Warning. 21+ Upacara pernikahan sekaligus tempat resepsi pernikahan Jonathan dan Emily diselenggarakan di The Ritz Carlton. Di salah satu kamar presidential suite, tampak Emily tengah duduk termenung di depan cermin. Ia telah selesai berdandan. Model gaun pengantin yang dikenakan Emily adalah fit and flare, membentuk siluet tubuh yang pas di badan dari dada hingga pinggul, kemudian melebar di pertengahan paha. Gaun dengan garis leher berbentuk hati yang menonjolkan tulang selangka dan membuat dadanya tampak lebih berisi. Dengan bahan perpaduan satin dan renda, gaun pengantin itu tampak memukau. Emily tampil elegan sekaligus seksi. Tapi Emily tampak sedih. Tiba-tiba ia rindu ayahnya. Harusnya Robert Patterson yang mendampingi langkahnya hingga altar. Tapi ia harus memupus keinginannya. Sebagai pengganti ayahnya, paman dari pihak ibu yang akan menjadi pendampingnya nanti. “Kamu cantik sekali, sayang.”Aldera, sang ibu memasuki kamar, berdiri di belakang Emily, memandang dari pantula
Warning 21+ Mohon bijak dalam membaca Malam itu Emily bersikeras untuk memasak dan makan di apartemen sementara Jonathan sibuk dengan laptopnya. Ia tengah mencari situs travel perjalanan wisata. “Sayang, bagaimana menurutmu tentang Maldives?”tanyanya ke arah dapur. “Asia, kan?”Emily balik bertanya. “Aku ingin berlibur kesana, apa kau keberatan?” “Baiklah.” Dan hari berikutnya, keduanya melakukan perjalanan menuju Maldives. Jonathan telah memesan sebuah resort di Fari Islands, Patina Maldives. Maldives merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol (pulau koral yang mengelilingi sebuah laguna) di samudera Hindia. Untuk bisa menuju Fari islands, mereka harus menyeberang menggunakan yacht dari Male International Airport sekitar 50 menit. Emily mempererat pelukannya di lengan Jonathan saat berada di kapal. “Apa kau masih takut dengan air, Sayang?” “Tidak saat bersamamu,”ucap Emily. “Kau akan berada di dekatku, kan?” “Selalu.”Jonathan mencium kening Emil
Warning 21+ Emily memejamkan mata, ia mengatur nafas setelah percintaan yang hebat beberapa saat yang lalu. Selimut yang menutupi tubuhnya hanya bertahan 5 menit karena Jonathan kembali menarik selimut itu. “Kau tak perlu ini, Sayang.” Emily menoleh, menghadiahi suaminya senyum manis. “Biarkan aku istirahat sebentar.” Ia membiarkan Jonathan memeluknya. “Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?”tanya Emily sesaat kemudian. “Apa, Sayang?”Jonathan mengusap puting payudara Emily dengan gerakan halus membuat Emily mengerang. “Hentikan, Jonathan,”bisiknya menggeliat geli diiringi tawa tertahan. “Aku tak bisa. Kau terlalu indah, Emily.” Emily membuka mata, menarik selimut menutupi bagian atas tubuhnya. “Aku serius ingin bertanya.” Jonathan berbaring miring. Menumpukan satu tangan untuk menyangga kepalanya. Ia memperhatikan Emily, menunggu wanita itu memberikan pertanyaan. “Siapa kekasih yang paling berkesan dalam hidupmu?”Emily menoleh, menilik wajah Jonathan. “Kamu.”Jo
Anna Johnson adalah pemilik Anna & Co. Di usia 26 tahun, wanita itu sukses meluncurkan merk kosmetik dengan label namanya sekaligus menguatkan posisinya sebagai mantan model sekaligus pemenang kontes kecantikan terkemuka di Amerika yang mampu bertahan di hiruk pikuknya dunia kecantikan internasional. Meski sebenarnya pencapaiannya saat ini tidak terlepas dari nama besar kedua orang tuanya yang juga merupakan pengusaha sukses di dunia kecantikan. Saat ini Anna tengah duduk di kursi kantornya yang berada di lantai 5 sebuah gedung perkantoran di tengah kota New York. Ia mengamati profil sosok pria di laptopnya. Sesaat ia tampak tak puas dengan tampilan kecil di layar. Ia memperbesar foto itu. Jonathan Walker. Hanya dengan melihat foto itu, ia harus menelan ludah berkali-kali. Tipe pria idamannya. Tegas, tampan dan pintar berbisnis. Minggu lalu keduanya bertemu dalam pertemuan bisnis yang menurutnya sangat singkat. Anna betah berlama-lama duduk di depan pria itu sembari menatap Jonatha
Siang itu saat menjelang makan siang, Ernetta, sang sekretaris mengetuk pintu ruang kerja Jonathan. "Maaf Sir, ada kiriman makanan untuk anda. " Jonathan mengalihkan pandangan dari layar laptop. Ia memperhatikan wanita paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu sembari menyuruh beberapa orang masuk dengan paket makanan dengan jumlah tidak sedikit. Ernetta berjalan mendekat sembari menyerahkan sebuah kartu ucapan. Semoga sesuai seleramu. Anna Jonathan menghela nafas panjang. "Tolong bagikan ke karyawan kita, Ernetta. Aku sudah kenyang. " "Yes, Sir. " Tanpa berkomentar, Ernetta keluar dan kembali dengan beberapa Office Girl yang dengan sigap mengeluarkan tumpukan makanan. Jonathan mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat. "Terima kasih atas makanannya. Kau seharusnya tidak perlu repot. " Tidak butuh lama, terdengar suara panggilan telepon dari Anna. Dengan enggan Jonathan menerimanya. "Apa kau suka makanannya? "Terdengar suara riang dari Anna
Jonathan bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Simon. Ia menghampiri Emily yang tidur berbaring di ranjang. “Sayang, kau tak apa-apa?”Jonathan tampak cemas. Emily bergerak duduk saat Jonathan berjalan mendekat dan memeluknya. “Aku tidak apa-apa,”jawab Emily singkat. Jonathan melepas pelukan dan meneliti wajah Emily. “Sebaiknya kita ke rumah sakit.” “Tidak Jonathan. Aku sungguh baik-baik saja.” Jonathan menghela nafas. “Aku benar-benar penasaran siapa orang brengsek yang berani mengganggumu?” Emily diam. Ia tampak merenung. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah dilihatnya tadi? “Aku tidak yakin.” “Apa maksudmu?” Emily menatap Jonathan yang memandangnya penuh rasa penasaran. “Aku sempat membaca plat nomer mobil dan sekilas pengemudinya.” “Kau mengenalnya?”kejar Jonathan tak sabar. “Mobil SUV hitam, tapi mungkin aku salah mengenali…” “Siapa, Emily?” Emily diam. “Ayolah, sebutkan siapa,”desak Jonathan. “Aku melihat Kai.” “Kai?”ulang Jonathan terpe
Warning 21+ Seperti janjinya kepada Kai, hari Sabtu berikutnya Jonathan mengajak Kai menuju New York's Catskill Mountains. Tempat hiking dengan pesona alam yang memungkinkan keduanya untuk hiking dan kemah dari sabtu sore hingga Minggu. Meski tak banyak yang dibicarakan saat keduanya bersama tapi bagi Jonathan itu merupakan awal yang bagus karena Kai sudah mau ikut melakukan perjalanan alam dengannya. Jonathan berencana untuk melakukan hal serupa sebulan kemudian dengan tempat yang berbeda. Rabu malam waktu setempat. Jonathan menjamu salah satu klien di Manhatta, sebuah resto sekaligus pub. Di akhir pertemuan, Jonathan ikut mengantar rombongan ke pintu keluar saat dilihatnya Anna memasuki resto. Sepertinya nampak tak sengaja, padahal tanpa Jonathan sadari, Anna telah menyewa orang untuk mengikuti setiap gerak Jonathan untuk memastikan dirinya bisa berdua dengan lelaki itu. Dan sepertinya malam ini Jonathan tak bisa menolak permintaannya. "Hai, akhirnya aku berkesempatan mentra
“Aku ingin bercerai,”suara Oliver memecah heningnya malam saat Emily bersiap tidur. Emily tertegun. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya barusan. “Kau bilang apa?”“Aku ingin bercerai, Em,”tegas Oliver. Kali ini suaranya tak lagi terbata.Emily bangkit dan berjalan di sisi lain tempat tidur, mendekati Oliver yang duduk di tepi ranjang.“Apa maksudmu?”Oliver mendongak, menatap Emily dengan perasaan bercampur aduk. “Ibu memintaku bercerai. Dan aku mendukung keputusannya.”“Kita yang menikah, kenapa ibumu juga ikut campur?”Emily menahan suaranya yang hampir berteriak.“Orang tuaku ingin mempunyai keturunan, dan kamu tidak bisa memberikannya.”“Aku?”tanya Emily tak percaya dengan kalimat yang diucapkan Oliver barusan. “Koreksi kalimatmu, Oliver. Yang benar adalah kita tidak bisa memberikan keturunan.”Emily memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Tidak sekali ini ia mendengar Nyonya Edith, ibu Oli
Warning 21+ Seperti janjinya kepada Kai, hari Sabtu berikutnya Jonathan mengajak Kai menuju New York's Catskill Mountains. Tempat hiking dengan pesona alam yang memungkinkan keduanya untuk hiking dan kemah dari sabtu sore hingga Minggu. Meski tak banyak yang dibicarakan saat keduanya bersama tapi bagi Jonathan itu merupakan awal yang bagus karena Kai sudah mau ikut melakukan perjalanan alam dengannya. Jonathan berencana untuk melakukan hal serupa sebulan kemudian dengan tempat yang berbeda. Rabu malam waktu setempat. Jonathan menjamu salah satu klien di Manhatta, sebuah resto sekaligus pub. Di akhir pertemuan, Jonathan ikut mengantar rombongan ke pintu keluar saat dilihatnya Anna memasuki resto. Sepertinya nampak tak sengaja, padahal tanpa Jonathan sadari, Anna telah menyewa orang untuk mengikuti setiap gerak Jonathan untuk memastikan dirinya bisa berdua dengan lelaki itu. Dan sepertinya malam ini Jonathan tak bisa menolak permintaannya. "Hai, akhirnya aku berkesempatan mentra
Jonathan bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Simon. Ia menghampiri Emily yang tidur berbaring di ranjang. “Sayang, kau tak apa-apa?”Jonathan tampak cemas. Emily bergerak duduk saat Jonathan berjalan mendekat dan memeluknya. “Aku tidak apa-apa,”jawab Emily singkat. Jonathan melepas pelukan dan meneliti wajah Emily. “Sebaiknya kita ke rumah sakit.” “Tidak Jonathan. Aku sungguh baik-baik saja.” Jonathan menghela nafas. “Aku benar-benar penasaran siapa orang brengsek yang berani mengganggumu?” Emily diam. Ia tampak merenung. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah dilihatnya tadi? “Aku tidak yakin.” “Apa maksudmu?” Emily menatap Jonathan yang memandangnya penuh rasa penasaran. “Aku sempat membaca plat nomer mobil dan sekilas pengemudinya.” “Kau mengenalnya?”kejar Jonathan tak sabar. “Mobil SUV hitam, tapi mungkin aku salah mengenali…” “Siapa, Emily?” Emily diam. “Ayolah, sebutkan siapa,”desak Jonathan. “Aku melihat Kai.” “Kai?”ulang Jonathan terpe
Siang itu saat menjelang makan siang, Ernetta, sang sekretaris mengetuk pintu ruang kerja Jonathan. "Maaf Sir, ada kiriman makanan untuk anda. " Jonathan mengalihkan pandangan dari layar laptop. Ia memperhatikan wanita paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu sembari menyuruh beberapa orang masuk dengan paket makanan dengan jumlah tidak sedikit. Ernetta berjalan mendekat sembari menyerahkan sebuah kartu ucapan. Semoga sesuai seleramu. Anna Jonathan menghela nafas panjang. "Tolong bagikan ke karyawan kita, Ernetta. Aku sudah kenyang. " "Yes, Sir. " Tanpa berkomentar, Ernetta keluar dan kembali dengan beberapa Office Girl yang dengan sigap mengeluarkan tumpukan makanan. Jonathan mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat. "Terima kasih atas makanannya. Kau seharusnya tidak perlu repot. " Tidak butuh lama, terdengar suara panggilan telepon dari Anna. Dengan enggan Jonathan menerimanya. "Apa kau suka makanannya? "Terdengar suara riang dari Anna
Anna Johnson adalah pemilik Anna & Co. Di usia 26 tahun, wanita itu sukses meluncurkan merk kosmetik dengan label namanya sekaligus menguatkan posisinya sebagai mantan model sekaligus pemenang kontes kecantikan terkemuka di Amerika yang mampu bertahan di hiruk pikuknya dunia kecantikan internasional. Meski sebenarnya pencapaiannya saat ini tidak terlepas dari nama besar kedua orang tuanya yang juga merupakan pengusaha sukses di dunia kecantikan. Saat ini Anna tengah duduk di kursi kantornya yang berada di lantai 5 sebuah gedung perkantoran di tengah kota New York. Ia mengamati profil sosok pria di laptopnya. Sesaat ia tampak tak puas dengan tampilan kecil di layar. Ia memperbesar foto itu. Jonathan Walker. Hanya dengan melihat foto itu, ia harus menelan ludah berkali-kali. Tipe pria idamannya. Tegas, tampan dan pintar berbisnis. Minggu lalu keduanya bertemu dalam pertemuan bisnis yang menurutnya sangat singkat. Anna betah berlama-lama duduk di depan pria itu sembari menatap Jonatha
Warning 21+ Emily memejamkan mata, ia mengatur nafas setelah percintaan yang hebat beberapa saat yang lalu. Selimut yang menutupi tubuhnya hanya bertahan 5 menit karena Jonathan kembali menarik selimut itu. “Kau tak perlu ini, Sayang.” Emily menoleh, menghadiahi suaminya senyum manis. “Biarkan aku istirahat sebentar.” Ia membiarkan Jonathan memeluknya. “Bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?”tanya Emily sesaat kemudian. “Apa, Sayang?”Jonathan mengusap puting payudara Emily dengan gerakan halus membuat Emily mengerang. “Hentikan, Jonathan,”bisiknya menggeliat geli diiringi tawa tertahan. “Aku tak bisa. Kau terlalu indah, Emily.” Emily membuka mata, menarik selimut menutupi bagian atas tubuhnya. “Aku serius ingin bertanya.” Jonathan berbaring miring. Menumpukan satu tangan untuk menyangga kepalanya. Ia memperhatikan Emily, menunggu wanita itu memberikan pertanyaan. “Siapa kekasih yang paling berkesan dalam hidupmu?”Emily menoleh, menilik wajah Jonathan. “Kamu.”Jo
Warning 21+ Mohon bijak dalam membaca Malam itu Emily bersikeras untuk memasak dan makan di apartemen sementara Jonathan sibuk dengan laptopnya. Ia tengah mencari situs travel perjalanan wisata. “Sayang, bagaimana menurutmu tentang Maldives?”tanyanya ke arah dapur. “Asia, kan?”Emily balik bertanya. “Aku ingin berlibur kesana, apa kau keberatan?” “Baiklah.” Dan hari berikutnya, keduanya melakukan perjalanan menuju Maldives. Jonathan telah memesan sebuah resort di Fari Islands, Patina Maldives. Maldives merupakan negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol (pulau koral yang mengelilingi sebuah laguna) di samudera Hindia. Untuk bisa menuju Fari islands, mereka harus menyeberang menggunakan yacht dari Male International Airport sekitar 50 menit. Emily mempererat pelukannya di lengan Jonathan saat berada di kapal. “Apa kau masih takut dengan air, Sayang?” “Tidak saat bersamamu,”ucap Emily. “Kau akan berada di dekatku, kan?” “Selalu.”Jonathan mencium kening Emil
Warning. 21+ Upacara pernikahan sekaligus tempat resepsi pernikahan Jonathan dan Emily diselenggarakan di The Ritz Carlton. Di salah satu kamar presidential suite, tampak Emily tengah duduk termenung di depan cermin. Ia telah selesai berdandan. Model gaun pengantin yang dikenakan Emily adalah fit and flare, membentuk siluet tubuh yang pas di badan dari dada hingga pinggul, kemudian melebar di pertengahan paha. Gaun dengan garis leher berbentuk hati yang menonjolkan tulang selangka dan membuat dadanya tampak lebih berisi. Dengan bahan perpaduan satin dan renda, gaun pengantin itu tampak memukau. Emily tampil elegan sekaligus seksi. Tapi Emily tampak sedih. Tiba-tiba ia rindu ayahnya. Harusnya Robert Patterson yang mendampingi langkahnya hingga altar. Tapi ia harus memupus keinginannya. Sebagai pengganti ayahnya, paman dari pihak ibu yang akan menjadi pendampingnya nanti. “Kamu cantik sekali, sayang.”Aldera, sang ibu memasuki kamar, berdiri di belakang Emily, memandang dari pantula
Manhattan Ave boxing Club. Suasana tidak begitu ramai. Jonathan duduk tenang menunggu kedatangan Andrew hingga sepuluh menit kemudian terlihat Andrew berjalan memasuki sasana. Tanpa kata Jonathan melempar sarung tinju ke arah Andrew yang dengan sigap menerimanya. Seperti tahu keinginan Jonathan, Andrew memasang sarung tinjunya dan memasuki ring tinju. Jonathan sudah bersiap di atas ring. Dengan pandangan awas dan aura membunuh yang begitu kuat. “Apa kau sudah gila mengganggu calon istriku, bajingan?!”Jonathan bergerak cepat menghampiri Andrew dengan melepaskan jab dengan tangan kanan. Andrew menghindar membuat Jonathan semakin beringas. “Aku menginginkan wanitamu sejak pertama kali aku melihatnya.”Tak gentar Andrew membalas pukulan Jonathan. “Brengsek!”Jonathan melakukan uppercut, mengincar dagu Andrew dengan tangan bagian belakang. Saat Andrew menghindar, pukulan Jonathan mengarah pada perut Andrew. Kali ini Andrew lengah dan tak sempat berkelit. Andrew meringis tapi dii
Jonathan keluar dari mobil. Wajahnya menatap tajam ke arah mobil yang dikendarai Simon. Simon tampak cemas. “Maaf, Miss. Tadi Mr Jonathan telepon karena tidak bisa menghubungimu, jadi aku harus memberitahunya tentang tempat ini.” “Tak apa, Simon. Jangan khawatir. Kamu pulanglah dulu, aku akan ikut Jonathan.”Usai bicara Emily membuka pintu dan berjalan menuju Jonathan. Aura Jonathan dingin dan rahangnya tampak mengeras menahan emosi. Raut wajah yang tak biasa diperlihatkan pria itu. “Kenapa dengan teleponmu?Kenapa tidak bisa dihubungi?”tanyanya tajam. “Bisakah kita pulang dulu, Jonathan?Aku akan menjelaskannya di apartemenmu.” Tanpa suara Jonathan masuk ke dalam mobil, menunggu Emily duduk di sebelahnya. Emily menutup pintu dengan hati-hati. Melirik Jonathan yang mencengkeram kemudi hingga urat tangannya terlihat. Setelah memastikan Emily sudah memakai sabuk pengaman, Jonathan mengemudikan mobilnya menuju Penthouse. Sepanjang perjalanan suasana terasa mencekam. Tak ada