Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya?
***Sudah satu bulan Gus Afnan pulang ke Indonesia. Ia sudah berkali-kali menggantikan Buya Laqief mengisi kajian kitab kuning untuk para santri pada pagi dan sore hari, tentu saja saat Buya Laqief berhalangan hadir atau ada acara di luar pondok pesantren. Cara pengajarannya pun sangat mudah di cerna ole semua santri, apalagi di usianya yang masih sangat muda, menjadikan Gus Afnan bisa lebih menguasai para santri dan berbaur dengan mereka tanpa canggung, bahkan kabarnya Gus Afnan tidak malu dan canggung ikut bermain sepak bola di lapangan pondok putra bersama santri yang lain.
Gus Afnan juga terkenal sebagai pemuda sholeh yang santun dan baik hati, tidak membeda-bedakan status dan kepintaran. Para santri juga terbiasa berkumpul dengannya, meskipun masih ada canggung para santri terhadapnya karena mereka menghormati statusnya sebagai putra Kyai. Bakal penerus pondok pesantren ini.Hari jumat ini kembali kamar Masyithoh mendapatkan piket membersihkan ndalem. Kebetulan kamar untuk santri dan siswa unggulan memang dekat dengan ndalem. Arni dan yang lain segera bersiap. memegang alat kebersihan masing-masing ditangan mereka."Seperti biasa, kamu dan Arni bersihin kamar Buya!" perintah Mbak Rista pada Ratna dan Arni."Nindi dan Mutia bersihin perpustakaan pribadi Buya," ujar Mbak Rista. Membagikan tugas pada anak buahnya."Yang lain bersihkan halaman, kamar Ummi dan ruang tamu juga ruang keluarga," perintahnya pada yang lain. "Mbak, kamar Gus Afnan siapa yang bersihin?" tanya Dewi."O iya, lupa ... hehehe," ucapnya nyengir sambil tepuk jidad."Arni dan Ratna kalau sudah selesai dari kamar Buya lanjut ke kamar Gus ya, kamarnya 'kan sebelahan," perintahnya. "Iya, Mbak."Selesai bersihin kamar Buya, Ratna dan Arni pindah ke kamar Gus Afnan."Kamu sapu dulu kamarnya Gus ya, Ni. Sebentar ya, Aku selesaikan menata meja dulu, ini ada yang ketinggalan belum ditata bukunya," ujar Mbak Ratna.Arni mengangguk, ia segera masuk ke dalam kamar itu.Arni membuka pintu kamar itu. Harum bau maskulin tercium di indra penciuman Arni, aromanya menenangkan syaraf-syarafnya.Arni segera menyapu kamar itu. Kamar itu masih terlihat rapi meskipun tempat tidurnya tidak tertata begitu rapi. Untuk sekelas lelaki kamar itu sudah cukup rapi menurut penilaian Arni. Kriek ....Pintu kamar terbuka dan ditutup lagi.Arni sedang menyapu kolong kamar tidur itu hingga ia tidak tau siapa yang masuk ke kamar itu. Arni kaget bukan kepalang, karena dirinya sangka yang masuk tadi Mbak Ratna, ternyata lelaki tampan yang juga menatapnya heran."Kamu siapa? Mbak Ndalem ya?" tanya Gus Afnan heran.Arni langsung menggeleng. "Ma-maaf, saya hanya diberi tugas untuk membersihkan kamar Gus oleh mbak pengurus," jawabnya terbata masih dengan menunduk."Oo, kamu buat kesalahan ya, makanya di takzir," tebaknya.Arni langsung menggeleng. "Ha-hari ini kebetulan kamar sa-saya kebagian tugas membersihkan ndalem," ujarnya.Gus Afnan mengangguk tanda mengerti."Cepat selesaikan saya mau istirahat," perintahnya.Arni mengangguk. Meskipun dengan tubuh yang bergetar, Arni segera meneruskan menyapunya. Gus Afnan mengambil buku dan membacanya sambil duduk di sofa panjang dalam kamar ini.Arni mengutuki dirinya sendiri. "Kenapa tadi aku harus masuk ke kamar ini sendiri, seharusnya aku nggak mau disuruh masuk dulu, sekarang mbak Ratna mana lagi," batinnya gelisah. Pasalnya saat ini mereka berada dalam satu ruangan, apalagi pintu kamar itu ditutup. Arni takut terjadi fitnah, meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, tidak mungkin Gus Afnan berselera padanya, ia hanya gadis miskin yang juga tidak pintar bahkan bukan putri kyai."Arni, sudah selesai belum nyapunya?" teriak mbak Ratna yang langsung membuka pintu kamar itu. Mbak Ratna heran melihat wajah Arni sedikit pucat."Kamu sakit, Ni? Wajahmu kok pucat," ujarnya. Arni menggeleng dan berusaha mengkode Ratna menggunakan dagunya ke arah sofa. Ratna menangkap kode yang ditunjukkan Arni, seketika Ratna melihat ke arah sofa. Mbak Ratna juga kaget seperti Arni tadi, di sofa itu duduk pemuda tampan sambil memegang buku dan melihat ke arah mereka berdua."Ehm ...." Suara barito Gus Afnan membuyarkan keheranan Ratna yang menatap pemuda itu dengan tatapan kagum, beda dengan Arni yang sejak tadi hanya menunduk takut dan malu."Selesaikan bersih-bersihnya cepat! aku mau istirahat, " ujar Gus Afnan."I-iya," ucap Ratna sambil tersenyum malu-malu. Terus terang tingkah Ratna membuat Afnan risih. Arni segera merapikan kamar itu dengan cepat, dirinya ingin segera keluar dari kamar itu, sejak tadi Afnan bahkan sering curi pandang pada gadis itu, yang sejak tadi menunduk, membuatnya penasaran. "Aku jadi penasaran pada gadis itu, semua temannya menatap kagum padaku, sampai aku risih ditatap ribuan santri putri dengan tatapan seperti mereka mau menelanjangiku, tapi dia sibuk dengan dunianya sendiri dan sejak tadi hanya menunduk," batin Afnan.Setelah beres, Arni dan Ratna segera keluar dari kamar itu, Gus Afnan juga langsung berdiri dari duduknya, namun karena lantai masih sedikit licin, Arni yang juga terburu-buru hingga dirinya terpeleset namun sebelum terjatuh ke lantai ada tangan yang memegang tubuhnya. Jleb ....Gus Afnan menahan tubuh Arni. Sekilas mata mereka beradu, Arni segera membetulkan posisinya sehingga bisa berdiri dengan baik. Arni dengan kasar melepas cekalan tangan yang menahan tubuhnya itu, Gus Afnan yang merasakan tangannya tersentak sadar dengan kekhilafannya, niatnya hanya menolong Arni namun Afnan terpesona pada iris mata hitam nan bulat milik Arni yang beradu pandang dengan matanya meskipun hanya sekilas. Mereka berdua merasa canggung. Ratna yang menyaksikan itu tersenyum, ingin tertawa takut dapat hukuman. Ratna hanya bisa menahan tawanya. "Berita heboh ini! Gus Afnan menahan tubuh Arni yang hampir jatuh," batinnya. "Mo-mohon maaf, pe-permisi," ucap Arni terbata, ia langsung lari keluar kamar itu.Ratna pun mengekorinya."Cie-cie, kamu menang banyak, Ni," ujar Mbak Ratna menggoda. "Ststst ... Mbak. Jangan bilang begitu, tadi tidak disengaja, nanti kalau didengar santri lain timbulnya fitnah, tolong jangan dibahas lagi ya, Mbak. Nanti bisa jadi masalah untuk Gus Afnan juga saya, tolong ya, Mbak ...," mohon Arni mengiba.Melihat wajah Arni pucat, Ratna jadi tidak tega untuk menggoda lagi. "Tenang, Ni. Aman kok, aku nggak akan bilang ke mana-mana, lagian aku juga kasihan sama kamu, 'kan kamu santri baru juga, selain itu kamu anak yang baik," ujarnya. "Makasih ya, Mbak. Atas pengertiannya," ucapnya. "Iya, sama-sama."Malamnya, saat ini Afnan berada di kamarnya dan sedang mencoba untuk tidur, entah mengapa bayangan Arni tadi pagi selalu menbayanginya, membuat Afnan gelisah, tidak pernah seumur hidupnya ia seperti itu. "Ya Allah, perasaan apa ini? Tidak mungkin aku jatuh cinta pada gadis itu, sedangkan aku sudah menolak semua anak kiyai yang pernah akan dijodohkan denganku, dengan alasan masih ingin menimba ilmu di Mekkah. Bahkan putri-putri kyai itu tak kalah cantik dan pintar," lirihnya.Afnan mencoba memejamkan matanya lagi, namun selalu sama bayangan Arni yang ada. Mata indah Arni dengan iris coklat menatapnya. Berulang kali hal yang sama terjadi. Afnan benar-benar gelisah.Baru kali ini ia merasakan hal semacam ini.
"Ya Allah, ini tidak boleh dibiarkan, ini sama saja dengan zina 'ain. Bukankah begitu yang selama ini aku pelajari.Telah diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah berjalan, hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan dan mendustakannya adalah kemaluan." (HR. Muslim) Naudzubillah ... Astaghfirullahal Adziim ... Ampuni hamba Ya Allah, ampuni hamba ... Kalau benar ini cinta yang berasal dariMu maka aku rela, dekatkan aku dengannya dengan caraMu, tapi kalau ini bukan cinta. Namun, nafsu maka hilangkanlah dari hatiku, musnahkan dari hati hamba, hamba tidak ingin mengotori hati hamba dengan cinta karena nafsu sesaat," lirihnya.
Afnan langsung bangun dari ranjangnya, ia segera mengambil wudhu dan melakukan sholat taubat, dirinya percaya dengan mengerjakan sholat taubat hatinya menjadi semakin tenang, dan mungkin bisa menghilangkan bayangan Arni dari pandangannya. Menggugurkan dosa-dosanya. Bukankah sholat taubat sangat dianjurkan meskipun dilaksanakan setiap hari. Saat melaksanakannya juga dianjurkan untuk memperbanyak istighfar, memohon ampunan, agar Allah selalu mengampuni segala dosa yang pernah dilakukannya.Setelah sholat Afnan lebih tenang dari sebelumnya. Afnan kembali berbaring, mencoba memejamkan matanya. Kini saat memejamkan matanya ada bayangan Arni tersenyum padanya. Tanpa dirinya sadari ia juga ikut tersenyum dan detik selanjutnya ia pun terlelap.Memperhatikanmu diam-diam, mendoakanmu setiap hari dan mencintaimu secara rahasia. (-Afnan- Cinta dalam Balutan Doa)***Semenjak kejadian Jum'at yang lalu, Arni semakin canggung, apapun yang dirinya dengar tentang Gus Afnan, yang menjadi idola seantero pondok putri, membuat gadis itu sedikit menghindar bila ada bahasan tentang penerus Buya Laqief itu. Tidak mau munafik. Dirinya juga masih normal, apalagi remaja seusia dirinya baru mengenal arti cinta, labil sekali hatinya, jujur sejak kejadian itu hati Arni terpaut dengan pemuda tampan nan sholeh itu. Namun ia menyakini kalau itu hanya perasaan sesaat, perasan seorang santri mengidolakan ustadz atau Gusnya, bukan perasaan cinta perempuan dewasa. Arni selalu berusaha mengubur rasa yang sudah mulai mengakar di hatinya itu, tak membiarkan semakin berkembang, ia fokus dengan tujuannya untuk mondok, mengejar cita-citanya, membanggakan kedua orang tuanya, dan ngalap barokah dari kyai Laqief.Malam ini selepas sholat maghrib, Arni
Jika aku jatuh cinta padanya, cintakanlah aku pada seseorang yang melebihkan cintanya padaMu agar bertambah kekuatan untuk lebih mencintaiMu (Gus Afnan~ Cinta dalam Balutan Doa)***Afnan langsung merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Menghilangkan capek di tubuhnya. Dirinya tersenyum mengingat kejadian saat di kelas dan di kantor madrasah Diniyah tadi."Kamu semakin menantang, dan membuatku semakin penasaran. Khairina Azzalina Arni, nama yang bagus, pintar namun sayang usianya masih 15 tahun. 1 juli 2006. Terpaut 7 tahun denganku," lirihnya.Afnan tau data lengkap Arni, tadi di kantor madrasah Diniyah dirinya sedang mencari data-data itu, sempat membuat kang Dedik, sepupunya yang juga menjadi kepala Diniyah itu heran bukan kepalang. Afnan yang tau sepupunya menatapnya dengan beribu tanda tanya di benaknya berdalih mencari data santri baru supaya mempermudah memberi soal nantinya. Biar santri-santri baru itu tidak terbebani dengan soal yang belum mereka kuasai. Antara percaya d
Satu bulan berlalu.Saat ini Arni siap mengikuti lomba mewakili ponpesnya bersama para santri lainnya yang juga dipilih untuk mewakili pondok sama seperti dirinya.Gus Afnan sudah siap menunggu di halaman pondok dengan mobilnya. Ia berdiri di depan mobilnya. Sudah tersedia 4 mobil lainnya untuk mengantar para peserta lomba dan pengurus pendamping. Dua mobil untuk santri putra dan dua mobil untuk santri putri."Kalian atur sekarang ya, Kita sudah sedikit terlambat, ayo segera berangkat!"ucap Afnan.Setelah mengatakan itu Afnan segera masuk dan melajukan mobilnya bersama Kang Dedik. Arni masuk ke dalam mobil bersama santriwati lainnya.Saat ini mereka sudah sampai di tempat lomba. Arni dan para santri lainnya segera berkumpul dengan para peserta lainnya untuk mendengarkan peraturan-peraturan lomba dari panitia.Sudah satu bulan ini Afnan mencoba menghilangkan perasaanya pada Arni, mencoba mencari kesibukan lain. Namun tetap saja Arni tidak bisa aja hilangkan di dalam hari dan pikira
Cinta bukan hanya sekedar ucapan namun harus dibarengi dengan pengorbanan. Mencintai dan dicintai itu adalah anugrah terindah dari Allah Subhanallah Wa Ta'ala***Satu tahun setengah Arni menjadi santri di pondok ini, suka duka sudah ia lewati bersama santri lainnya, terkhusus teman dan sahabat sekamarnya. Selama di pondok Arni tidak pernah berbuat macam-macam ataupun melanggar tata tertib pondok. Ia belajar sesuai apa yang menjadi cita-citanya. Saat ini ia sudah kelas dua program IPA. Tinggal satu tahun setengah lagi ia sudah lulus.Bagaimana perasaannya pada Gus Afnan? Kalau boleh jujur Arni masih menyimpan perasaannya itu dalam-dalam di relung hatinya, dirinya hanya tidak ingin terluka, biarkan saja ia mencintai dalam diam, mengagumi tanpa harus mengumbar. Toh, hal itu alamiah bagi remaja sepertinya. Yang mulai mengenal cinta.Arni selalu memupusnya dalam hati, karena apa yang diimpikan tentang Gus Afnan hanya hayalan semata, karena ia tau mereka tidak akan pernah bersatu. Biarkan
Allah menguji kita dengan sesuatu yang kita cintai, maka janganlah berlebihan mencintainya, agar saat sedih tidak berlebihan.***Setelah sholat isya'. Airin menyuruh Arni untuk segera mengganti pakaiannya yang sudah Airin siapkan."Dek, cepet ganti pakaianmu ya, keluarga calon besan sudah mengabari, mereka sudah bersiap untuk berangkat ke sini," ujar Airin."Aku gak bisa, Kak. Aku gak bisa ...," pekiknya."Dek, kakak mohon jangan mempermalukan ibu dan bapak, apalagi keluarga mereka keluarga terpandang di kecamatan ini," bujuk Airin lagi. Arni masih menangis terisak sambil menenggelamkan wajahnya di pahanya."Apa ini sudah takdir Arni ya, Kak?" lirihnya. Airin mendekat dan ikut menangis. "Ada saatnya kita harus berkorban demi kebahagian orang tua kita, mengubur apa yang kita mimpikan. Dan percayalah ibu dan bapak hanya ingin yang terbaik untuk kita, kamu harus ikhlas. Insya Allah, Allah akan memberimu kebahagiaan. Percayalah, Dek!"Arni mengangguk. " Insya Allah, semoga keputusan ib
Belajarlah tenang dan sabar. Jalan keluar sebuah masalah dan kemenangan selalu diraih oleh mereka yang tenang dan sabar.***Pagi ini setelah membantu ibunya berbelanja Arni segera bersiap untuk kembali ke pondok. Arni membereskan meja makan sederhana setelah dirinya, Ibu dan bapaknya selesai sarapan. Syafaah dan Herman terlihat sedih, karena Arni tidak lagi ceria seperti biasanya, biasanya Arni selalu cerewet, manja pada sang bapak. Setelah prosesi lamaran semalam Arni menjadi lebih pendiam."Bapak berangkat kerja dulu ya, Bu, Nak." pamit Herman.Arni mengangguk. "Hati-hati, Pak. Setelah ini Arni juga langsung balik ke pondok, Pak" pamitnya."Belajar yang pintar, Nak ya. Jangan pikirin yang belum terjadi, jalanilah hidupmu sebagai santri dan pelajar seperti biasa, bapak harap kamu bisa ceria seperti biasanya," ucap Herman."Iya, Pak," jawab Arni singkat. "Buk, bapak berangkat.""Iya, Pak. Hati-hati."Sebelum Herman sampai di pintu, ada sepeda motor besar yang berhenti di depan
Biasakanlah untuk jujur karena kejujuran itu menuntun kita pada kebaikan dan kebaikan itu menuntun kita pada keselamatan.Dan ....Tinggalkanlah segala yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya, kejujuran akan mendatangkan ketenangan, sedangkan kedustaan akan mendatangkan kegelisahan. ***Saat ini Afnan menemui sang abah, Kiyai Laqief. Beliau saat ini berada di perpustakaan pribadinya."Assalamu'alaikum, Abah," sapanya."Wa'alaikumussalam, Nak. Masuklah!" jawab Kiyai Laqief menyudahi aktivitasnya. "Apa saya mengganggu Abah?" tanyanya ragu sebelum masuk ke ruangan itu. "Tidak, Nak. Ada apa? Apa ada hal yang membuatnya gelisah?" Afnan mengangguk. Kiyai Laqief menyuruhnya duduk di sofa sampingnya. "Maafkan saya, Abah," lirihnya."Apa kamu melakukan kesalahan, Nak?""Banyak, Abah. Mungkin dosa Afnan terlalu banyak, Abah. Afnan sudah membagi cinta Afnan untuk Allah pada makhluknya, Afnan tidak bisa menjaga pandangan(gadhul bashar) pada lawan jenis," lirih Af
POV AzzamNamaku Khoirul Azzam Aflah. Bungsu dari enam bersaudara, dengan empat kakak laki-laki dan satu kakak perempuan. Mereka semua menyayangiku. Begitu juga kedua orangtuaku. Dibesarkan di keluarga yang kaya dan dimanja kedua orang tuaku tak membuatku besar kepala. Aku tumbuh mandiri. Semua saudaraku sudah menikah. Mereka semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren ternama, dengan latar pendidikan pondok pesantren, mereka mengamalkan ilmu mereka, dua dari kakakku adalah menantu kiyai ternama dan sekarang juga memangku pondok cabang dengan santri yang cukup banyak, dua lagi menjadi dai sekaligus pengusaha. Satu kakak perempuanku juga menjadi pengajar di markas tanfidz. Hanya diriku yang pendidikannya tidak berlatar belakang pesantren, meskipun setiap Romadhon ayahku memasukkanku ke pondok pesantren. Ya, hanya bulan romadhon saja.Sejak kecil aku berkeinginan menjadi seorang polisi. Awalnya keinginanku ditentang ibu. Namun ayahku selalu membujuknya supaya mengizinkanku. Alasan
Bersabarlah dalam segala hal, tetapi yang terpenting adalah bersabar dengan emosi yang ada di dalam dirimu sendiri. Karena Meskipun seribu orang memilih untuk mencemooh dan meremehkanmu. Maka hal terbaik adalah menjadikan cemoohan mereka menjadi penyemangat dalam mengarungi hidupmu. (Fathiyah) *** “Mohon maaf, Mas tampan. Aku mau ambil motorku,” ucapnya yang berhasil membuat dua laki-laki tampan dan satu wanita cantik menoleh ke arahnya sambil memindai penampilan lusuh Fathiyah. Polisi wanita berparas cantik itu langsung menertawakan Fathiyah dengan senyuman yang terkesan mengejek. “Ternyata Briptu Arza ada penggemar baru ya?” ucap polisi wanita berparas cantik yang tertulis di tag namenya bernama Luna itu, terlihat jelas ia mengejek Fathiyah sambil masih melihat penampilan lusuh gadis itu. “Ternyata Briptu Arza yang tampan bukan saja menjadi idola anak pejabat, dan anak kaum borjuis ternyata anak pank seperti dia juga mengidolakannya,” ucapnya lagi semak
Dengan tersenyum bukan berarti kita bahagia, terkadang semua itu hanya sampul untuk menyembunyikan kesedihan karena kesedihan tidak perlu dipamerkan atau pun diperlihatkan sedangkan kebaikan tidak perlu disombongkan. (Fathiyah) *** Setelah diterima bekerja, Fathiyah kembali pulang dan mengabarkan berita gembira itu pada sang bibi. “Assalamualaikum, Bik,” sapanya dengan riang. “Kenapa sudah pulang? Apa kamu tuli? Aku sudah bilang kamu enggak boleh pulang sebelum mendapatkan pekerjaan!” sengitnya tanpa menjawab salam dari Fathiyah. Fathiyah tersenyum menanggapi omelan sang Bibi. “Diajak ngomong malah senyam-senyum kagak jelas, cepat cari kerja yang benar!” ucapnya kesal. “Alhamdulillah, Bik. Aku sudah diterima kerja di kafe dan Resto yang instagramable, tempatnya bagus, Bik.” “Beneran kamu sudah diterima kerja? Kamu enggak lagi halu ‘kan? Awas saja kalau bohong!” ucapnya. “Enggak bohong! Aku beneran diterima, Bik.” “Ya sudah aku senang mendengarnya,” ketusnya sambil kembali k
Sebuah harapan akan tercapai dengan adanya semangat yang tak pernah pudar. Dengan keyakinan dan sebuah kesabaran pasti akan berbuah indah saat waktunya tiba. (Fathiyah) *** Fathiyah sudah meletakkan lamaran kerja di beberapa toko, kafe dan restoran. Namun, hingga kini ia belum dapat panggilan. Dirinya sadar kalau hanya lulusan SMA, bahkan ia belum punya pengalaman kerja. Hanya berbekal ijazah SMA dan keahlian memasak yang diajarkan oleh sang ibu dulu semasa hidup, ia pun melamar pekerjaan ke kafe dan restoran sebagai koki. Kebetulan sang ibu dulu adalah seorang koki di rumah makan mewah. Dua tahun sudah Kedua orang tuanya meninggal dunia. Saat itu juga sang bibi dan sang paman memutuskan tinggal di rumah Fathiyah, karena rumah yang disewa mereka sudah habis masa kontraknya. Rika, sang bibi selalu memperlakukan Fathiyah seperti pembantu di rumahnya sendiri, semua pekerjaan rumah di kerjakan gadis itu. Bahkan tak jarang Fathiyah harus rela kelaparan karena sang bibi tidak memberi
Tiga bulan sudah Arza pulang ke rumah kedua orang tuanya, di pesantren. Meskipun ia harus berangkat pagi sekali. Namun, di sini hatinya sedikit tenang karena di sini dirinya banyak teman dan bisa berkumpul dengan kedua adiknya yang selalu ada saja tingkah kocaknya, sehingga bisa membuatnya terhibur.“Bang, kenalin aku sama Kak Luna dong,” ucap Azril yang saat ini berada di kamar sang abang.“Apaan sih, Dek. Enggak enak ngomongin Luna, nanti Bunda dan Abi dengar tau,” ucapnya berbisik.“Terus kenapa kalau Bunda dan Abi tau? Abang ‘kan bisa langsung mengkhitbahnya? Secara Abang ‘kan sudah mengenalnya sejak lama. Jadi enggak usah pakai proses taaruf.”“Enggak semudah itu, Dek.”“Kenapa emangnya?”“Luna belum mau berhijab, menurut pandangannya, orang berhijab itu ribet. Apalagi kalau ada yang berhijab panjang dan lebar, pasti dia enggak suka.”“Astaghfirullahal Adziim ... terus Abang kok bisa suka perempuan yang berpikiran sempit seperti itu sih?” ucap Azril tidak suka. Padahal tadi diri
Putra sulung Arni dan almarhum Azzam bernama Arza sudah menjadi seorang perwira polisi. Abdi negara seperti apa yang diamanahkan oleh Azzam. Afnan sudah memberi peluang itu pada putra sambungnya. Ia mengarahkan semua tanpa harus memaksa, meskipun itu adalah sebuah amanah. Sebagai ayah sambung, Afnan tidak hanya menyayangi dan mengayomi Arza dan Azril. Ia sudah berperan lebih dari seorang ayah sambung. Afnan bahagia bila Arza berhasil memenuhi amanah almarhum Azzam menjadi seorang polisi yang jujur dan tetap mengedepankan norma agama *** Setelah pulang dari tempatnya bekerja siang ini, Arza pamit pada Hambali dan Yulia untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya. Bahkan Arza izin pada komandannya untuk tidak mengikuti apel besok pagi. Setelah berkendara cukup jauh Arza pun sampai di pesantren milik sang abi. Ia segera masuk ke ndalem mencari keberadaan kedua orang tuanya. Arza segera menemui sang bunda dan sang abi yang berada di kebun belakang. Arni dan Afnan sering menghabiskan wak
Dengan senang hati Azril melakukan tugasnya, setiap harinya ia lewati dengan senyuman. Bahkan dirinya bisa istiqomah menjalankan sholat berjamaah, yang paling dirinya banggakan ia bisa mengerjakan sholat malam bersama Kiyai Bisri dengan khusyuk. Kiyai Bisri selalu membangunkannya sebelum sahur tiba. Ia juga ikut berbuka dan sahur bersama Kiyai Bisri dan Ummi Roudhoh. Awalnya dirinya menolak dengan lembut. Namun, Ummi Roudhoh dan Kiyai Bisri sedikit memaksa. Ummi Roudhoh juga sudah sedikit akrab dengan pemuda tampan itu, beliau sering menceritakan cucu-cucunya pada AzrilKecerdasan yang dimiliki Azril membuat pemuda tampan itu dengan mudah menyerap ilmu yang dirinya peroleh. Bahkan di luar batas kemampuannya.Pernah Kiyai Bisri mencoba mengetes ilmu pemuda tampan itu dengan menanyakan beberapa hadits yang dirinya ajarkan pada Azril di perpustakaan pribadinya dan Azril dengan mudah menjawab, bahkan dengan cepat beserta penjabarannya dan penjelasannya. Kiyai Bisri sampai geleng kepala.P
Kang Abduh mulai mencurigai Kang Fajar dan Kang Khaidir setelah ada gelagat berbeda yang ditunjukkan keduanya. Ia harus bisa memecahkan masalah ini dan mencari bukti supaya nama baik Neng Arsyi dan juga Gus Azril tidak jelek di mata santri lain, meskipun mereka berdua ada perasaan, tapi tidak begini caranya. Apalagi mereka calon pewaris pesantren.“Gus Azril bisa membuktikan kalau ini benar-benar fitnah?” tanya Kang Abduh.“Insya Allah aku bisa membuktikannya. Aku tau mereka tidak menyukaiku. Itu tidak masalah buatku, tapi ini tidak menyangkut diriku saja karena Neng Arsyi diikut campurkan dan aku tidak mau itu terjadi,” ujar Azril yakin. Meskipun Arsya kecewa pada keduanya, tapi melihat kesungguhan Azril yang membela sang adik membuat dirinya tersenyum tipis.“Halah, paling memang ini disengaja. Azril saja yang memang tidak bisa menahan diri dan tidak bisa menjaga kehormatan pesantren dengan mengajak ketemuan Neng Arsyi, dasar biang kerok. Sejak dia datang kan selalu ada saja tingkah
Azril mengantar kepulangan keluarganya di pintu aula. Setelah beberapa wejangan diberikan oleh Abi, Bunda dan Neneknya.Azril ingin di sisa waktunya di pesantren ini bisa lebih dekat dengan Kiyai Bisri. Menyerap ilmu beliau lebih sempurna, dan mungkin dengan melakukan beberapa kesalahan akan membuatnya di takzir dan di serahkan langsung pada Abah Yai, itu pemikirannya.Azril kembali ke kamarnya dan membawa beberapa bingkisan yang dibawakan sang bunda tadi. Ia langsung membagikan beberapa makanan untuk santri lain termasuk Arsya.“Sesuai janjiku padamu dulu, Sya. Aku habis disambang keluargaku. Ini, aku kasih bolu kelapa kesukaanku khusus buat kamu, semoga kita satu selera dan kamu juga menyukainya,” ujarnya.Arsya sangat senang dan langsung menerima bolu kelapa dan ayam geprek kesukaan Azril.“Makasih banyak ya, Ril. Aku juga pasti menyukainya. Makanan ini pasti juga enak banget,” ujarnya.Azril tersenyum menanggapinya. Memang bagi Azril masakan sang bunda paling enak, tiada tandingan
Hubungan Arsya dan Azril sedikit merenggang, tidak lagi seperti dulu. Azril lebih menghindari Arsya. Meskipun Arsya ingin selalu dekat dengan Azril seperti yang dulu. Namun, Azril membatasinya. Sungguh suasana seperti ini Arsya tidak menyukainya.Sudah 17 hari Azril berada di pesantren itu. Banyak pelajaran yang ia dapatkan, mulai dari persahabatan yang ia dapatkan dari Arsya dan beberapa teman yang lainnya, desir aneh yang ia rasakan pada Arsyi, saudara kembar Arsya. Sikap tak bersahabat yang ditunjukkan oleh Kang Khaidir dan Kang Fajar yang semakin membencinya, serta kajian kitab kuning dan penjelasan dari Abah Yai yang selalu membekas di hatinya. Bahkan dirinya sangat mrn8kmsti takziran yang diberikan oleh pengurus yang mengajarkan padanya sebuah tanggung jawab. Ada alasan lain yang membuat Azril bertindak semaunya sendiri. Alasan yang cukup aneh yaitu mengabdi secara langsung pada Abah Yai dan dengan melakukan kesalahan terus menerus dirinya yakin setelah ini hukumannya akan diam