Hujan turun dengan deras di luar jendela, memukul-mukul kaca dengan ritme yang tidak teratur. Ara duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk lututnya sambil memandang tetesan air yang membentuk jalur acak di kaca.
Rumah itu sunyi, tetapi bukan jenis keheningan yang membawa kedamaian. Ini adalah keheningan yang berat, seperti beban tak terlihat yang menekan setiap sudut ruangan.
Raka sudah pergi bekerja lebih awal pagi ini, seperti biasanya, meninggalkan Ara sendirian dengan pikirannya yang bergejolak. Ia mencoba menyibukkan diri, membersihkan rumah, memasak, bahkan membaca buku yang sudah lama ia tinggalkan.
Tetapi di tengah setiap aktivitas, pikirannya selalu kembali ke satu orang: Adrian.
"Kenapa aku memikirkan dia seperti ini?" batin Ara, menggigit bibir bawah
Hujan deras mengguyur kota, menciptakan riak-riak kecil di trotoar. Ara berdiri di bawah kanopi kecil sebuah restoran, memeluk tubuhnya sendiri untuk melawan dingin. Ia sudah berada di sana selama beberapa menit, menunggu Adrian yang berjanji akan datang.Meski malam basah dan gelap, pikirannya jauh lebih kacau daripada langit di atasnya.Ketika mobil Adrian berhenti di depan restoran, Ara langsung mengenali sosoknya. Adrian keluar dengan payung hitam besar di tangannya. Ia tersenyum kecil saat melihat Ara, tetapi ada ketegangan yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya."Ayo, masuk ke mobil," katanya, nada suaranya rendah tetapi hangat. Ia membuka payung di atas kepala Ara, melindunginya dari hujan.Tanpa banyak bicara, Ara mengikuti Adrian masuk ke dalam mobil.
Adrian menatap Ara dengan senyuman yang lembut namun penuh arti, seolah-olah ia sedang menyimpan rahasia kecil yang akan segera dibagikan. Mereka berdiri di halaman rumahnya, udara pagi terasa segar setelah hujan semalam."Ikutlah denganku," katanya, nadanya tenang tetapi mengundang rasa penasaran. "Ada tempat yang ingin aku tunjukkan padamu."Ara memandang Adrian dengan ragu. "Tempat apa?" tanyanya pelan.Adrian tersenyum lebih lebar, tetapi tetap tidak memberikan jawaban langsung. "Kau harus melihatnya sendiri."Meski hatinya penuh keraguan, Ara mendapati dirinya mengangguk. Ada sesuatu tentang cara Adrian berbicara, cara ia membawa dirinya, yang membuat Ara sulit menolak. "Baiklah," katanya akhirnya, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya.
Ara membuka pintu rumah dengan perlahan, merasa seperti beban dunia berada di pundaknya. Lampu ruang tamu menyala terang, mengusir keheningan yang biasanya menyambutnya.Di sana, Raka duduk di sofa dengan tubuh bersandar dan lengan disilangkan di dadanya. Tatapan matanya gelap, penuh dengan sesuatu yang Ara tidak bisa baca sepenuhnya—amarah, rasa sakit, atau mungkin keduanya."Kau pulang terlambat," kata Raka, suaranya datar tetapi menusuk.Ara menelan ludah. "Aku hanya pergi keluar sebentar," jawabnya, mencoba terdengar tenang."Kemana?" Raka bertanya, nadanya mengeras. "Dengan siapa?"Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk hati Ara. Ia ingin berbohong, tetapi ia tahu bahwa Raka sudah tahu jawabannya. "Adrian," kata
Ara duduk di tepi tempat tidur, cincin kawinnya masih tergenggam di tangan. Udara di kamar itu terasa berat, seolah-olah setiap sudut ruangan dipenuhi oleh perasaan bersalah dan kebingungan yang tidak bisa ia lari darinya.Pintu kamar yang setengah terbuka memperlihatkan siluet Raka di ruang tamu, duduk dengan tubuh membungkuk, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara."Apa yang sebenarnya aku lakukan?" Ara bertanya pada dirinya sendiri, tetapi tidak ada jawaban yang datang. Hatinya terasa seperti medan perang, dengan dua kekuatan yang saling tarik-menarik.Ada kenangan dan janji yang ia buat bersama Raka—fondasi hidupnya selama bertahun-tahun. Namun, ada juga rasa yang baru, berapi-api, dan tak terbantahkan setiap kali ia bersama Adrian.Air
Pagi itu, Ara duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang uapnya mulai menghilang. Hari terasa begitu sunyi meskipun matahari bersinar cerah.Raka, yang biasanya hanya berbicara sekadarnya sebelum berangkat kerja, kali ini tetap duduk di kursinya, memandang Ara dengan tatapan yang sulit diartikan."Aku akan pulang lebih lambat malam ini," kata Ara, mencoba memecah keheningan yang semakin mencekam.Raka tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, matanya tidak lepas dari Ara. "Pekerjaan tambahan lagi?" tanyanya, nadanya datar tetapi menusuk.Ara mengangguk, meskipun ia tahu bahwa jawabannya tidak akan memuaskan Raka. "Ya, aku harus menyelesaikan beberapa laporan sebelum akhir minggu."Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Akhir-akhir ini kau sering pulang terlambat," katanya pelan, tetapi ada nada tajam dalam suaranya. "Kadang aku bertanya-tanya, apakah itu b
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang menyesakkan. Cahaya matahari yang biasanya menerangi rumah tampak tidak mampu mengusir hawa dingin yang menggantung di udara. Ara duduk di meja makan, secangkir kopi di tangannya yang gemetar.Ia bahkan tidak berani menatap Raka, yang duduk di seberang meja dengan ekspresi yang keras seperti batu.“Aku sudah memikirkan ini sepanjang malam,” kata Raka akhirnya, suaranya dingin dan tajam seperti pisau. “Dan aku masih tidak mengerti, Ara. Bagaimana kau bisa mencintai pria lain? Setelah semua yang kita lalui bersama?”Ara menutup matanya, merasakan dadanya sesak. Ia tahu bahwa Raka tidak akan menerima penjelasan apa pun, tetapi ia merasa bahwa ia harus mencoba."Raka, aku tidak pernah berniat untuk mencintainya," katanya pelan, suaranya bergetar. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Aku hanya tahu bahwa dia membuatku merasa... hidup."Raka tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan. "Hidup?" ula
Udara pagi terasa berat, meskipun langit cerah dengan semburat oranye yang indah di cakrawala. Ara duduk di tepi tempat tidurnya, tatapannya terpaku pada cincin kawinnya yang ia letakkan di meja kecil di sebelahnya. Rumah terasa sunyi, tetapi keheningan itu penuh dengan ketegangan yang tidak kasatmata. Setelah malam penuh ketegangan dengan Raka, ia merasa seperti tubuh dan pikirannya terkuras habis.Ponselnya bergetar, memutus lamunannya. Ara mengambilnya dengan ragu, dan hatinya sedikit mencelos ketika ia melihat nama Adrian di layar."Ara, aku di dekat taman kecil di belakang kantormu. Jika kau ingin berbicara atau sekadar duduk bersama, aku di sini."Ara membaca pesan itu berulang kali, mencoba memutuskan apakah ia harus pergi. Tetapi hatinya tahu bahwa ia membutuhkan pelarian—tempat di mana ia b
Langit sore berubah menjadi merah keemasan, memandikan kota dalam cahaya lembut yang terasa hampir ajaib. Adrian menunggu di teras rumah kecilnya, tempat di mana banyak momen dengan Ara terjadi.Ia berdiri dengan tangan di saku, memandangi taman kecil yang perlahan ditutupi bayangan malam. Ketika akhirnya Ara tiba, langkahnya terdengar pelan, nyaris enggan, tetapi tetap penuh tekad.Adrian menoleh dan tersenyum kecil, senyum yang tidak menuntut tetapi mengundang. "Aku tidak yakin kau akan datang," katanya, nadanya rendah tetapi hangat.Ara hanya mengangguk pelan, tidak berkata apa-apa. Hatinya terasa berat, tetapi entah kenapa ia tahu bahwa ia membutuhkan momen ini, bahwa ia membutuhkan Adrian.Mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke taman. Di sekitar mereka, angin sore berbisik melalui daun-daun, menciptakan simfoni alami yang mengisi keheningan di antara mereka. Adrian tidak berbicara, dan Ara merasa berterima kasih untuk itu.Ia tahu bahwa
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan