Sambil menunggunya siap dengan gosok giginya, aku duduk santai sambil menyender di kepala ranjang. Mengambil bantal dan meletakkannya di atas pahaku.
Aku sedikit menengadah, menatap lurus melihat jam yang tertempel di dinding. Jam sembilan lewat. Ini belum jadwalnya aku untuk tidur, masih terlalu cepat.
Satu-satunya alasan kenapa aku sudah stan bye di tempat tidur, karena dia mengingat ucapanku tadi sebelum makan. Ada suatu hal yang ingin sekali di omongin olehnya. Jadi ya beginilah akhirnya.
Aku mencoba menenangkan diri agar tidak syok dengan yang akan di katakan olehnya nanti. Eh tunggu!
Mungkin saja dia mau membahas soal pernikahan kami yang berjalan sangat buruk ini. Hahhahaa, aku akan sangat bersyukur kalau dia mengajakku untuk mengangkhiri hubungan ini. Karena sepertinya dia sangat tidak suka melihatku dekat dengannya, hanya mengajaknya bicara saja dia menatapku penuh dengan tatapan tajam yang menusuk.
Walaupun aku sem
Aku duduk sambil mengaduk-aduk makanan yang jadi sarapan pagiku ini. Ku gigit bibir bawahku, upaya menghilangkan rasa grogi yang sedari tadi datang menyerbu. Gara-gara perlakuan anehnya tadi malam, aku jadi terus-terusan berfikiran yang aneh mengenai dirinya.Perlahan ku dongakkan kepalaku dan melihat ke arah depan, tepat di mana Om Aska tengah duduk sambil menyantap sarapan paginya. Sesekali dia bergumam pelan menikmati masakan yang di buat oleh Bi Inah tadi.Sepertinya suasana hatinya tengah bahagia, bisa di lihat dari ujung bibirnya yang tertarik ke atas beberapa kali. Ah, dia tampak sangat imut kalau begitu. Tapi, bisa tidak dia menyingkirkan janggutnya yang mulai tampak memanjang itu. Dia jadi benar-benar tampak seperti orang yang sudah tua.Dia menghentikan aktifitasnya lalu melihat ke arahku. Ya Tuhan, dia tahu tidak ya kalau sedari tadi aku terus memperhatikannya.Aku segera menunduk kembali, rasanya aku malu sekali. Wajahku terasa mem
"Non mau kemana?" tanya Bi Inah begitu melihatku melewati yang tengah membersihkan ruang TV.Aku berhenti dan menoleh pada Bi Inah, tidak lupa tersenyum manis. "Mau keluar bentar bareng temen bi," jawabku."Ooooo." Bi Inah mengangguk. "Hati-hati ya no!""Iya Bi." Aku baru saja akan duduk di di sofa dekat ruang tamu, tiba-tiba saja HP ku berdeing. Ada panggilan masuk lagi.Setelah ku lihat ternyata itu dari Dion. "Dion, udah sampe mana?" tanyaku begitu panggilan tersambung."Yara, maaf banget ya!" ucapnya tiba-tiba. Aku mengerutkan dahiku, tidak mengerti maksudnya kenapa tiba-tiba meminta maaf padaku."Maaf untuk apa?" tanyaku yang memang sudah penasaran."Kita gak bisa jadi jalan, aku tiba-tiba aja ada acara keluarga di kampung," jawabnya pelan, takut membuatku marah mungkin.Aku menghela nafas pelan, aku menunduk sedikit, padahal aku sudah rapi-rapi begini. Yah, gak jadi pergi."Yaudah gak apa, lain ka
Aku bersandar pada tubuh Ayana yang sedang tidur tengkurap, menjadikan pinggangnya sebagai sandaran kepalaku. Sudah hampir kurang lebih setengah jam kami dalam posisi seperti ini.Aku melirik singkat padanya, dia tampak sedang fokus menonton film kesukaannya di laptop milikku. "Kamu gak pegel apa Ya aku kayak gini dari tadi?" tanyaku kemudian.Dia menge pause film yang sedang ia tonton lalu mengangkat sedikit kepalanya, menatap susah ke arahku. "Enggak, udah sering juga kayak gini," jawabnya kemudian sudah kembali fokus dengan filmnya. Menjadikan tangannya sebagai sandaran dagu nya agar tidak langsung terkena ke lantai."Sering gimana maksudnya?" tanyaku lagi, banyak tanya banget ya aku. Bosen sih, dia juga gak bisa di ajak ngomong karena sibuk dengan hiburannya sendiri."Bang Aska juga sering gini ke aku waktu di rumah dulu," ujarnya tanpa meboleh kepadaku lagi.Aku diam sebentar, memahami maksud dari kata yang keluar dari mulut
Suasana makan malam yang biasanya hanya sunyi di tambah senyap, karena memang Om Aska yang jarang pulang cepat dari kantornya kini menjadi riuh. Siapa lagi penyebab ke hebohan ini kalau bukan adik dari Om Aska, Ayana.Dari awal makan sampai selesai, dia tidak henti-hentinya mengoceh. Ada saja yang di omonginnya. Ku pikir hanya aku orang yang tidak bisa diam dalam kondisi apapun, ternyata masih ada yang spesies denganku, tapi dia lebih jauh sedikit di atasku."Haduh kenyang banget," pekik Ayana sambil menepuk-nepuk perutnya. Bagaimana dia tidak kekenyangan sampai seperti itu, dia makan entah berapa piring tadi. Ku rasa lambungnya terbuat dari karet kali ya?Wajah manisnya tidak henti-hentinya menunjukkan senyuman lebar miliknya. Cih, andai saja Om Aska juga sering tersenyum seperti itu. Nyatanya itu hanyalah andai-andaian ku saja yang tidak akan mungkin jadi kenyataan."Besok-besok aku main lagi kemari deh, masakannya bi Inah lebih enak dari pada mas
Aku memalingkan wajahku ketika dia melihat ke arahku. Menyebalkan sekali rasanya melihat wajah datar tanpa dosa miliknya itu.Helaan nafas kasar yang keluar dari mulutnya terdengar sangat jelas. Bagaimana tidak, sekarang dia sudah berdiri sambil melipat tangan tepat di depanku."Aku sudah minta maaf padamu tadi. Jadi kau tidak ada hak terus-terusan marah padaku!" tuturnya dengan jelas dan cepat. Tidak lupa ada nada angkuh di sana.What? Bagaimana bisa dia berkata enteng seperti itu padaku. Sungguh manusia tak tahu diri.***Flash Back"Kau kenapa sangat suka mempermainkanku sih? Hiks." Aku tidak tahu hal apa yang mendorong ku sampai akhirnya aku tiba-tiba terisak seperti ini.Dia semakin menatap tajam padaku. "Apa maksudmu?" dia balik bertanya padaku."Kenapa kau bertingkah seolah-olah kita ini memang benar-benar pasangan suami istri? Kau tahu? Itu membuatku merasa sakit tahu?" tidak tahan dengan emosi ku, aku berte
Sedikit lagi, hanya butuh pergerakan pelan yang tidak berarti sudah kupastikan hidung kami bersentuhan. Membuat jantungku semakin bertabuh begitu kencangnya. Ini gila. Aku kembali merasakan perasaan aneh yang belakangan ini sering kali mengangguku. Mungkinkah aku jatuh cinta lagi?Glek.Rasanya begitu susah hanya untuk sekedar menelan ludah ku sendiri."Kau kenapa sih?" Aku bergerak mundur sebisaku. Membawa kakiku ikut naik ke atas ranjang, lalu meringsek ke belakang. Yeah, aku berhasil.Kekehan pelan yang keluar dari mulutnya seakan terdengar begitu nyaring di telingaku. Dia menertawaiku. Tidak ada yang lucu padahal.Dia berjalan memutar ke arah bagian tempat tidur lainnya, lalu tanpa berkata apapun dia menjatuhkan tubuhnya di sana. Dengan tangan dan kaki yag terentang lebar, menyerupai bintang laut."Hah aku senang sekali hari ini," jawabnya. Jawaban yang sangat tidak ada sangkut pautnya dengan pertanyaanku tadi. Aneh.
(Bab 28)Aku memutar-mutar singkat di depan cermin. Memastikan bahwa pakaian yang ku pakai benar-benar cocok untuk menyambut kedatangan kedua mertuaku yang akan segera datang ke sini.Setelah ku pastikan tidak ada cela sedikitpun di wajahku, akhirnya aku memutuskan untuk segera pergi dari kamar.Ku periksa lagi HP ku, melihat apakah ada balasan dari Om Aska. Nyatanya tidak ada. Dasar dia itu, sebenarnya dia ada niatan untuk pulang cepat dari kantor atau tidak sih?Ini kan orangtuanya, seharusnya dia yang menjamu mereka nanti.Hah, semoga saja tante Dela dan Om David datangnya agak lamaan.Aku berlari ke lantai bawah begitu mendengar suara bel di pencet. Sedikit tergesa-gesa karena suara belnya tidak mau berhenti.Mungkinkah itu tante Dela dan om David, aku sedikit meragukan tebakanku. Mana mungkin mereka bersikap kekanak-kanakan dengan tidak sabaran seperti itu.Aku sudah hampir sampai, bisa ku lih
(Bab 29)Helaan nafas keluar mulus dari mulut kami berdua. Aku dan dia melangkah pelan menuju ruang tamu, tempat dimana tante Dela dan om Devan sudah duduk rapi di sana. Mereka duduk membelakangi kami. Jadi kurasa mereka tidak sadar atas kedatangan kami yang menyusul mereka."Hey!" bisik Om Aska pelan tepat di telingaku.Aku menoleh padanya, memasang wajah jengkel. Bagaimana tidak, tangannya yang nakal ini masih bertengger manis di pinggangku, tanpa seizinku lagi."Apa?" tanyaku pelan.Dia menghentikan langkahnya, membuat langkahku juga ikut terhenti. Lalu menatap tajam padaku. "Jangan tunjukan sikap tidak tahu malumu itu di depan orang tuaku. Dan lagi jangan memanggilku dengan panggilan yang terdengar tua itu!" titahnya.Mulutku menganga lebar, memberikan efek aneh pada wajahku. Sungguh aku tidak habis pikir dengannya. Ya, mungkin aku akan setuju dengan permintaan agar aku bersikap seolah-olah aku ini memanglah istri cantik nan baik h
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m
Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat beberapa menit dan matahari baru saja benar-benar lenyap dari langit. Aku menutup jendela kamar, menguncinya lalu turun ke lantai bawah. Merasa bosan karena tidak ada orang yang bisa di ajak bicara aku berencana menemui Bi Inah yang sekarang entah di mana ke beradaannya.Padahal aku sudah mencarinya di mana-mana termasuk di dapur dan di halaman belakang biasa tempat aku dan Bi Inah mengobrol bareng. Tapi tidak ada. Mmm. Di kamar mungkin kali ya?Aku menyegerakan diri menuju kamarnya, dan langsung mengetuk pintu. "Bi!" panggilku sedikit kuat sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Lama tidak ada jawaban, akhirnya Bi Inah keluar setelah panggilanku yang ke sekian kalinya dengan wajah sedikit merasa bersalah. "Maaf ya non, saya tadi gak denger soalnya lagi telponan sama anak saya di rumah," ujarnya sambil menundukkan kepalanya. Aku yang melihatnya jadi tidak enak. "Ah bibik, biasa aja kali gak usah ngerasa bersalah gitu! Kayak sama siapa aja." Ak
Aku mengetuk-ngetuk pelan mejaku, menunggu giliranku untuk memperkenalkan diri. Gak perlu pakai perkenalan aku yakin nanti juga bakalan kenal, mana ni kelas ramai lagi. Buat jantung deg-deg an aja.Dion menyenggolku pelan saat tiba giliranku. Aku langsung berdiri dan menyebutkan nama, alamat, asal sekolah dan hal-hal lainnya yang sering di tanyakan saat perkenalan diri.Sedikit gugup sih, karena wajah-wajah orang di sekitarku lumayan menyeramkan sih menurutku. Bukan, mereka bukan buruk rupa, tapi beberapa di antaranya menunjukkan wajah dingin dan masam. Hah, sepertinya mereka punya beban yang lebih berat daripada yang aku tanggung.Aku duduk kembali setelah siap memperkenalkan diri. Dan di lanjutkan oleh Fanie yang duduk di samping kananku. Jadi posisinya aku ada ditengah-tengah Dion dan Fanie. Mereka ini tadi sempat berebut aku akan duduk di samping siapa. Karena gak mau jadi bahan perbincangan orang-orang karena ini masih hari pertama masuk kuliah aku memutuskan untuk duduk di antar
"Yaraaa!" teriakan kuat bin heboh langsung menerjang indra pendengarku dengan begitu lantangnya. Aku memutar cepat ke arah belakang dan mendapati Emma yang tengah berlari tergopoh-gopoh ke arahku. Tidak lupa dengan senyuman aneh di wajahnya yang sudah lumayan lama tidak ku lihat lagi. Tak kalah hebohnya aku juga ikut-ikutan berlari cepat ke arah Emma samb merrntangkan tanganku. Bersiap-siap memeluknya, padahal antara jarakku dan dia masih terbilang tidak dekat. "Aaaaa," kami semakin teriak kayak orang ke surupan begitu saling berpelukan. "Kangen ah aku sama kamu, kalau gak di chat luan pasti gak bakalan chat," celutuknya di sela pelukan kami. Ah, rasanya dia seperti tidak bertemu berabad-abad dengan ku, terasa dengan begitu jelas dari pelukan eratnya. Ah, anak ini lebay banget sih. Pelukan kami terlepas saat Nadia dengan paksa melepasnya. Dengan wajah di tekuk dia ngomel. "Malu-maluin banget sih kalian! Di lihatin orang-orang tahu." Aku dan Emma yang cengengesan menanggapinya.