"Sumpah!" Judy terkejut. "Yara ini ... menyihir anak-anak keluarga Lastana satu demi satu?"Melanie menoleh tidak senang. "Dia nggak tahu malu, suka menggoda orang.""Tapi, dari penampilan kakaknya Yudha barusan, dia sangat protektif melindungi wanita murahan Yara itu." Judy mau tak mau bertanya.Mata Winona berbinar. "Mungkinkah Yara benar-benar hamil? Hamil anak kakaknya Yudha?"Begitu kata-kata ini keluar, Judy ternganga. "Segila itu? Bukannya dia baru saja bercerai belum lama ini?"Keduanya mengalihkan perhatian kepada Melanie."Nggak." Melanie berpikir sejenak. "Yara nggak hamil, jangan bicara sembarangan."Dia tidak ingin melayani omong kosong mereka berdua lagi, jadi dia mendorong trolinya dan pergi. "Aku masih ada urusan, aku pergi dulu."Ketika Yara dan Felix sampai di tempat parkir, Yara masuk ke dalam mobil dan Felix memasukkan barang-barang satu per satu ke dalam bagasi sendirian.Di sisi lain, Yudha berdiri di pintu masuk tempat parkir, memperhatikan semua ini.Baru setela
Felix tertawa kecil dan menarik kerah bajunya.Dari segi kekuatan, Yudha tidak bisa menandinginya.Felix merapikan kerah baju Yudha dan berkata, "Yudha, kamu selalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Perusahaan Lastana begitu besar, apa yang kamu ingin aku pertimbangkan untuk itu?""Kamu dari keluarga Lastana. Dia adik iparmu. Apa kata orang nanti kalau kamu dekat-dekat dengan dia?" kata Yuda dengan pandangan mata tajam."Sepenting itukah Grup Lastana bagimu?" Felix balik bertanya dengan kening berkerut. "Lebih penting dari keluargamu?""Ya!" jawab Yudha singkat."Jadi kamu menyimpan dendam pada Yara karena dia mempermalukan keluarga Lastana dengan kejadian itu? Lebih dari setahun ini, selalu mencari berbagai macam cara untuk menyusahkan dia?"Yudha mengerutkan keningnya. "Terus kenapa?""Kamu akan menyesalinya." Felix pada dasarnya sudah menyimpulkan bahwa Yudha bicara dengannya di sini karena dia sedikit suka pada Yara."Haha, sudah kubilang, nggak ada kata menyesal dalam kamusku," u
Dia memikirkan baju tidur Yara di lemari. Alhasil, saat membuka lemari, baju tidur itu hilang.Yudha kembali lagi ke ruang tamu mencari Agnes. "Bu, kamu memindahkan sesuatu dari kamar kami?"Kamar kami?Agnes tertegun sejenak sebelum menyadari bahwa Yudha sedang membicarakan kamar yang Yudha tempati bersama Yara.Dia bangkit dan berkata, "Nggak, kenapa? Kamu kehilangan sesuatu?"Yudha berbalik ingin mencari bibi yang biasa bertugas bersih-bersih, tetapi dia lalu mendengar Agnes membuka suara di belakangnya."Oh iya, Melly datang ke sini beberapa hari yang lalu. Kupikir kalian 'kan sudah mau menikah, jadi kubiarkan dia tidur di kamar itu."Yudha terhenti di tengah langkahnya. Kali ini dia hampir yakin Melanie sudah membuang baju tidur itu.Dia mendesah ringan. Sambil melewati Agnes, dia berkata, "Mulai sekarang, siapkan kamar lain untuk Melanie. Nggak ada orang lain yang boleh tinggal di kamar itu."Agnes merasa aneh. "Kenapa? bukannya kamu suka kamar itu?"Dia mengira Yudha akan tingga
Yara begitu fokus pada undangan di tangannya sehingga dia tidak punya waktu untuk bereaksi ketika seseorang tiba-tiba menabraknya.Hal pertama yang dia sadari adalah jika dia tidak bisa menghindar, pria itu pasti akan menghantam perutnya dan bayi-bayinya ....Tubuhnya bergerak secara refleks lebih cepat daripada otaknya. Tanpa menunggu tubuhnya terpukul, Yara langsung menjatuhkan diri ke belakang, punggungnya membentur lantai.Dia menarik napas kesakitan. Setelah memandang lebih lama, dia dapat melihat bahwa pria yang datang tadi adalah sesama karyawan perusahaan."Bu Yara, kamu nggak apa-apa?" Orang itu mengulurkan tangan, ingin membantu Yara berdiri.Pada saat yang sama, Safira yang sedang lewat sudah berlari mendekat untuk membantu Yara berdiri. Melihat wajahnya agak pucat, dia berkata, "Rara, kamu nggak apa-apa?"Yara menggeleng dan memandang pria di seberangnya itu. "Siapa namamu? Dari tim mana?""Memangnya kenapa? Aku tadi nggak sengaja, kamu dendam?" Pria itu mendengus. "Dapat p
"Maksud Ibu, Rara pasti sibuk, kita nggak perlu sengaja minta dia datang."Melanie melirik dengan tatapan mengancam, tetapi tidak berhasil memaksa Zaina.Setelah sampai di rumah, saat ibu dan putrinya itu hanya tinggal berdua, Melanie tersenyum dan berkata, "Ada sesuatu yang menurutku harus kuberitahukan padamu."Seluruh tubuh Zaina menegang. Setelah sekian hari, dari lubuk hatinya mulai muncul rasa takut terhadap Melanie.Melanie maju beberapa langkah dan merendahkan suaranya. "Rara sebenarnya adalah anakmu dan Santo."Apa?Suara berdengung memenuhi kepala Zaina dan dia agak kesulitan mendengar kata-kata Melanie selanjutnya.Melanie melanjutkan, "Kamu bisa cari tahu sendiri. Yara juga sebenarnya sudah tahu."Zaina memandangnya dengan tatapan kosong, "Apa yang ... kamu inginkan?"Melanie tidak akan memberi tahu dia tanpa alasan.Dia bertanya dengan gemetar, "Kamu nggak takut aku akan memberi tahu ayahmu?""Hahaha ...." Melanie tertawa menghina. "Kamu berani? Kalau kamu berani bicara, a
"Siapa yang hamil?" Silvia tidak begitu mengerti."Yara!" seru Melanie dari antara gigi yang terkatup. "Yara hamil."Dia benar-benar marah.Sudah lama sekali sejak dia kembali dari luar negeri. Yudha selalu menolak menyentuhnya, mengatakan bahwa dia menghormatinya dan mencintainya. Namun, tak disangka Yara si perempuan jalang itu justru hamil lebih dulu.Anak ini tidak boleh dibiarkan tetap hidup."Yara? Hamil?" Silvia merasa ada yang salah dengan telinganya. "Melly, aku nggak salah dengar?"Melanie berteriak seperti orang gila, "Berapa kali lagi kamu ingin aku mengulanginya?"Silvia menggigil ketakutan dan berbicara dengan hati-hati, "Tenang Melly, tenang. Kamu yakin nggak ada kesalahan? Anak sialan itu terluka waktu itu. Dokter mengatakan dia tidak akan pernah bisa hamil seumur hidupnya."Memang, jika dia tidak tahu bahwa Yara terluka, Melanie tidak akan membiarkan Yudha menikahi Yara saat dia pergi ke luar negeri.Hanya karena Yara tidak bisa hamil dan mudah dikendalikan. Dia tidak
#Pada hari dia pergi ke rumah keluarga Lubis, Siska sendiri yang mengantarnya ke sana. Temannya itu memberi berbagai macam nasihat di sepanjang perjalanan."Zaina pasti mengundangmu atas persetujuan Melanie. Aku khawatir dia nggak punya niat baik, kamu harus berhati-hati.""Jangan khawatir." Yara ingat spekulasi yang dia pikirkan sebelumnya. "Dia sedang hamil, jadi kurasa dia nggak akan mengincarku lagi."Siska mendengar nada muram dalam suara Yara, tetapi tidak tahu bagaimana cara menghiburnya.Keduanya sama-sama mengandung anak Yudha, tetapi yang satu adalah istri baru yang akan dinikahi dan yang lain adalah istri lama yang harus pergi. Sungguh sulit jika dipikirkan.Ketika mereka sampai, Siska menambahkan dengan penuh kekhawatiran, "Kalau terjadi apa-apa, telepon saja aku. Aku akan segera menjemputmu."Dia melirik ke arah perut Yara. "Jaga si kecil.""Mengerti." Yara turun dari mobil dan melihat rupanya Zaina sudah menunggu di pintu masuk perumahan. Dia menyapa penuh gembira, "Bibi!
Bagaimanapun juga, Santo adalah kepala keluarga Lubis. Meskipun dia biasanya menjadi budak bagi anak perempuan di rumah, dia bisa sangat menakutkan jika benar-benar marah.Dia sudah sangat benci dengan Yara. Melihat sikap Yara seperti itu di luar, dia jadi semakin marah."Kamu pikir gampang bagi ibumu untuk membesarkanmu sampai sebesar ini?" Dia memelototi Yara. "Kalau kamu nggak mau mengakui dia sebagai ibumu, jangan masuk ke pintu rumah keluarga ini.""Santo ...." Zaina menutupi dadanya. "Kenapa kamu begitu marah?"Melanie bergegas menghampiri dan menggandeng lengan Santo. "Ayah, jangan marah. Nggak baik untuk kesehatanmu."Dia segera memanggil Yara dan Silvia. "Bibi Silvia, Rara, ayo masuk."Yara dalam hatinya merasa sangat sedih, apalagi saat Santo bersikap kasar kepadanya tadi. Dia diam-diam menghibur dirinya sendiri, mencari alasan bahwa Santo tidak tahu apa-apa, karena itulah dia bersikap seperti ini.Melihat Zaina tampak kurang sehat, dia bergegas menghampiri. "Bibi, ayo masuk,
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid