Keempat orang dewasa itu hanya mengangguk tanpa bantahan, keempatnya langsung bergerak melangkahkan kaki memasuki paviliun mewah dengan tenang tanpa menaruh rasa curiga apapun. Karena, pada dasarnya paviliun milik King Frederich tak menunjukkan jika tempat itu area pertumpahan darah seperti kompleks perumahan Jln. Elizabeth.
'Hm, Darren benar-benar pria misterius, dia anak kandungku tapi sikapnya berbanding balik denganku. Mungkinkah karena selama dua puluh tahun hidup ditengah-tengah Keluarga Elbarak sehingga dia menjadi pribadi yang unik.' Kun berguman kecil dan sedikit melirik takjub isi Paviliun putranya.
Aroma khas mawar dan cengkeh menjadi hal pertama tercium ketika memasuki ruang tamu. Bahkan, bisa Kun prediksi jika aroma itu masih baru ada pemiliknya tak lama sebelum mereka berempat sampai.
Sesuai dengan tebakannya, Kun merasa sebelum ia datang sepertinya Darren baru saja duduk disofa kulit harimau ketenangan.
"Awas, ada pecahan kaca dilantai.
"Hhh... cucu manisku ini begitu merindukan Orang tua kandungnya?" Celetuk Kun mulai gemas dengan tingkah cucu kesayangannya itu. "Opa--" "Kesini sama Opa, nak. Kita makan kue yang di suguhkan Nenek Nia dulu sambil menunggu Daddy kembali." "Cidak, na-na-na, Daddy.." pekik anak itu kekeuh sambil menunjuk kearah tangga, kedua mata tajam coklatnya yang tiba-tiba hendak memerah membuat Kun terkejut dan langsung mendekati Darrell yang tengah bersih keras ingin naik kelantai dua. "Bilal, kenapa kamu tidak lagi menjadi anak penurut seperti Daddy Izzu, hm?" Kata Devanya berusaha keras menahan Darrell yang sudah keluar sikap keras kepalanya. "Daddy... Mommy..." teriaknya spontan dan langsung menangis histeris dalam pelukan Opanya. Anak itu seolah-olah benci dengan siapapun yang mencoba menahannya untuk berkeliling didalam rumah tempat kelahirannya sendiri. "Tidak apa-apa, sebaiknya jangan menahan cucuku lagi, dia mungkin mengira Daddy dan Mommy
Diruang tamu tampak Devanya gusar sendiri sambil melihat-lihat kearah tangga, tak ada yang bisa ia pungkiri jika cucu angkatnya itu begitu berani meminta naik ke lantai atas. Walaupun dia baru tahu jika Darrell adalah cucu Mr. Huang Fu namun Devanya masih ragu, mengingat wajah anak itu begitu mirip dengan Izzuddin dan ada sedikit ada kemiripan dengan Arsyilla. 'Ya Allah, semoga saja Bilal cepat turun sebelum pemilik rumah kembali.' Sementara seorang pria paruh baya tampak asyik dan bersantai sambil mencomot kue dango (kue Jepang berbentuk bulat seperti bola kecil dan dimatangkan dengan cara dikukus atau direbus di dalam air), jujur saja pria paruh baya yang bernama Jeremy Elbarak itu cukup menggemaskan saat mencoba satu persatu kue unik yang Dania sajikan dimeja. Dania juga tampak antusias menyuapi Lian, pemuda berusia lima belas tahun dengan sebuah dessert bananas foster amaretto. Kalau di Indonesia semacam manisan atau kolak pisang yang d
Belum juga Jeremy bertanya banyak hal tentang negara kelahiran keponakan menantunya itu yaitu Negeri Tirai Bambu itu, yang merupakan Negara militer terkuat No.3 setelah Frederal Russia dan AS. Terdengar ucapan salam dari seseorang namun karena cengkeraman tangan istrinya membuat pria paruh baya itu mengerutkan kening tanda bingung. "Assalamu'alaikum." Suara seorang lelaki menyeru secara tiba-tiba, membuat Lian menghentikan penjelasannya pada Jeremy. "Ada apa, Bun? Kalau pegang itu jangan keras-keras, lengan Ayah sakit." Omel Jeremy pada istrinya, seolah tidak mendengar ucapan salam barusan. "Wa'alaikum salam." Jawab Lian kemudian pemuda itu beranjak dari duduknya mengabaikan tingkah aneh dua pasang paruh baya itu mengomel dengan masalahnya sendiri. "Lian, kamu disini?" Tanya perempuan yang baru datang dengan suaminya itu. "Iya, Lian bersama Darrell kesini, Aunty." "Darrell? Dia ada disini? Tapi--" tanya perempuan sambil menelusuri seti
"Kak--" "Huff.. ternyata begini rasanya morning sickness, sungguh-- kenapa calon bayiku itu begitu menyiksaku." Desah lelaki itu dengan wajah lelah sambil menatap wajah tampannya di cermin, seolah tidak mendengar panggilan istrinya. Janggungnya tampak naik-turun saat ketika melihat wajah lelahnya tercetak jelas disana, Izzuddin merasa apakah seperti ini yang istri mungilnya itu rasakan saat mengandung putra pertamanya dulu. 'Arsyi-- maafkan Kakak, jika Kakak tahu rasanya morning sickness ini begitu menyiksa, Kakak tidak begitu memaksamu untuk mengandung anak Kakak.' Gumannya dalam hati, mengetahui rasanya begitu menyiksa seperti ini seharusnya dulu ia tidak terburu-buru, namun apa daya semuanya sudah terjadi. "Apa Kakak menyesal jika Syilla hamil anak Kakak, dalam waktu tak terduga." celetuk Syilla dengan mata berkaca-kaca, Izzuddin sempat terkejut ketika istrinya tiba-tiba berucap seperti itu. 'Astaga, wanita ini kebiasaan muncul tiba-tiba.'
"Mommy... Daddy..." teriak bayi laki-laki tiba-tiba menyeru, ketika Izzuddin akan menjahili Arsyilla habis-habisan didalam Paviliun sisi lainnya, lagi pula siapa yang berani memasuki ruangan tungku api pribadinya. Izzuddin yang melihat putra kesayangannya itu muncul tiba-tiba dalam gendongan Opanya hanya bisa menatapnya dingin, mungkin lelaki itu sedikit kesal ketika ia akan membuat istrinya ketakutan beralih perhatiannya langsung mengarah pada putra kecilnya. 'Pengganggu.' Desisnya dalam hati sambil melirik sinis ke arah Mr. Huang Fu. Tak hanya itu, Kun juga merasakan sosok lain Darren itu tampak kesal padanya, diam-diam pria paruh baya itu tersenyum mengejek seolah terkata. 'Rasakan pembalasan, Baba. Karena kamu sudah membuat cucu Baba ini seganas dirimu.' "Darrell, anak Mommy.." Pekik wanita itu dengan tatapan berbinar-binar ketika melihat putra semata wayangnya kembali dalam keadaan baik-baik saja. "Opa.. uyun-uyun.." pinta Darrell seperti
"Syilla ambil Bilal dulu." Tanpa menunggu jawaban Izzuddin, wanita itu langsung keluar dari mobil meninggalkan sang suami disana. Mengabaikan Izzuddin yang menatap tubuh mungilnya itu keluar dari mobil bahkan tanpa melihat untuk sekedar tersenyum pada suaminya sedikitpun. Sepertinya, perempuan itu tersinggung dengan ucapan suaminya barusan, bahkan-- Izzuddin menyadari sendiri jika selama ini Syilla tak pernah membahas tentang Ayah kandungnya, bisa dikatakan jika Arsyilla tidak mau berurusan dengan keluarga mendiang Ayahnya itu. "Arsyi, seharusnya kamu bisa memaafkan Ayah. Ya Allah, apakah suatu hari nanti aku bisa dengan mudah menerima permintaan maaf dari Ibu anak-anakku itu?" Guman Izzuddin frustasi, mengingat istrinya itu keras kepala dan tidak mudah memaafkan tanpa alasan yang kuat. Syilla berjalan agak cepat memasuki Paviliun milik Darren, belum sampai masuk sudah ada suara pria paruh baya yang memanggilnya dengan nama China. "Xiao fu--"
"Apa kamu mengijinkan, jika aku melakukan hal yang sama seperti yang Darren lakukan padamu dulu. Apakah kamu rela?" "M-maksud, Kakak--" "Aku hanya minta izin memisahkan kembar dari Mommy nya, jika mereka nanti lahir." sela Izzuddin tenang, setenang air danau dibawah pantulan matahari, tetapi terasa panas juga nyeri dihati Syilla ketika dengan tenang Izzuddin meminta izin akan memisahkan ia dengan bayi-bayi tak berdosa dari Ibunya setelah lahir. "K-kakak ingin membunuh Syilla sekarang, silahkan. Tapi, tolong jangan pisahkan Syilla dari anak-anak Syilla, Syilla tak ingin berpura-pura kuat lagi, sudah cukup Darren membuat Syilla tampak seperti boneka. Syilla mohon, Kak! Tolong-- tolong jangan lakukan ini--" Refleks lelaki itu memeluk tubuh mungil yang tampak bergetar hebat di sampingnya, Izzuddin tampak berkali-kali menciumi puncak kepala sang istri setelah menepikan mobilnya ditepi jalan. Sempat hanya ingin bercanda, namun ternyata hormon emosional wani
'Aborsi!!' "APA??" Teriak wanita itu terkejut bukan main. Izzuddin sontak membuang muka seolah menahan diri untuk tidak tertawa ketika menyaksikan mimik wajah terkejut Syilla, bahkan wanita itu sontak menatapnya sambil memeluk perutnya takut-takut. "Kakak nggak bercanda, kan?" "Ngapain juga bercanda." Jawabnya seserius mungkin sambil mengulum bibirnya agar tawanya tak meledak saat ini juga. "Jadi-- Kakak menjemput Syilla hanya untuk membunuh bayi kita, begitu?" "Yeah.. semacam itu." Jawab lelaki itu santai. Seketika perempuan itu tak beraksi apapun, Syilla langsung duduk meringkuk dekat pintu seolah menjauhi suaminya. Perempuan itu menunduk sambil memeluk perutnya, Syilla masih tidak menyangka jika suaminya itu akan menghilangkan nyawa calon bayinya sendiri-- sejenak memejam kedua matanya seketika perempuan itu melirik Izzuddin dengan lirikan tajam. "Berhenti melirik Kakak seperti--" "Diam." Titah Syilla mutlak,