"Zah, Mas ingin minta izin.""Apa itu, Mas?" tanya Azizah yang tengah sarapan. Rayyan bingung bagaimana cara mengatakannya agar Azizah tidak salah paham.Azizah menikmati bubur ayamnya sembari menunggu apa yang akan dikatakan Rayyan. "T-tadi Mas Rayhan nelpon.""Hm.""Katanya mereka ingin ke sini.""Lalu?"Rayyan kembali terdiam. Keringat dingin mulai bermunculan dari pori-pori wajahnya. Azisha menyadari perubahan sikap suaminya. Dia mengehntikan saraoan dan menatap suaminya yang semakin salah tingkah. "Masalahnya di mana, Mas? Ini kan rumahnya. Kenapa Mas sepanik itu?""Eum, Rayhan memintaku untuk menjemput mereka."Alis Azizah menyatu. Dia tidak mengerti arah pembicaraan suaminya. "Mobil mereka rusak?" tebak Azizah. Rayyan menggeleng. "Lalu?""Rayhan ada kegiatan hari ini dan Mas diminta tolongi untuk menjemput anak istrinya."Selera makan Azizah hilang seketika. Tubuhnya disandarkan pada badan kursi. Matanya menatap lurus Rayyan. Rayyan sudah bisa menebak apa yang akan terj
"Apa kamu masih mencintai, Rayyan?"Mata Sofia membulat sempurna. Dia tidak menyangka Azizah akan melontarkan pertanyaan itu padanya. Azizah menunggu jawaban itu dengan perasaan yang tak tenang. Lama Sofia terdiam, kemudian dia tersenyum. "Bagaimana mungkin aku masih mencintai Rayyan sedangkan hanya Rayhan yang kucintai selama ini?"Azizah terdiam akan tetapi dia belum puas. Dia kembali menatap mata Sofia. "Aku harus meyakinkan kamu berapa kali lagi, Azizah? Orang yang selama ini yang aku cintai itu Mas Rayhan."Ketulusan Sofia membuat Azizah kembali meyakinkan diri. Sofia memeluk tubuh Azizah. Tangannya mengelus lembut punggung Azizah. "Maafkan aku, Sofia. Aku selalu salah sangka padamu.""Tidak apa. Asal kamu sufah paham saat ini."Rayyan yang baru saja menemani Fatih. Matamya menangkap bagaimana Azizah dan Sofia kini saling merangkul satu sama lain. Fatih melepas genggaman tangannya pada jari telunjuk Rayyan. Dia kemudian berlari mendekati Sofia. "Ummah!" Keduanya melepas p
"Zah, kamu sendiri yang menyakiti dirimu sendiri bukan aku. Kamu yang selalu membuat dirimu sakit."Azizah tersentak mendengar ucapan Rayyan. Dia tidak menyangka Rayyan akan mengatakan itu. "Justru Mas yang menyakiti aku dengan memuji dia.""Dek, jangan terlalu berlebihan. Apa salahnya mengucapkan terima kasih pada orang yang menolong kita?""Tapi dia masa lalumu, Mas."Rayyan mengusap wajahnya kasar. Baginya Azizah saat ini terlalu berlebihan. Rayyan memilih duduk berusaha memahami kecemburuan Azizah. "Maaf. Aku minta maaf kalau aku ada salah."Azizah bergeming. Dia merasa belum puas saat ini. Bukan ini yang diharapkan oleh Azizah. "Aku enggak ada maksud buat bandingkan kalian. Cuma aku mengapresiasi sebagai tanda terima kasihnya aku.""Bayangkan kalau nggak ada Sofia. Aku belum terlatih, Zah. Tolong hargai proses aku.""Lalu perasaan aku, bagaimana, Mas?"Rayyan mengembuskan napas kasar. "Tolong, kali ini saja. Jangan berlebihan."Rayyan meninggalkan Azizah yang menangis tersedu
"Bagaimana keadaan Abah saya, Dok?" tanya Ustaz Luthfi pada dokter Haris. Saat ini Kiyai Jalal ditempatkan di ruang ICU karena terjadi penurunan kesadaran secara drastis yang menyebabkan dia harus menjalani perawatan intensive di rumah sakit.Dokter Haris berusaha menyampaikan secara pelan seperti pada umumnya. Tujuannya agar keluarga pasien tidak merasa syok dan bisa menerima semuanya dengan baik. "Saat ini Pak Kiyai mengalami penurunan curah jantung, irama jantungnya tidak beraturan, juga terjadi kelumpuhan pada otak sehingga terjadi kelumpuhan pada anggota gerak.""Astgafirullah," lirih mereka.Ketiga putra dan putri Kiyai Jalal menunduk lesu. Tubuh mereka seolah tidak kuat lagi untuk berdiri. Ibu Hanifah sebagai putri sulung syok. Tubuhnya meluruh ke lantai. Ibu Hanifa menangis tersedu, dadanya terasa sesak dan nyeri yang luar biasa. Ustaz Luthfi mengangkat tubuh adiknya untuk duduk di kursi. Tangannya mengelus bahunadiknya memberi kekuatan. "Apa .... Abah saya bisa kembali, D
"Jangan terlalu kecapean, Zah. Ingat bayimu," pesan Umi Aisyah pada Azizah.Saat ini mereka tengah mempersiapkan tahlilan malam ke tujuh Kiyai Jalal. Azizah yang sedang membantu para santri di dapur untuk persiapan nanti malam tersnyum pada ibu mertuanya. "Iya, Ummi. Aku nggak enak hanya duduk-duduk tanpa membantu," ucapnya sambil mengangkat tumpukan sayur yang baru saja selesai dia cuci. "Tapi, kondisi saat ini rawan untuk keguguran, Zah.""Iya, Zah. Kamu istirahat saja. Biar Mbak yang ada di sini. Kamu dari pagi loh di sini. Ini sudah jam empat sore.""Tak apa, Mbak. Insya Allah semua baik-baik saja."Sofia dan Ummi Aisyah saling melempar pandangan. Mereka memilih berhenti dan berharap semoga semuanya baik-baik saja.Azizah terus bekerja. Dia hanya malu jika hanya duduk, ingat bahwa dirinya dulu seorang santri yang menyambi membantu keluarga Kiyai. **Waktu terus berlalu hingga acara pun selesai. Saat orang lain memilih istirahat, Azizah masih sibuk di bagian dapur. Berulang ka
"Mas!" teriak Azizah. Saat ini Rayyan masih berada di mesjid. Kajian subuh rutinan yang dibawakan langsung oleh Ustaz Luthfi. "Mas ...."Butir keringat mulai membasahi wajahnya. Azizah kesakitan luar biasa. Wajahnya tampak pucat. Perutnyaa terasa keram. Azizah menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang luar biasa hebatnya. Wajahnya meringis kesakitan. "Tolong ...."Sofia yang baru saja pulang dari mesjid lebih awal karena Fatih terus merengek berhenti dejenak saat mendengar samar-samar suara rintihan dari kamar mandi. Sofia mendekat ke arah kamar mandi yang ada di dekat dapur, suara itu semakin terdengar jelas. "Tolong.""Azizah?"Sofia segera mendekat dan mengetuk pintu dari luar. "Zah, buka pintunya!"Azizah berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Sayangnya, tubuhnya teelalu lemah untuk sekedar membuka pintu kamar mandi. Sofia panik. Sebisa mungkin dia mencari cara agar bisa menyelamatkan Azizah. "Zah, apa kamu mendengarku?" tanya Sofia dengan menempelkan telinga ke daun pin
"Mas."Rayyan terkesiap. Jantungnya berdetak kencang. Dia bingung bagaimana cara untuk menjelaskan pada Azizah.Rayyan menggenggam tangan istrinya seraya tersenyum hangat. Saat ini mereka tengah berada di ruangan VVIP. "Kata dokter kamu harus banyak istirahat dan makan. Kamu ingin sembuh kan?" Azizah mengangguk. "Kalau ingin cepat sembuh, kamu harus banyak istirahat dan makan. Biar tenaga kamu pulih kembali.""Anak kita juga kan?"Rayyan terdiam. Otaknya mulai berpikir keras. "Jawab, Mas, anak kita di mana?" desak Azizah. Sofia dan Ummi Aisyah saling memeluk menahan tangis agar tak terlihat oleh Azizah. Azizah mengelus perutnya. Air matanya jatuh. "Nak, kamu baik-baik saja kan? Perasaan ibu .... Berbeda, Nak.""Azizah, tenanglah.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas. Anak kita baik-baik saja kan?"Rayyan menoleh pada keluarganya meminta jawaban serta persetujuan. Mereka kompak mengangguk. Bagi mereka, cepat atau lembat, semua akan terungkap. Rayyan mencium punggung tangan
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Kamu di mana, Nak? Abi ingin bicara penting.""Lagi di mesjid, Bi. Humairah segera ke sana."Humairah menyeka air matanya setelah panggilan terputus. Baru saja ingin mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki yang berdiri di sampingnya menghilang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari sosok tadi untuk mengembalikan sisa tisu yang dipakainya, namun orangnya tak kunjung ada. Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Humairah memutuskan untuk meninggalkan area mesjid untuk menemui orang tuanya. "Ya Allah, kuatkan hamba."***"Kamu dari mana saja, Mai? Keluarga Ustaz Hilal datang bertamu.""Aku .... Berkunjung ke rumah Rayhan, Bi."Ustaz Hasan mengembuskan napas berat. Usianya sudah kepala tiga namun sampai saat ini putrinya masih menutup diri. Alasannya tetap sama. Masih belum bisa melupakan sosok Rayhan. "Sampai kapan kamu akan terus berharap pada dia, Nak? Ingat, umi sama abi sudah tua. Kami juga ingin melihat kamu bahagia dan hidup bersama dengan orang yang tepat.""Tapi, ti
"Ya, aku sudah menemukan jawabannya tanpa perlu mencari tahu. Mba lupa? wanita baik-baik tidak akan menyakiti sesama wanita. Wanita baik-baik itu berkelas, bukan merendahkan dirinya untuk merebut lelaki yang sudah beristri!"Sebuah tamparan keras dilontarkan Sofia pada Humairah yang sontak membuat mereka tercengang. Bagaimana tidak, mereka tidak menyangka Sofia akan mengatakan hal itu.Azizah tersenyum sumringah. Di dalam hatinya dia bersorak dan memuji keberanian Sofia."Justru aku wanita baik-baik, makanya aku pun memintanya baik-baik," sanggah Humairah. "Aku tidak akan memintamu untuk merasakan posisiku saat ini. Tapi, sebagai wanita cerdas lulusan universitas ternama dunia, tentu Mbak Humairah sudah tahu jawabannya tanpa harus berada di posisiku."Lagi dan lagi Sofia menekan posisi Humairah saat ini. "Lagi pula, aku tidak yakin, Mbak Humairah bisa ada di posisiku. Jadi, pintu ada sebelah sana. Silahkan, Mbak!"Humairah geram dengan sikap Sofia. Secara tidak langsung dia telah m
"Eum, itu bagi Rayhan tapi bagiku, kami lebih dari teman," jawabnya seraya mengukir senyum."Jangan memancing keadaan, Humairah. Nyatanya kita hanya teman biasa," tegur Farhan yang tiba-tiba muncul dari aeah belakang."Ada perlu apa ke sini?" tanya Rayhan."Aku ingin ketemu kamu," jawab Humairah santai. Rayhan mendengus kesal. Sofia dan Azizah sama-sama menyimak pembicaraan mereka. Keduanya sama-sama tidak suka dengan kehadiran Humairah. Farhan yang mengerti suasana hati Sofia merasa tidak enak dengan situasi yang terjadi saat ini. "Humairah, memang dulu kita berteman, tapi kamu harus tahu batasan.""Batasan?"Farhan menyenggol lengan Rayhan. Dia memberi kode untuk peka dengan raut wajah istrinya. Rayhan menangkap maksud dari Farhan. Dia kemudian merangkul Sofia dengan hangat. "Oh iya, aku sampai lupa. Ini istriku, namanya Sofia."Humairah terpaku sejenak melihat sosok wanita cantik yang ada di depannya. Di dalam hatinya dia merasa kalah. Pantas saja Rayhan dulu menolak mentah-m
"Azizah, bangun, Nak. Hari sudah sore.""Maaf, Nek, aku ketiduran.""Tidak apa-apa. Adzan Ashar sudah dikumandangkan. Segeralah shalat!""Baik, Nek."Azizah kemudian pamit untuk melaksanakan empat rakaat sebentar. Dia kemudian berjalan menuju ke ruang belakang. Sofia yang sedang membersihkan dapur bersama beberapa santri menghampiri Azizah. "Baru bangun, Za?""Iya, Mbak. Dibangunkan sama nenek.""Oh iya, Mbak, aku ingin shalat di sini. Rasanya aneh kalau meninggalkan nenek begitu saja."Sofia tersenyum kemudian menunjukkan di mana dia harus mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai berwudhu, Sofia menyerahkan mukenah dan sajadah miliknya kemudian menyusul Nyai Zikra."Nek, sudah shalat?" tanya Sofia sembari merapikan selimut Nyai Zikra. "Sudah."Entah kenapa Sofia merasa suara Nyai Zikra semakin melemah. Tatapan matanya juga semakin redup. Hatinya mulai gelisah. "Sofia, tolong panggilkan Mertua dan suamimu, Nak."Tanpa berpikir panjang lagi, Sofia segera
"Alhamdulillah, Allah kembali mempercayakan kalian untuk menjaga amanah-Nya.""Iya, Nek. Insya Allah, Sofia akan menjaga titipan-Nya dengan baik."Nyai Zikra dan Sofia sedang duduk bersama. Saat ini kondisi Nyai Zikra juga semakin menurun. Semenjak kematian Kiyai Jalal, Sofia dan Rayhan memilih tinggal bersama Nyai Zikra. Mereka tidak ingin Nyai Zikra merasa sendiri. "Bagaimana kondisi kamu hari ini?""Hanya sering mual dan muntah, Nek.""Masya Allah, kamu tidak boleh mengeluh ya. Di balik senua itu pahala terus mengalir.""Insya Allah, Nek."Sofia terus memijit kaki Nyai Zikra-neneknya-. Sofia memang sangat menyayanginya dan begitu pun sebaliknya. Terlebih Sofia lebih dekat dengannya dibanding Azizah.Sofia sejak dulu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nyai Zikra. Tentu saja itu membuat Nyai Zikra merasa senang karena kehadiran Sofia menghilangkan sepi. "Bagiamana dengan Azizah?"Sofia terdiam. Tentu saja dia merasa bingung harus menjawab seperti apa. "Apa dia sudah hamil?"
Satu tahun berlalu ....."Mas, aku ada kejutan," bisik Sofia di telinga Rayhan.Rayhan yang mempersiapkan diri menuju kelas untuk mengajar berhenti sejenak dari aktivitasnya. Sofia tersenyum melihat kebingungan Rayhan."Apa, Sayang?""Coba Mas tebak!" ucapnya dengan senyum merekah."Eum, Ayah dan Bunda mau datang?" tebak Rayhan. Sofia menggeleng. "Fatih sebentar lagi masuk sekolah TK?" Lagi lagi Sofia menggeleng."Mas nyerah, Dek."Sofia menyerahkan benda yang sejak tadi sengaja disembunyikan di belakangnya. Alis Rayhan mengerut. Namun, saat dia mengetahui alat itu, jantungnya berdetak dengan cepat. Dua garis merah tampak nyata di depan matanya. Tangannya gemetar."Ini .... Serius?" Sofia mengangguk. "Alhamdulillah ...."Tubuhnya melutuh ke lantai dan sujud syukur atas apa yang telah dihadiahkan Tuhan padanya. Bahunya bergetar. Isak tangis mulai terdengar. Lisannya tak berhenti mengucapkan rasa syukur yang tidak terkira.Sofia ikut duduk di samping Rayhan sembari mengelus punggu