat akan perkataan Felix dan Melanie kemarin, dia pun menelepon.Yara sedang sarapan dan mengangkat telepon dengan kepala berpikir keras. "Yudha, ada apa?"Mereka belum pernah berkomunikasi sejak dia meninggalkan Selayu sebelumnya.Yudha tidak mendengar ada yang aneh dari suara Yara dan berbicara pelan, "Aku salah kirim tadi malam.""Aku tahu." Yara menelan makanan di mulutnya dengan susah payah. Ketika Yudha berhenti
#Memang benar bahwa ibu Tanto meninggal terlalu cepat dan Kakek Susilo mengabdikan diri sepenuhnya pada Grup Lastana pada saat itu. Kenangan masa kecil Tanto sebagian besar bersama dengan Liana.Makan bersama, pergi ke sekolah bersama, Liana memainkan peran yang sangat banyak dalam hidupnya.Tanto berjalan ke pintu masuk perumahan dan menoleh ke belakang. Dia tahu Siska tinggal di lantai berapa, tetapi dia tidak berani menemuinya.Padahal, Siska sedang berdiri di depan jendela, memperhatikan Tanto berjalan menjauh selangkah demi selangkah.Akhirnya, dia mengumpat pelan, "Bisa-bisanya aku suka dengan bajingan seperti dia!"Setelah mengumpat, dia duduk di sofa merasa frustrasi, masih dengan batin yang berkecamuk.Sementara itu, setelah Yara tiba di kantor, dia bertemu dengan Bagas, pria yang sengaja menabraknya di pintu waktu itu.Entah hanya dalam pikirannya atau memang nyata. Setelah Bagas melihatnya, dia seperti tersenyum dan berbalik pergi, seolah-olah sengaja sedang menunggunya.Yar
Yudha bergegas datang begitu menerima telepon dari Melanie."Yudha ...." Melanie melemparkan diri ke dalam pelukannya. "Apa yang harus aku lakukan? Aku nggak sengaja menginjak gas. Apa aku akan masuk penjara?"Yudha mengerutkan kening dan mendorong wanita itu menjauh darinya. Dia menatap dari atas ke bawah dan melihat hanya ada sedikit kemerahan di dahi Melanie. "Nggak ada luka lain 'kan?"Melanie menggelengkan kepala dan menunjuk ke arah mobil di seberang jalan. "Yudha, kenapa sopirnya belum keluar? Dia ... dia nggak mati, 'kan?"Mobil di seberang jalan itu jelas sebuah mobil kecil yang dikendarai oleh seorang perempuan. Melihat jarak antara kedua mobil serta tingkat kerusakan pada mobil itu, seharusnya tidak ada yang terluka.Yudha menepuk pundak Melanie. "Coba aku lihat.""Aku ikut juga." Melanie menarik ujung jaket Yudha dengan lembut dan mengikuti di belakang dengan hati-hati.Saat membuka pintu mobil, kepala Yudha berdengung, melihat Yara tergeletak di sana dengan wajah pucat sea
Yudha tidak siap menerima pukulan itu dan langsung terjatuh ke lantai.Kepalanya kacau dan berlumuran darah. Dia melihat Felix dan menggumam, "Kecelakaannya nggak serius, tapi ... tapi aku nggak tahu kenapa ...."Dia merentangkan tangannya, matanya penuh panik. "Darah ... dia berdarah sangat banyak dan nggak pernah berhenti."Felix menggertakkan gigi penuh kebencian, tetapi kehamilan Yara belum bisa dibicarakan untuk saat ini. Atau setidaknya, tidak boleh dibicarakan olehnya."Cuci muka dulu sana," katanya dengan suara pelan, lalu dia pergi menuju pintu ruang IGD untuk melihat ke dalam.Yudha kembali duduk di kursinya, memukul-mukul kepalanya karena kesal. Dia tidak pernah tahu bahwa dia bisa setakut ini.Seiring berjalannya waktu, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka, dan seorang perawat bergegas keluar."Bagaimana? Bagaimana keadaan pasien?" Yudha dan Felix bergegas menghampiri."Pasien kehabisan darah dan hampir kehilangan nyawanya." Perawat itu berjalan sangat buru-buru. "Kit
Felix mengibaskan lengannya keras-keras. "Kalau aku tahu pun aku nggak akan memberitahumu."Yudha memelototinya dengan marah. "Oke, aku akan menanyakannya sendiri saat dia bangun nanti."Felix mendengus dan beranjak pergi dengan cepat, segera mencari Melanie."Kamu sengaja, 'kan?" Dia memanggil wanita itu ke tangga. Wajahnya sangat suram."Nggak." Melanie gemetaran. "Kak Felix, kamu salah paham, ini benar-benar kecelakaan."Felix setengah tersenyum. "Kamu bisa membodohi Yudha, tapi kamu nggak bisa membodohi aku."Melanie tiba-tiba tertawa pelan. "Yara sedang mengandung anak Yudha, apa untungnya untukmu? Kak, aku sedang membantumu!"Felix geram dan mencekik leher Melanie. "Kamu mati saja!"Melanie tidak melawan dan berbicara dengan susah payah, "Kak Felix, kamu suka Yara 'kan? Aku ingin seumur hidup melarikan diri?"Kelopak mata Felix berkedut saat mendengar kata melarikan diri. "Ini nggak ada hubungannya denganmu. Kalau kamu berani menyakiti Rara, aku akan menghabisimu!"Dia merendahka
Saat Felix kembali, Yudha masih duduk di kursi.Anggota keluarga Lastana yang biasanya selalu penuh energi itu kini terlihat sedikit acak-acakan.Dia menatap Felix. "Menurutmu, kenapa lama sekali di dalam sana?"Hati Felix terasa berat sejenak dan dia duduk di sebelah Yudha. "Tunggu saja."Keduanya duduk dalam keheningan dan tidak lama kemudian, mereka melihat Melanie berlari sambil menangis."Yudha, cepat, periksa ibuku, dia ... pingsan."Yudha mengerutkan kening. "Sudah panggil dokter?""Sudah." Melanie meraih lengan Yudha. "Tapi aku masih takut, Yudha, tolong temani aku ke sana."Yudha tampak sangat bimbang.Melanie segera menambahkan. "Bukannya sudah ada Kak Felix di sini? Rara juga belum bangun sekarang, kamu nggak bisa bantu banyak walaupun tetap di sini.""Sana pergi dan periksa." Felix berkata perlahan, "Bibi Zaina di sini untuk memberikan transfusi darah pada Rara."Yudha berdiri, kembali menatap lampu di ruang IGD dengan cemas, dan akhirnya berpesan pada Felix, "Segera hubung
"Sudah. Dia masih aman untuk saat ini."Felix menunjuk ke ruangan di belakangnya. "Dokternya ada di sana, kamu bisa tanya apa pun yang kamu mau."Alhasil, Yudha justru berbalik dan berjalan pergi. "Aku mau lihat Yara dulu, di kamar mana dia?"Jantungnya berdebar kencang saat memikirkan Yara yang mengeluarkan begitu banyak darah. Yang ingin dia lakukan sekarang hanyalah memeriksanya dan memastikan Yara baik-baik saja.Felix menariknya. "Dia masih di IGD dan belum bisa dikunjungi. Kalau kamu ingin tahu apa pun, tanyakan pada dokternya."Yudha merasa ada yang tidak beres."Masuk." Felix mengetuk pintu dan mendorong Yudha ke dalam.Yudha tampak curiga, tetapi dia memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu, "Halo Dokter, bagaimana keadaan pasien yang tadi? Apakah sudah melewati masa kritis?""Anda suaminya?" Dokter itu bicara tanpa mengangkat pandangannya dan dengan nada yang tidak terlalu ramah. "Oh bukan, mantan suaminya?"Yudha mengerutkan kening tidak senang. "Bagaimana keadaan pasien?"
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid