Pagi itu, Laila merasa atmosfer di kantornya sedikit berbeda. Tatapan beberapa rekan kerjanya tampak lebih tajam, seolah ada sesuatu yang tengah mereka simpan, sesuatu yang hanya mereka bagi lewat lirikan dan bisikan. Laila mencoba untuk tetap tenang, tak ingin larut dalam spekulasi atau kekhawatiran. Ia percaya bahwa cinta dan pilihan hidupnya bukanlah urusan orang lain.Namun, tanpa disadari, percakapan itu ternyata lebih dari sekadar bisikan samar. Beberapa rekan kerja mulai berbicara di belakangnya, meremehkan pilihannya untuk bersama Raka, yang bagi mereka dianggap tidak "sepadan." Bagi sebagian orang di sana, Laila adalah sosok yang berprestasi, penuh bakat, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mereka melihatnya layak mendapatkan pasangan yang, menurut standar mereka, lebih sempurna dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Raka, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, bagi mereka hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Laila."Dia bisa mendapat
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit turut merasakan beban yang ada di hati Laila. Di ruang tamu kecilnya, Laila duduk sendirian, memandangi layar ponselnya yang hening. Sejak beberapa hari terakhir, Raka mulai menjaga jarak. Percakapan mereka yang dulu hangat dan penuh dengan tawa kini berubah menjadi percakapan singkat dan dingin, seolah hanya sekadar memenuhi kewajiban. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Laila, sesuatu yang ia rasakan tapi belum berani ia tanyakan langsung.Malam itu, Laila tidak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk menemui Raka. Menghubunginya dan memintanya datang ke taman di dekat rumah mereka, tempat di mana mereka biasa berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Tempat yang pernah menjadi saksi tawa dan janji-janji mereka.Tak lama, Raka tiba. Diatas kursi roda, Wajahnya terlihat muram, seakan-akan ia membawa beban berat yang sulit ia lepaskan. Laila mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana, namun Raka hanya
Angin pagi mengelus lembut wajah Laila saat ia berjalan menyusuri koridor kantor yang modern dan elegan. Langkah-langkahnya terdengar tegas, namun di balik penampilannya yang anggun dan berwibawa, hatinya tak pernah sepi dari kerinduan yang tertahan. Laila adalah wanita yang telah menggapai banyak hal—karier yang gemilang, prestasi yang diakui, dan kehormatan di mata rekan-rekan kerjanya. Namun, di kedalaman jiwanya, masih ada ruang kosong yang tak pernah terisi, sebuah bayang-bayang dari masa lalu yang terus menghantui, sebuah nama yang tak pernah bisa dilupakan: Raka. Setiap kali Laila menatap keluar dari jendela kaca besar di ruang kantornya, matanya sering kali tertuju jauh ke cakrawala, seakan mencari sosok yang pernah menjadi pusat dunianya. Ia teringat kembali pada masa-masa ketika dunia terasa begitu sederhana, ketika cinta pertama menghampiri dengan tulus dan polos. Nama Raka selalu muncul di antara desah napasnya, bagai angin yang tak bisa dihalau, tak peduli seberapa keras
Hari itu, matahari menyelipkan sinarnya ke sela-sela gedung tinggi di pusat kota, memantulkan bayang-bayang yang bergerak mengikuti langkah cepat Laila. Setiap derap sepatunya di lantai marmer kantor bergaung di dalam benaknya, mengiringi ketegangan yang semakin meresap dalam tubuhnya. Laila berusaha menenangkan debar jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Ini bukan hanya rapat biasa—ini adalah pertemuan pertamanya dengan tim proyek yang melibatkan Raka. Hati Laila masih belum sepenuhnya pulih dari pertemuan kemarin. Meski ia sudah tahu akan bekerja dengan perusahaan mitra, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa perusahaan itu akan melibatkan Raka, orang yang begitu penting dalam hidupnya di masa lalu. Pria yang pernah menjadi sumber kebahagiaannya, kini berada di ujung hatinya, mengundang luka lama yang ia kira sudah tertutup rapat. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana dingin AC menyambutnya, menambah kesan formal dan kaku. Beberapa anggota tim sudah berkumpul, sibuk de
Pagi itu, ruangan rapat masih tampak sunyi ketika Raka memasuki ruangan dengan langkah tenang, kursi rodanya bergerak perlahan di atas lantai kayu yang mengkilap. Ia tiba lebih awal dari yang lain, berharap kehadirannya bisa menenangkan pikirannya sebelum pertemuan dimulai. Hari ini akan menjadi hari yang panjang, penuh dengan diskusi dan pengambilan keputusan penting. Bagi Raka, ini adalah kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang terus-menerus menghantui sejak pertemuannya dengan Laila. Ia sudah bertekad untuk menjalani proyek ini dengan profesionalisme. Apapun yang ia rasakan terhadap Laila, apapun rasa sakit atau kenangan manis yang kembali menyeruak, harus ia simpan jauh di sudut hatinya. Sekarang bukan saatnya terjebak dalam emosi. Sebagai seorang pemimpin proyek, ia harus memastikan semua berjalan lancar. Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca besar, memberikan cahaya lembut di sudut-sudut ruangan. Namun, di balik ketenangan pagi itu, ada
Di penghujung hari yang melelahkan, Laila duduk di depan cangkir kopinya yang kini hanya tersisa setengah. Di balik jendela besar di ruangannya, matahari mulai tenggelam, melukis langit dengan warna jingga yang lembut. Hembusan angin senja yang hangat terasa menenangkan, namun pikirannya tidak bisa lepas dari perasaan canggung yang terus menghantui sejak pertemuan dengan Raka. Kembali bekerja dengan seseorang yang pernah begitu dekat di hatinya membuatnya sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.Laila memejamkan mata, membiarkan dirinya. terlarut dalam kenangan yang muncul begitu saja, mengalir tanpa bisa ia hentikan. Wajah Raka yang dulu, senyumnya, tatapannya, seolah begitu dekat dan nyata di depan mata. Seketika, ia teringat masa-masa saat mereka masih remaja, saat segala hal terasa lebih sederhana dan perasaan mereka begitu murni.Dulu, Laila dan Raka tidak hanya sekadar teman. Mereka adalah dua jiwa yang selalu menemukan tempat nyaman di sisi satu sama lain. Setiap
Raka menatap Laila dengan sorot mata yang sulit ditebak. Keheningan itu terasa lebih berat daripada ribuan kata yang bisa mereka ucapkan. Di ruang yang sunyi itu, waktu terasa membeku, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, meskipun hanya beberapa langkah jarak fisik di antara mereka. Laila bisa merasakan detak jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi Raka, dengan ketenangan yang hampir sempurna, seolah-olah menutup semua pintu ke dalam dirinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Raka berbalik. Dengan suara datar dan terukur, ia berkata, "Maaf, Laila, aku harus menyelesaikan beberapa hal untuk proyek ini. Kita bisa bicara nanti."Laila terdiam. Raka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab, bahkan mungkin tidak memberi ruang untuk percakapan lebih lanjut. Nada suaranya terdengar profesional, sangat berbeda dari nada hangat yang dulu pernah menyapa Laila setiap kali mereka berbicara. Setiap kata yang diucapkannya kini seperti tembok yang semakin
Malam telah larut ketika Laila berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di benaknya, terutama tentang Raka. Ada yang berubah dari pria itu—tidak hanya cara ia berbicara atau sikapnya yang semakin tertutup, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak teraba. Kenyataan bahwa Raka kini menggunakan kursi roda membuat hati Laila semakin perih. Bagaimana mungkin hal sebesar itu terjadi, tapi tak pernah sampai ke telinganya?Sebelum tidur, Laila membuka laptop di pangkuannya, jari-jarinya mulai mengetikkan nama Raka di mesin pencari. Ia tahu bahwa apa yang sedang dilakukannya ini adalah langkah kecil, tapi mungkin ini akan membawa jawaban yang selama ini ia cari. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka?Hasil pencarian mulai bermunculan. Beberapa artikel terkait dengan karier Raka di dunia profesional, beberapa lainnya mencantumkan namanya dalam proyek-proyek besar yang pernah ia pi
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit turut merasakan beban yang ada di hati Laila. Di ruang tamu kecilnya, Laila duduk sendirian, memandangi layar ponselnya yang hening. Sejak beberapa hari terakhir, Raka mulai menjaga jarak. Percakapan mereka yang dulu hangat dan penuh dengan tawa kini berubah menjadi percakapan singkat dan dingin, seolah hanya sekadar memenuhi kewajiban. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Laila, sesuatu yang ia rasakan tapi belum berani ia tanyakan langsung.Malam itu, Laila tidak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk menemui Raka. Menghubunginya dan memintanya datang ke taman di dekat rumah mereka, tempat di mana mereka biasa berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Tempat yang pernah menjadi saksi tawa dan janji-janji mereka.Tak lama, Raka tiba. Diatas kursi roda, Wajahnya terlihat muram, seakan-akan ia membawa beban berat yang sulit ia lepaskan. Laila mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana, namun Raka hanya
Pagi itu, Laila merasa atmosfer di kantornya sedikit berbeda. Tatapan beberapa rekan kerjanya tampak lebih tajam, seolah ada sesuatu yang tengah mereka simpan, sesuatu yang hanya mereka bagi lewat lirikan dan bisikan. Laila mencoba untuk tetap tenang, tak ingin larut dalam spekulasi atau kekhawatiran. Ia percaya bahwa cinta dan pilihan hidupnya bukanlah urusan orang lain.Namun, tanpa disadari, percakapan itu ternyata lebih dari sekadar bisikan samar. Beberapa rekan kerja mulai berbicara di belakangnya, meremehkan pilihannya untuk bersama Raka, yang bagi mereka dianggap tidak "sepadan." Bagi sebagian orang di sana, Laila adalah sosok yang berprestasi, penuh bakat, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mereka melihatnya layak mendapatkan pasangan yang, menurut standar mereka, lebih sempurna dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Raka, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, bagi mereka hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Laila."Dia bisa mendapat
Laila duduk termenung di sudut ruang tamu yang sepi. Udara pagi yang sejuk menyusup lewat jendela, namun hatinya terasa jauh dari ketenangan. Suara lembut angin seolah tak bisa menenangkan pikiran yang bergejolak. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan keluarganya.Hari itu, seperti biasa, keluarganya menanyakan tentang hubungannya dengan Raka. Namun kali ini, pertanyaan mereka bukan lagi sekadar perhatian. Mereka mulai mempertanyakan keputusan Laila untuk bertahan di sisi Raka. Di mata keluarganya, Raka adalah seseorang yang dianggap tak sepadan, seseorang yang—menurut mereka—membuat Laila terlalu banyak berkorban.“Laila, kamu layak mendapatkan yang lebih baik,” ucap ibunya dengan nada lembut, namun penuh ketegasan. “Raka mungkin pria yang baik, tapi lihatlah dirimu. Kamu sudah terlalu banyak memberi, terlalu banyak berkorban.”Kata-kata itu menghantam Laila seperti ombak yang menghantam karang, perlahan meruntuhkan keteguhan hatinya. Ia merasa seperti ber
Siang itu, Laila duduk di sudut kafe dekat kantornya, menunggu Toni yang sebentar lagi akan datang. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela, membuat bayang-bayang halus di sekitar meja. Hatinya berdebar, bukan karena perasaan yang ia simpan untuk Toni, tapi karena tekadnya untuk mengakhiri kebingungan ini. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi langkah yang berat, namun penting untuk menjaga keutuhan hubungannya dengan Raka.Tak lama, Toni datang. Wajahnya cerah, dengan senyum yang mengembang ketika ia melihat Laila. Bagi Toni, ajakan untuk bicara empat mata ini adalah harapan baru. Harapan yang ia bangun sejak awal mengenal Laila. Tetapi Toni tidak menyadari bahwa pertemuan ini akan menjadi akhir dari segala harapan yang ia jaga selama ini."Toni, terima kasih sudah meluangkan waktu," kata Laila lembut namun serius, saat Toni duduk di hadapannya. Ia menatap mata Toni dengan ketenangan yang diselimuti kesungguhan, berusaha menunjukkan bahwa pembicaraan ini bukanlah hal ya
Sore itu, matahari merangkak turun, meninggalkan jejak keemasan di cakrawala yang berangsur redup. Laila berdiri di depan gedung kantor, menunggu Raka. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan ujung-ujung rambutnya, seakan turut merasakan detik-detik yang penuh harapan. Hari itu, Laila ingin mengajak Raka jalan-jalan setelah kerja, untuk sejenak melupakan rutinitas dan berbagi tawa di bawah langit yang mulai gelap.Raka muncul dari kejauhan, langkahnya tenang seperti biasanya, namun wajahnya sedikit tampak muram. Saat ia menghampiri Laila, sorot matanya terpancar redup, seolah-olah menyimpan suatu keraguan yang tak mampu ia ungkapkan. Laila tersenyum hangat, menyambut Raka dengan riang, seperti senja yang menyambut malam."Raka," sapanya lembut. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang? Aku ingin menikmati suasana kota sore ini, dan kupikir… kamu mungkin mau menemaniku."Senyum tipis terbit di wajah Raka, namun hatinya bergejolak. Ada perasaan gundah yang tak mampu
Malam telah menyelimuti kota dengan keheningan yang penuh misteri. Bintang-bintang bertebaran di langit, memancarkan sinar yang redup namun tak pernah padam, seolah menjadi saksi atas segala kegelisahan dan keraguan yang kini menyelimuti hati Raka. Di tengah sunyi yang menenangkan, Raka duduk di tepi jendela kamar, menatap jauh ke dalam gelap, tenggelam dalam renungan yang tak henti-hentinya menyusup ke dalam hatinya.Hatinya terasa berat. Meskipun ada tekad dalam dirinya untuk memperjuangkan perasaan terhadap Laila, kenyataan yang tak bisa ia abaikan kembali menyergapnya—kondisi fisiknya yang terbatas. Tubuhnya yang tak sempurna seperti duri yang menancap dalam-dalam di hatinya, membawa kembali rasa minder yang selama ini ia usahakan untuk sembunyikan."Apakah aku layak untuk Laila?" pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya, mengalun seperti nada sendu yang tak berujung. Laila adalah sosok yang lembut dan penuh cahaya, yang selalu membawa keceriaan di mana pun ia berada. Raka bertan
Sore menjelang petang di kantor, ketika sinar matahari perlahan-lahan menghilang, meninggalkan bayangan lembut di sepanjang ruangan. Laila duduk di mejanya, merapikan dokumen-dokumen terakhir sebelum pulang. Suasana mulai lengang, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Toni yang duduk tak jauh dari Laila.Raka berada tak jauh dari meja Laila, tetapi ia bersembunyi di balik dinding kaca yang memisahkan ruangan mereka. Tanpa sengaja, telinganya menangkap suara lembut Toni yang sedang berbicara dengan Laila.“Laila, bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?” ajak Toni, suaranya terdengar penuh harap.Raka tertegun. Ajakan Toni itu menusuk hatinya, seolah-olah Toni sedang melangkah ke ruang yang selama ini ia jaga penuh ketenangan. Bayangan Laila dan Toni duduk berdua di meja makan, berbicara dengan akrab, tawa Laila yang mengalir untuk Toni – semua itu berputar-putar dalam pikirannya.Tanpa menunggu jawaban Laila, Raka memilih untuk segera
Hari-hari berlalu, dan Toni semakin tak bisa mengingkari keinginannya untuk lebih dekat dengan Laila. Setiap percakapan mereka, bahkan yang hanya sesaat, selalu berakhir dengan harapan yang terselip di dalam senyumnya. Ia mengamati gerak-gerik Laila, cara dia bicara dengan tenang, cara ia mengedipkan mata yang selalu membawa ketenangan. Di mata Toni, Laila bagaikan aliran sungai yang tenang, namun menyimpan kedalaman misteri yang sulit untuk diselami.Di setiap kesempatan, Toni mencari celah untuk berada di sekitar Laila. Di waktu makan siang, ia dengan sengaja memilih duduk di dekatnya, berharap bisa mengobrol meskipun hanya tentang hal-hal sederhana. Jika mereka sedang mengerjakan proyek yang sama, Toni selalu siap membantu tanpa diminta, seolah ingin membuktikan bahwa ia selalu ada. Meskipun Laila sering menanggapi Toni dengan sikap biasa saja, Toni tidak menyerah. Justru di sanalah tantangan dan keindahannya. Ia merasa bahwa setiap momen bersama Laila bagaikan mengumpulkan butiran
Beberapa minggu telah berlalu sejak Toni bergabung dengan tim, dan suasana kantor masih dipenuhi oleh keceriaan yang ia bawa. Setiap pagi, Toni datang dengan senyum hangat dan semangat baru, membuat orang-orang di sekitarnya merasa lebih hidup. Kehadirannya bukan hanya melengkapi tim dalam hal pekerjaan, tetapi juga membawa kebahagiaan yang sederhana namun berarti.Namun, di balik keramahan dan keceriaan Toni, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Sebuah rasa yang tak terduga, yang ia sendiri sulit untuk mengerti. Setiap kali ia menatap Laila, melihat senyum lembutnya atau mendengar suaranya yang tenang, hati Toni bergetar dengan cara yang baru dan aneh. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang namun dalam, perasaannya pada Laila semakin hari semakin tumbuh tanpa bisa ia bendung.Toni mencoba menahan dirinya, mencoba meyakinkan hati bahwa mungkin ini hanyalah kekaguman semata. Namun, semakin ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin kuat pula perasaan itu berak