Navila menggelengkan kepalanya, tubuhnya menahan pintu agar tidak terbuka. Ia tak ingin keluar dari kamar itu tanpa membawa obat. Ia tak mengerti sikap jenderal itu yang mengatakan tidak tertarik, tapi tiba-tiba menarik dirinya dan memberikan ciuman yang tak singkat.
Navila tak menyangka bahwa jenderal itu masih berumur muda, mungkin seumuran dengan kakaknya. Ia akui jenderal itu sedikit tampan meski dengan potongan rambut cepak khas gaya tentara. Rambutnya pendeknya berwarna pirang emas seperti beberapa orang-orang dari Kerajaan Erdan. Sorot matanya tajam, serius, dan penuh wibawa, tapi dagunya membentuk wajah yang tampan.
Dia memakai kaos dan celana panjang, tubuhnya terlihat berotot dan kekar, tubuh sempurna seperti kesatria di dongeng. Andai bukan dalam situasi rumit dan perang, mungkin Navila akan jatuh cinta pada jenderal itu.
Obat dan Ayahnya sakit, hanya itu yang ada dalam pikiran Navila kali ini. Jenderal itu sudah menolak memberikan obat dan bersikeras bahwa obat hanya untuk tentara Erdan. Akan tetapi jenderal itu tadi juga menolak tawaran kedatangan Navila, kemudian tiba-tiba menariknya dalam ruangan. Navila pikir jenderal itu bisa berubah pikiran.
“Aku tidak mau keluar jika kamu tidak memberiku obat,” ucap Navila memberanikan diri. Harusnya jenderal itu mudah ditaklukkan, harusnya dia meminta apa yang diinginkan dari Navila seperti ciuman tadi atau lebih. Navila sudah pasrah bila itu yang diminta sang jenderal.
Jenderal itu perlahan mundur dan duduk di sisi ranjangnya. Dia tersenyum dan tertawa tanpa suara, sorotan mata tajamnya hilang. Jenderal itu terlihat lebih tampan ketika tersenyum. Dia kembali berdiri tapi sorotan matanya kembali tajam dan terus melangkah mendekat ke Navila.
“Apa kamu tak takut, sesuatu yang lebih buruk menimpamu?” suara sang jenderal berubah sedikit menggoda.
“Tidak.” Hal terburuk bagi Navila ada sakit Ayahnya yang semakin memburuk. Ia tak ingin kehilangan Ayahnya— satu-satunya keluarga yang ia punya saat ini. Mungkin kakaknya masih hidup, tapi dia ikut bergerilya seperti perintah sang raja.
“Jika kamu tak takut, mengapa kamu menangis?” Jemari jenderal itu datang mengusap ke pipi Navila dengan singkat, kemudian turun untuk meraih tangan kirinya. Navila tak keberatan disentuh oleh jenderal itu, asal ia bisa mendapatkan obat untuk Ayahnya.
“Apa ini sakit?” Jenderal itu mencoba membuka jemari Navila yang baru saja terjepit pintu.
‘Ya!’ teriak Navila dalam hati. Jari telunjuknya terasa sakit sepeti patah, ada luka gores gara-gara ia menariknya saat spontan. Ia tak menyangka jenderal itu menutup pintu sangat kencang.
Navila menganggukkan kepalanya, ia tak ingin berdebat untuk menyalahkan jenderal itu. Jari jenderal itu terasa sangat kasar dan hangat saat menyentuh dirinya, tapi sentuhannya sangat lembut dan penuh perhatian.
Jari Navila berdenyut sakit karena terjepit pintu, tapi jantungnya berdegup lebih kencang karena gugup disentuh oleh jenderal itu. Ia tak mengeri, tiba-tiba perasaannya terasa seperti dicampur-adukan gara-gara sentuhan penuh perhatian jenderal itu.
“Duduklah.” Jenderal itu melepas sentuhannya dan berbalik ke sisi ranjang dengan berjongkok. Dia mengotak-atik isi dalam tas besarnya. Navila menuruti perintah jenderal itu.
Ia duduk tepat di samping makanan sang jenderal yang tak tersentuh. Roti, semangkuk bubur gandum, satu kentang rebus besar, dan botol anggur, masih belum tersentuh. Ia tak mengira jenderal itu tahan tidak menyentuh secuil makanannya, atau mungkin Navila telah mengganggu makan malam jenderal itu.
Navila tertegun melihat hidangan lezat itu, terakhir kali ia memakan roti yaitu satu bulan yang lalu. Setiap harinya ia memakan kentang rebus, atau sup kentang, atau pie kentang. Semua yang ia makan satu bulan terakhir ini hanyalah kentang. Ia paham mengapa para perempuan kota mau melacurkan diri di tempat ini, para tentara Erdan memiliki makanan yang lebih baik.
“Kau boleh memakannya, aku tidak keberatan,” ucap sang jenderal sedikit mengagetkan Navila. Jenderal itu masih sibuk merogoh-rogoh dalam tasnya. Navila tak menjawab perkataan sang jenderal karena ia datang tak seperti para perempuan kota yang ingin mendapatkan makanan.
Jenderal itu tiba-tiba duduk di samping Navila, dia membuka botol salepnya yang lebih kecil dari botol selai. Dia berkata, “Ulurkan jarimu.”
Navila mengulurkan jarinya yang terluka. Jenderal itu mengoleskan salep berwarna seputih susu. Salep itu tidak terasa perih tapi terasa sangat dingin tepat di luka gores itu.
“Kamu sudah mendapatkan obatmu,” canda sang jenderal saat menutup salepnya.
“Aku mohon, hanya kamu yang bisa mengizinkan para dokter untuk memberi obat.”
“Dari mana kamu tahu?” Jenderal itu terlihat tidak senang.
Navila menundukkan kepalanya, ia tak ingin memperburuk suasana jenderal itu. “Tuan Deus yang memberitahu.”
“Ah pria menyebalkan itu,” maki sang jenderal. Dia berdiri dan berjalan ke sudut ruangan tempat baju seragam, jas, dan mantelnya mengantung. Jenderal itu meraih kemeja abu-abu khas warna tentara kerajaan Erdan.
“Kuberi obat, tapi kamu harus segera pergi,” ucap sang jenderal saat membetulkan kencing bajunya.
“Terima kasih,” sahut Navila dengan bahagia.
Sang jenderal telah lengkap memakai pakaian dan sepatu botnya, dia tidak mengambil jas yang dipenuhi atribut, dia lebih memilih mengenakan mantel panjangnya. Dia juga tak mengenakan topi jenderalnya, yang masih menggantung dengan jasnya.
“Ayo,” ucap jenderal itu sambil membuka pintu.
Navila seperti terhipnotis oleh perkataan jenderal itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sesungguhnya orang yang baik, tidak seperti cerita yang beredar bahwa semua tentara Erdan adalah orang yang kejam. Tidak semua tentara Erdan bertampang bengis, bejat, dan menakutkan. Navila sedikit menyukai jenderal itu.
Jenderal itu menutup pintu tanpa menguncinya. Dia memandu Navila berjalan turun. Di lantai tiga hanya ada koridor sepi dan kamar-kamar tertutup, Navila pikir lantai paling atas ini khusus ditempati oleh para perwira tinggi seperti jenderal dan mayor itu. Di lantai dua, ruangannya lebih luas dan ada meja makan yang sangat besar. Hanya ada seorang prajurit yang berbaring santai di lantai dengan bantalan tas. Dia langsung berdiri dengan sikap siap saat melihat jenderalnya. “Hidup untuk Erdan!” ucap prajurit itu sedikit berteriak. Dia mengepalkan tangan kanannya dan menaikkannya hingga sejajar dengan bahu, salam khas tentara Erdan. “Hidup untuk kedamaian,” balas sang jenderal dengan mengeluarkan tangannya dari balik mantel. Dia juga mengepalkan tangan kananya untuk membalas salam itu. Jenderal itu kemudian melangkah turun ke lantai satu. Ada sebuah perapian dengan nyala api yang hampir padam dan ada sisa botol anggur di meja dekat perapian itu. Dibandingk
Seorang tentara medis mulai terlihat, ruang perawatan yang dituju semakin dekat. Bangunan itu terletak di tengah-tengah benteng, sebenarnya bangunan itu merupakan aula tempat jamuan makanan. Sejak tentara Erdan menduduki Benteng Esthaz, aula itu dialih fungsikan sebagai tempat korban terluka. Tak ada prajurit yang berjaga di sana. Rintihan orang-orang sakit mula terdengar samar-samar. Peter berharap Dokter Leniski tidak sendang mengoperasi pasien. Ia tak ingin menunggu lebih lama dengan perempuan Agelan itu. Ia masih sedikit bersalah telah menjepit jari perempuan itu hingga terluka. Karena itu, ia akan memberikan obat yang perempuan itu minta, sebagai permintaan maaf dan sebagai sedikit bayaran untuk ciuman manis tadi. Peter akui dia sempat tergoda ingin menciumnya lagi. Andai situasi bukan dalam keadaan perang, ia ingin memasukkan perempuan itu ke dalam bagian hatinya. Sayangnya Peter sadar, bukan karena perempuan itu seorang pelacur— si muncikari meng
Peter beranjak duduk di samping perempuan itu, tatapan mereka tak putus, tapi perempuan itu terlihat sedikit canggung atau mungkin gugup. Peter juga sama, perasaannya tidak karuan. Di sisi lain hatinya, ia ingin ciuman itu atau bahkan lebih. Di sisi lain hatinya juga, ia ingin perempuan itu segera pergi agar dirinya tidak bersikap lebih buruk. Bibir bawah perempuan tiba-tiba menekuk ke dalam. Perempuan itu seperti sedang menggigit bibirnya sendiri, mungkin sedang mencicipi rasa dari bekas ciuman tadi. Peter merasa ingin tertawa saat melihat tingkat polos perempuan itu. “Beri aku sekali lagi,” minta Peter. Perempuan itu tiba-tiba merapatkan bibirnya, tapi dia langsung menganggukkan kepalanya sekali. Peter anggap perempuan itu telah setuju. Ia langsung menggeser posisi duduknya agar semakin mendekat. Tatapan mereka masih belum putus. Rona di pipi perempuan itu semakin memerah seperti ingin meledak. Wajah Peter semakin menjulurkan ke depan, perempuan itu
Navila mengenakan kembali mantel itu. Ia merasa bahwa jenderal itu sangat baik pada dirinya. Meski beberapa kali jenderal itu menciumnya tanpa permintaan sepatah kata pun. Ia merasa bahwa ciuman itu sangat tulus dari hati sang jenderal. Andai sang jenderal meminta lebih, Navila tak keberatan karena ia telah mendapatkan obat untuk ayahnya. Lagi pula jenderal itu sedikit tampan. ‘Hihihi,’ tawa Navila dalam hatinya. “Ayo, mengapa diam?” Sang jenderal menoleh ke belakang. Navila menganggukkan kepalanya tanpa menjawab alasan dia melamun. Saat mulai melangkah, pijakkannya seperti kosong. Ia melangkah melewati dua anak tangga sekaligus, tubuhnya terhuyung ke depan akan jatuh. Navila membayangkan tangan dan tubuhnya yang akan jatuh ke tanah. Tak diduga-duga ia malah mendarat ke tubuh sang jenderal. “Berhati-hatilah,” ucap sang jenderal. Navila bisa merasakan tubuh sang jenderal itu sangat kokoh, lengan dan dadanya memiliki otot seorang kesatri
Jenderal itu menjawab, “Aku takut kamu tersesat.”“Aku tak mungkin tersesat, Jenderal,” ucap balik Navila.Sang jenderal membuka genggaman tangannya, tapi Navila malah semakin menggenggam erat tanpa sedikit pun niat melepaskannya.“Aku tak ingin melihatmu disentuh oleh mereka,” ucap sang jenderal dengan menggenggam kembali tangan Navila.“Mengapa?” Navila merasa jenderal itu sedikit kikuk. Sang jenderal tak menjawab tapi malah semakin berjalan dengan cepat. Navila mencoba mengimbangi kecepatan langkahnya sesuai tarikan tangan sang jenderal, tapi pijakannya terlalu cepat di setiap anak tangga.“Argh!” Navila terpeleset, ia jatuh tersungkur ke depan. Beruntung sang jenderal tak tertarik ke belakang, dia hanya tertarik sampai berjongkok saja.“Kamu tidak apa-apa?”“Sakit.”“Maaf berjalan terlalu cepat. Kamu bisa berdiri atau aku perlu mengend
Perempuan itu bertingkah lucu sekali, dia memakan rotinya dengan mengayun-ayunkan kakinya di tepi ranjang. Dia terlihat bahagia dengan tingkah mengemaskan. Peter menebak kaki perempuan itu akan diam ketika memakan bubur gandum itu. Ia tahu bubur itu sangat buruk rasanya: hambar, biji gandumnya terasa setengah matang, dan rasanya sangat mirip dengan lem.Tebakan Peter benar. Ayunan kaki yang bahagia itu berhenti. Perempuan itu memakan bubur gandum itu dengan wajah terpaksa.“Apa yang lucu?” ucap perempuan itu dengan nada yang kesal.“Bubur itu rasanya aneh, bukan? Tidak enak dan hambar.”“Aku menyukainya, Jenderal. Aku bersyukur bisa memakannya, makanan sangat sulit, aku tidak ingin mencelanya.” Ucapan itu terbalik dengan sikapnya, wajahnya sedikit cemberut dan tak ada ayunan kaki bahagianya.Peter sedikit senang mendengar ucapan itu, ia sendiri juga tak suka mencela makanan dalam situasi perang ini. Ia pun kembal
Peter melangkah mengambil mantelnya, kemudian membentangkannya di lantai sebagai alas tidur. Ia juga menarik ranselnya sebagai bantal. Sejujurnya hasratnya masih bergejolak, tapi ia tak ingin mengganggu tidurnya si gadis apel. Ya, Peter memiliki julukan baru untuk perempuan itu yaitu si gadis apel.Ia mulai berbaring. Semerbak wangi apel kembali tercium sama-samar, wangi si gadis apel masih membekas di mantel itu. Peter menyukainya dan matanya mulai terpejam.Boom! Suara ledakan roket terdengar meledak di tempat yang cukup jauh, tapi getarannya merambat hingga tempatnya tidur. Peter terbangun di sebuah ruangan bekas gedung. Suara roda besi mulai terdengar bergerak mendekat, semua orang kenal suara mesin yang berat itu, itu adalah suara tank.Peter bangkit dengan kepala pening sama seperti di setiap bangun tidurnya. Ia berjalan mendekat ke jendela dengan dinding sebagai rambatannya. Jendela itu menghadap tepat di persimpangan jalan, ia berada di lantai tingkat ti
Navila terbangun oleh suara nafas pria yang terengah-engah, ia merasa tubuhnya diselimuti sesuatu yang hangat. Ia spontan terperanjat bangun dan terbayang sesuatu hal yang buruk terjadi padanya. Ia begitu bodoh menerima tawaran tidur di kamar seorang pria yang tak dikenal. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ia duduk dengan selimut hangat yang melorot. Sedangkan suara nafas terengah-engah itu berasal dari sang jenderal.Jenderal itu sedang duduk beralaskan mantelnya di lantai. Tangan kanannya menjulur ke depan seperti sedang mengacungkan pistol. Kening, kepala, baju, dan tubuhnya basah oleh keringat. Jenderal itu seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter.“Kamu baik-baik saja, Jenderal?” tanya Navila.Lengan kanannya yang mengacung ke depan tiba-tiba berputar ke arah Navila. Meski dengan tangan kosong, Jenderal itu seolah-olah sedang mengacungkan pistol ke hadapan Navila. Mata jenderal itu terbuka lebar, tapi pandang
Mata Adeline melotot, “Navila kamu tidak serius bukan?”Ia menganggukkan kepala.“Aku tidak melarangmu jatuh cinta, tapi coba pikirkan suasana saat ini,” ucap Adeline dengan khawatir.Ada salah paham dalam percakapannya, ia tak bermaksud mengiyakan soal jenderal itu. Tapi membulatkan tekadnya lagi untuk mendapatkan obat. Bahkan, meski nanti malam tak ada truk yang mengantar para pelacur dari kota, ia tetap akan berusaha untuk mendapatkannya segera.“Bukan itu maksudku,” jawab Navila. Ia diam sebentar, menimbang harus mengatakan rencananya pada Adeline atau tidak, “Aku akan melakukannya lagi, aku harus kembali ke sana untuk mendapatkan obat.”“Kita pikirkan besok.” Ekspresi wajah Adeline sedikit berubah, kekhawatirannya mengendur. Besok barulah para pelacur dikirim kembali, biasanya dua hari sekali dan sudah berlangsung selama hampir 3 minggu ini.Navila menganggukkan kepalanya, lima
Di dalam bak truk yang mengangkut para pelacur pulang, Navila hanya diam dan menggenggam erat kantong obatnya. Adeline sayup-sayup tertidur bersandar di bahunya, beberapa perempuan juga kelelahan dengan tertidur dalam mantelnya yang hangat, dan beberapa yang lain tampak tertawa atau menikmati rokok mereka.Di seberang tempat duduknya, Alisa tampak sedang berbisik serius dengan Gia, Navila merasakan hal buruk dari bisikan yang tak terdengar itu. Tiba-tiba mata Gia melotot, seperti terkejut dan kesal, ia melirik ke arah Navila dengan tatapan tajam kemudian berbisik pada Illona. Perasaan buruk Navila semakin menjadi-jadi karena tiga perempuan itu jika disatukan biasanya akan merundung dirinya.“Dia melakukannya dengan seorang jenderal?” ucap Illona kaget saat mendapat bisikan dari Gia.“Sialan, meskipun jenderal itu bandot tua, dia hanya anak baru, bisa-bisanya dia langsung mendapatkan posisi dengan seorang jenderal,” gerutu Illona lagi. Mes
“Bagaimana dengan Batalion 805?” tanya Peter. Batalion itu merupakan salah satu kunci dari operasi ini karena mereka berisikan beberapa kendaraan lapis baja. Jika beruntung, harusnya ada 12 tank dalam batalion itu.Wajah mayor itu tampak pucat, setelah mendengar pertanyaan itu. Dari pengalaman Peter, mungkin mayor itu tahu atau memiliki informasi.“Dari informan kami di lapangan, Batalion 805 tidak menemui titik temu seharusnya,” ucapnya semakin pucat.“Maksudmu?” Itu benar-benar kabar yang sangat buruk, seharusnya Batalion 804 dan 805 bertemu bersama dalam sebuah kota.“Para prajurit dari batalion 804 mengalami pertempuran yang sangat berat,” ucap prajurit tersebut. Peter sedikit tak mengagasnya, ia berbalik dan kembali ke tempat ranselnya. Sambil berjongkok ia merogok-rogoh ke dalam tasnya, perasaannya di penuh campur aduk. Kekhawatiran, rasa penasaran, dan tanggung jawab menjadi tak karuan karena batalion
Peter membasuh tubuhnya dengan kain yang dicelupkan dalam ember. Itulah cara mandinya selama ini, hanya dengan membasuh keringatnya tanpa mengguyur dengan air. Ia mulai mengelap tubuhnya dengan handuk bersih yang sebenarnya tidak ia duga bahwa Andrey bisa mendapatkannya.Ia mengelap wajahnya, ketika handuk itu menyentuh bibirnya, tercium pula bau apek bekas badanya. Ia teringat kejadian malam tadi, si gadis apel dengan wangi parfumnya, tapi bagaimana dengan bau dirinya sendiri? Rasanya dia telah menjadi laki-laki yang buruk, semoga si gadis apel tidak merasa kecewa dengan bau dirinya.Agendanya hari ini, ia berniat untuk mengecek kondisi dari Batalion 803 yang baru saja tiba. Lima ratus prajurit yang selamat artinya cukup banyak yang masih hidup sejak Operasi Tsunami dimulai. Sebuah serangan besar-besaran dan terpusat dilakukan menuju Kota Kostrov— Ibukota Kerajaan Agelan.Jam di tangannya menujukan pukul 07.05, artinya pula sepuluh menit lagi apel p
“Aku baik-baik saja,” jawab Adeline dengan senyum palsu dan manik mata yang berkaca-kaca. Navila kini sedikit paham bahwa sesungguhnya Adeline tak ingin menceritakannya, lagi pula ia tak ingin memaksa.Navila menggenggam tangan Adeline dengan dua tangannya, sama seperti Adeline ketika menguatkan dirinya saat turun dari truk.“Aku harap perang ini segera berakhir,” ucap Navila. Tiba-tiba Adeline menatap Navila dengan mata berkaca-kaca yang rapuh. Air mata Adeline mulai mengalir, Navila tak begitu mengerti mengapa sahabatnya itu tiba-tiba menangis. Bukankah harapan yang ia ucapkan tadi adalah baik?Navila makin menggenggam erat Adeline. “Ayo, kita segera pulang.”Mereka terus berjalan di jalan yang sedikit bersalju. Dinginnya udara menerpa wajah mereka dan hampir membekukan kaki Navila yang tak tertutup roknya. Para tentara Erdan yang tidur di pinggir-pinggir koridor dan halaman mulai terbangun. Matahari di ufuk timur mas
“Apa yang dia katakan?” tanya ulang sang jenderal itu. Navila mencoba berpikir sejenak, ia tak mungkin mengatakan perkataan Adeline yang menebak seolah tahu perasaannya.‘Jangan sampai kamu jatuh cinta,’ bisik Adeline tadi dengan bercanda.Bagaimana bisa Adeline tahu? Apa dia hanya bercanda? Apa dia juga berpikir bahwa jenderal itu tampan juga? Entah mengapa pikirannya berkecamuk sendiri. Sang jenderal itu masih menanti jawaban, sedangkan Navila masih memikirkannya.“D-dia bertanya, apakah aku akan kemari lagi?” bohong Navila.“Seperti itu? Baguslah, tempat ini sangat buruk itu perempuan sepertimu,” ucap sang jenderal dengan nada kecewa.Mereka diam sejenak di pintu yang setengah terbuka. Udara dingin sedikit menerpa lengan Navila, tapi ia mencoba tetap kuat. Ia tak ingin terlihat sedikit lemah atau kedinginan, ia tak ingin merepotkan lagi jenderal itu.Suara Adeline yang sedikit lantang bahkan
‘Aku juga menyukaimu,’ batin Peter. Ia terdiam beberapa saat di anak tangga.Si gadis apel tampak semakin penasaran, “Ya, Jenderal?”“Kamu juga orang baik, aku harap kamu tak kemari lagi,” ucap Peter datar.“Baik,” ucap si gadis apel yang terlihat sedikit tidak senang.Apa salahnya? Peter tidak ingin melihat perempuan itu melacurkan dirinya seperti lainnya. Ia kembali menarik genggaman tangan itu dan melanjutkan langkah mereka. Di lantai satu, ruang itu terasa hangat meski api perapian hanya menyisakan sedikit bara. Tak ada seorang pun di sana.Peter pun membuka pintu, angin dingin langsung menerpa wajahnya, dan si gadis apel itu tiba-tiba melepas genggaman tangan mereka. Ia menoleh, tampak si gadis apel langsung melipat tangannya karena hawa dingin yang datang. Ia pun kembali menutup pintu tapi tak begitu rapat.“Aku akan mengambilkan mantel untukmu,” ucap Peter.“Tida
Peter mulai terbangun. Hidungnya terasa geli karena sebuah helai rambut dan wangi parfum apel yang kembali tercium. Ia sadar sedang tidur dengan si gadis apel. Gejolak hasratnya seperti ingin meledak tadi malam dan bahkan masih belum turun hingga ia bangun. Bahkan hasrat kejantanannya terus terangsang. Ia pria normal tapi tetap mencoba menjaga sikap.Ada yang berbeda dari bangun tidurnya kali ini, kepalanya tidak terasa pening. Ia merasakan tidur nyenyak untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Meskipun ia sempat bermimpi buruk tadi malam, tapi ia tidak lagi bermimpi buruk setelah si gadis apel menemaninya tidur. Sungguh aneh pikirnya.Peter membuka matanya, wajah perempuan itu sangat dekat. Si gadis apel juga tertidur nyenyak, matanya terpejam dengan indah dan bibirnya tak merapat sepenuhnya. Semakin lama ia memandang wajah cantik dan bibir manis itu, gejolak hasrat Peter semakin sulit tertahankan.Tangannya masih merangkul pinggang perempuan itu. Ia
Navila kembali ke posisinya seperti tadi, ia duduk di samping jenderal itu dengan mengelus-elus lengan sang jenderal. Ia tak merasa keberatan, mungkin cara itulah bagi Navila untuk membayar harga obat yang dia minta. Lagi pula, ia senang bisa lebih lama memandang wajah tampan itu sebelum pergi. Mungkin, esok ia tak akan kembali ke kamar sang jenderal. Ia sudah mendapatkan obat dan tak memiliki niat kembali ke benteng Esthaz. Sebenarnya, ada sedikit harapannya ingin bertemu kembali pada sang jenderal.Lima menit berlalu, ia sedikit merasa bosan. Karena itu, ia mencoba bersenandung, berharap sang jenderal itu lekas tidur seperti ibunya yang meninabobokan Navila ketika kecil.Tidur, tidurlah burung kecilDi bawah pohon rindangBerselimut angin sejukDisenandungkan padang rumputTidur, tidurlah burung kecilLangit biru terbentang luasPertualangan esok akan hebatTerbang, terbanglah dengan bebas