Esok harinya, Arlan bergegas ke mobilnya dengan buru-buru karena terlambat bangun. Dia lupa untuk menyetel alarm di jamnya, alhasil dia hanya mandi dan langsung berangkat ke kantor tanpa sarapan.
“Argh, terlambat bangun lagi! Masih ada setengah jam lagi sebelum meeting dimulai,” gumam Arlan dengan perasaan gelisahnya. “Semoga jalanan pagi ini lancar tanpa hambatan.”
Seperti yang Arlan harapkan, jalanan pagi itu sangat lancar tanpa hambatan sedikit pun. Arlan melihat jam tangannya, pukul 08.54 waktu pagi. Arlan bergegas keluar dari mobil dan masuk ke kantornya dengan langkah panjang.
Para karyawan pun sontak menghentikan aktivitasnya sekejap untuk menyapa Arlan. Mereka membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.
“Selamat pagi, Pak,” sapa mereka secara bergantian.
Meskipun para karyawan sudah bersikap baik padanya tetapi, Arlan tetap terlihat tidak peduli sama sekali. Tidak ada satu sapaan pun dari mereka yang Arlan jawab. Meskipun begitu, para karyawan tidak terlihat kesal sedikit pun, mungkin karena mereka sudah terlatih.
“Selamat pagi, Pak Arlan, syukurlah Pak Arlan sudah datang,” ujar seorang Karyawan dengan perasaan leganya. Arlan masih memasang raut datarnya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh sang karyawan. “Para klien sudah menunggu Bapak di ruang meeting.”
“Oke, saya akan segera menemui mereka,” balas Arlan.
Sang karyawan pun refleks mengagguk. “Kalau begitu, saya permisi, Pak,” ucapnya, kemudian pergi untuk kembali ke meja kerjanya.
Tanpa mengucap terima kasih, Arlan segera pergi menuju ruang meeting seperti yang sang karyawan tadi katakan. Setelah pintu ruang meeting dibuka, benar saja, para klien sudah menunggunya di tempat masing-masing.
Namun, tiba-tiba saja tubuhnya seakan kaku setelah melihat seseorang yang menurutnya tidak diundang justru ikut datang. Arlan mengembuskan napasnya pelan dan kembali tenang agar tetap bisa bersikap profesional.
“Pagi, Pak Arlan,” sapa Wily---manajer Semesta Company---dengan senyum hangatnya.
Mendengar sapaan dari Wily, wajah Arlan sedikit berubah. Dia menunjukkan senyumnya dan bersikap sangat ramah terhadap para kliennya. Arlan berjabat tangan dengan para kliennya secara bergantian dan ikut duduk di tempatnya.
“Maaf, saya sedikit terlambat untuk datang,” ucap Arlan dengan nada menyesal.
“Tidak apa, sesuai janjian, meeting dimulai pukul sembilan. Kaminya saja yang datang terlalu cepat,” jawab Wily sembari terkekeh kecil di akhir kalimatnya. “Untungnya ada sekretaris baru Pak Arlan yang menyambut kami dengan sangat baik. Dia juga mudah untuk diajak ngobrol sembari menunggu Pak Arlan datang, jadi kami tidak merasa bosan sedikit pun.”
Mendengar ucapan Wily, Arlan sontak menoleh ke seseorang yang disebut sekretaris baru tadi secara sekilas, kemudian tersenyum. “Ah, benar, Pak Wily. Untuk saat ini, dia ini memang sekretaris baru saya. Perkenalkan, namanya Shena.”
Benar. Sekretaris baru sekaligus orang yang berhasil membuatnya membeku tadi adalah Shena. Shena menunjukkan senyum simpulnya dan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. “Saya Shena, sekretaris baru di Mazkuel Company ini. Mohon bantuannya.”
Para klien pun ikut memberi salam untuk Shena, mereka membungkukkan badannya untuk sama-sama memberi hormat. Mereka melakukannya kembali meskipun di awal pertemuan, Shena sudah memperkenalkan dirinya.
“Baik, kalau begitu ... kita mulaikan saja meeting-nya sekarang, ya.” Anggukan serempak dari para klien membuat Arlan memulaikan penjelasannya. Namun, di tengah-tengah penjelasannya, suara perut Arlan yang belum diisi tiba-tiba saja berbunyi hingga membuat yang lain menatapnya dengan heran. “Ah, maaf, saya akan lanjutkan.”
Krukk!
Lagi-lagi suara itu kembali datang. Arlan mengembuskan napasnya sedikit kesal seraya menutup mata karena malu.
“Maaf menyela, tolong izinkan saya untuk menggantikan Pak Arlan sebagai juru bicara,” ujar Shena. Karena keadaan yang sudah tidak terkendali, Arlan akhirnya menganggukkan kepalanya meskipun dia masih ragu. Namun, Arlan tetap memberikan materi di berkasnya kepada Shena. “Baik, saya mulaikan kembali penjelasannya. Jadi, ....”
Shena mulai menjelaskan materi yang diberikan oleh Arlan dengan pelan tetapi, jelas. Mendengar penjelasan dari Shena, Arlan hanya bisa menatapnya dengan diam seraya menahan perutnya agar tidak berbunyi kembali.
Dua jam telah berlalu, kedua belah pihak akhirnya saling berjabat tangan sebagai tanda bukti kerja sama mereka. Arlan dan Shena bergantian untuk berjabat tangan dengan para klien sebelum berpisah.
“Senang bisa bekerja sama dengan Pak Arlan,” ucap Wily, “materi yang dijelaskan pun benar-benar mudah dipahami. Bu Shena benar-benar berbakat, ya.”
“Terima kasih, Pak Wily. Kami senang bisa bekerja sama dengan Semesta Company. Terima kasih sudah memercayai perusahaan kami untuk mengambil proyek besar tersebut,” balas Shena seraya senyum sopan.
“Tentu,” jawab Wily, “baik, kami permisi, ya.”
“Oh, iya, Pak Wily, silakan. Terima kasih sudah mau bekerja sama dengan kami,” ucap Arlan.
Wily hanya tersenyum dan mengangguk sebagai responsnya. Para klien pun segera masuk ke mobilnya masing-masing dan pergi dari kantor Arlan.
Setelah kepergian para klien, wajah Arlan kembali datar seperti biasanya. Dia pergi begitu saja, meninggalkan Shena tanpa sepatah kata pun. Shena yang menyadari bahwa Arlan sudah pergi duluan pun segera mengejarnya dengan setengah berlari.
“Aku bawa dua bekal dari rumah,” ucap Shena. Arlan hanya melirik ke arahnya sekilas, lalu kembali fokus ke jalannya. “Mas Arlan belum makan, ‘kan? Aku kasih satunya buat Mas. Mas mau?”
Langkah Arlan tiba-tiba berhenti, membuat Shena pun ikut berhenti dan menatap Arlan dengan bingung.
“Kenapa kamu tetap datang ke sini?” Arlan menatap tajam mata Shena. “Sudah saya bilang, ‘kan? Saya tidak butuh sekretaris sepertimu.” Arlan sengaja menekan kalimat terakhir dari ucapannya.
Bukannya marah, Shena meresponsnya dengan tersenyum seperti biasa. “Setidaknya Mas Arlan butuh aku sebagai sekretaris untuk hari ini.”
Mendengar jawaban dari Shena, Arlan mengalihkan pandangannya dengan malas, lalu melenggang pergi kembali. Shena lagi-lagi tersenyum dan kembali mengikuti Arlan dari belakang dengan setengah berlari.
Di sepanjang jalan menuju ruang kerja Arlan, para karyawan kembali memberi hormat di sela aktivitas kerjanya. Bukan hanya menyapa Arlan, mereka juga menyapa Shena dengan ramah.
“Pagi Pak Arlan, Bu Shena,” sapa mereka bergantian.
Berbeda dengan Arlan yang tidak peduli sama sekali, Shena terus membungkukkan badannya berkali-kali seraya membalas sapaan mereka dengan ramah. Setelah melewati ruang kerja karyawan, mereka berjalan di lorong kecil yang tidak terlalu ramai orang lalu-lalang.
“Mas Arlan kenapa gak balas sapaan mereka?” tanya Shena. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Shena hanya bisa terus tersenyum. “Mas Arlan tau? Tadi itu aku benar-benar terkejut saat melihat Mas Arlan tersenyum untuk para klien. Bukan hanya itu, Mas Arlan juga bilang ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. Aku pikir Mas Arlan akan tetap ketus meskipun sama klien sekalipun,” lanjutnya seraya terkekeh kecil di akhir kalimatnya.
Langkah mereka berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Ya, itu adalah pintu ruang kerja Arlan. Melihat Arlan yang hanya terus diam dan tidak segera membuka pintunya pun membuat Shena bingung.
“Kenapa, Mas? Mas Arlan—”
“Stop it!” seru Arlan dengan nada tinggi yang mampu membuat Shena menghentikan ucapannya. Shena menatap Arlan dengan perasaan takutnya. “Jangan pernah panggil saya dengan sebutan ‘Mas Arlan’ lagi! Saya ini atasan kamu, jangan seenaknya memanggil saya dengan sebutan seolah kita sudah akrab. Mengerti?!”
Mendapat kalimat tegas dari Arlan membuat Shena hanya bisa mengangguk pasrah. “Aku mengerti. Maafkan saya, karena saya sudah lancang kepada Pak Arlan.”
Arlan tidak menjawabnya, dia segera membuka pintu ruang kerjanya dan langkahnya kembali terhenti ketika mendapat pelukan tiba-tiba dari seorang wanita yang muncul dari balik pintu.
“Arlan!” serunya. Wanita tersebut terus memeluk Arlan dengan erat. “Aku kangen banget sama kamu, loh.”
“Lepas!” suruh Arlan dengan nada dinginnya.
Mendengar nada dingin Arlan, wanita itu segera melepas pelukannya dan memasang raut cemberutnya. “Aku ini kangen banget, loh, sama kamu. Kenapa respons kamu begitu, sih?” tanyanya. Wanita itu melirik ke Shena sekilas. “Apa gara-gara perempuan itu? Kamu udah lupain aku dan jatuh cinta sama perempuan lain?”
“Salah. Ini tidak ada hubungannya dengan dia,” jawab Arlan masih dengan raut datarnya. “Mulai sekarang, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi selain atasan dan bawahan. Kamu mengerti, Dira?”
“Kok, gitu? Kamu jahat, Arlan. Emangnya apa bagusnya perempuan itu, sih?” Wanita yang dipanggil Dira tadi sontak menatap Shena dengan penuh intimidasi. “Siapa nama kamu? Dan apa divisi kamu di perusahaan ini?”
“Saya Shena, sekretaris baru di perusahaan ini. Mohon bantuan—”
“Oh, jadi, dia sekretaris baru yang mereka bilang tadi ...,” sahut Dira memotong ucapan Shena. “Sekarang kamu gak perlu jadi sekretaris lagi, karena sekretaris yang asli sudah kembali.”
Mendengar ucapan Dira sontak membuat Shena memasang wajah datarnya. “Tidak bisa, saya sudah ditugaskan oleh—”
“Benar. Sekarang kamu sudah tidak perlu menjadi sekretaris saya lagi,” sahut Arlan memotong ucapan Shena. Shena pun sontak memasang raut terkejut untuk Arlan. “Karena sekretaris saya sudah kembali, kamu bisa pergi dari sini. Atau ... kamu masih bisa bekerja di sini sebagai office girl.”
“Loh, tapi—“
“Office girl atau pergi, terserah apa pun yang kamu pilih, saya tidak peduli.” Arlan lagi-lagi memotong ucapan Shena dengan cepat, lalu segera masuk ke ruangan dan menutup pintunya, meninggalkan Shena yang masih berdiri diam di tempatnya.
Arlan duduk di kursi kerjanya, memejamkan matanya dan memijat pelan pangkal hidungnya untuk meredakan sakit kepala.
Dira masih terus memasang wajah kesalnya. “Perempuan itu siapa, sih? Berani-beraninya mau godain kamu, gak tau diri banget. Jijik, deh!”
“Perempuan yang tadi itu siapa, sih? Kamu kenal sama dia?” tanya Dira terus mendumel. Arlan pun tidak menggubrisnya. “Dari wajahnya ... kayaknya dia dari kampung, ya? Kayak ada norak-noraknya gitu.”Dira melirik ke arah Arlan dengan kesal karena tidak mendengarkannya sama sekali. Dia mengembuskan napasnya kasar dan berdecak kesal. “Arlan!”Seruan Dira yang cukup keras membuat Arlan menoleh ke arahnya, meskipun masih dengan raut malasnya. “Berisik,” balasnya dengan nada ketus.Mendapat ucapan ketus dari Arlan sontak membuat Dira memajukan sedikit bibirnya alias cemberut. Dira selalu melakukannya ketika sedang kesal atau bete dengan seseorang. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil.“Aku ini lagi ngomong sama kamu! Kenapa kamu malah cuekin aku terus, sih?!” geram Dira, “aku ini pacar kamu, loh! Hargai aku dong! Kamu, kok, jadi berubah banget gini sama aku? Ke mana perginya Arlan yang dulu perhatian banget sama aku?! Kamu jahat, Arlan!”Brak!Suara gebrakan meja yang cukup keras sonta
“Jangan hiraukan mereka. Ini perintah. Makanlah di sini saja!”Mendengar itu, Shena sontak terdiam sesaat, kemudian mengangguk. Dia kembali duduk di bangku yang sama dan mulai membuka bekalnya di samping Arlan.Mereka mulai memakan bekalnya masing-masing dengan lahap hingga suara Arlan membuat Shena menoleh kembali.“Ini masakanmu?” tanya Arlan tanpa menoleh ke arah Shena sedikit pun. Dia hanya terus menatap bekal miliknya dan menunggu jawaban dari Shena.Mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Arlan sontak membuat Shena terkejut untuk sesaat. Namun, sesaat kemudian, dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Itu memang masakanku. Apa Pak Arlan suka?”Arlan mengangkat bahunya seraya menjawab, “Setidaknya untuk sekarang saya bisa menghabiskannya.”Jawaban Arlan berhasil membuat senyum Shena terlihat lebih lebar dari sebelummnya. Dia menatap Arlan yang terus memakan masakannya dengan perasaan senang. “Syukurlah kalau begitu,” ucapnya, kemudian kembali memakan makanannya.Suasana begitu heni
Permintaan yang Shena tujukan untuk Arlan sontak membuat Arlan terdiam cukup lama. Namun, kemudian dia mengembuskan napas beratnya dan mengangguk pelan.“Saya tidak bisa menjelaskannya karena tidak tahu harus dimulai dari mana,” ucap Arlan, “jadi, hanya hari ini saja, saya bebaskan kamu untuk bertanya apa saja ke saya.”Shena menatap Arlan cukup lama, kemudian mengangguk. Dia mengembuskan napasnya panjang dan berkata, “Oke. Aku boleh tanyakan apa pun, ‘kan?”“Apa pun,” balas Arlan masih terus menunduk tanpa melirik ke Shena sedikit pun.“Sebenarnya ada hubungan apa di antara Mas Arlan dan Mbak Dira?”Pertanyaan Shena yang langsung merujuk ke sosok Dira sanggup membuat Arlan kembali terdiam. Namun, dia akhirnya menjawab juga. “Dua tahun yang lalu, dia adalah kekasih saya. Namun, semenjak dia menghilang satu tahun kemudian, saya sudah menyelesaikan hubungan saya dengannya.”
Besoknya, seperti yang Arlan inginkan, Shena membawa dua bekal di dalam tasnya. Dia menunggu kedatangan Arlan di depan kantor dengan satu kotak bekal di tangannya. Senyumnya mulai tampak ketika melihat sosok Arlan yang sudah turun dari mobilnya.Mata mereka saling bertemu untuk sekilas, lalu Arlan berjalan untuk masuk ke kantornya. Shena masih setia berdiri di tempatnya dan menunggu Arlan yang berjalan menghampirinya. Namun, senyum Shena seketika mengendur saat melihat sosok Dira yang lebih dulu menghampiri Arlan dan memberikan kotak bekal untuknya juga.Entah apa yang Dira katakan, Shena tidak mendengar apa pun karena jarak mereka yang cukup jauh. Namun, yang pasti, Arlan tidak membalas satu pun yang Dira katakan. Mata mereka kembali bertemu, Shena sedikit terkejut saat melihat Arlan melanjutkan langkahnya seraya menatap lurus ke arahnya.Sampai akhirnya Arlan berhenti tepat di depan Shena. “Untuk saya, ‘kan?” tanyanya seraya menatap ke arah k
Seperti biasanya, Shena kembali bangun pagi-pagi sekali karena harus membuat bekal untuk dirinya dan Arlan. Setelah masakan sudah jadi, Shena mengisi piringnya untuk sarapan. Lalu, mengisi dua kotak bekal untuknya dan Arlan.Selesai sarapan dan sebelum berangkat ke kantor, Shena menyelesaikan tugas rumahnya lebih dulu; menyapu, mengepel, cuci piring, dan menjemur pakaiannya. Setelah semuanya sudah selesai, Shena segera memesan ojek online lewat aplikasi di ponselnya.Shena mengunci pintu kosannya dan berjalan menghampiri tukang ojek tersebut, lalu ikut naik ke atas motor. Tidak lupa juga dia berpamitan kepada teman satu kosnya yang masih bersiap di depan pintu untuk bekerja ataupun berangkat ke kampus.“Duluan, ya, Semuanya,” pamit Shena. Setelah mendapat anggukan dari teman-teman kosnya, motor mulai melaju.Jalanan hari itu cukup padat, karena memang di pagi hari orang-orang banyak yang keluar untuk mencari rezeki ataupun menun
Kembali ke Shena, dia membereskan barang-barangnya sebelum pulang. Setelah selesai, dia segera keluar dan menunggu ojek yang telah dipesannya tadi. Setelah sampai, Shena langsung naik ke atas motor dan pulang ke kosannya.Shena bergegas untuk bersih-bersih kosannya sebelum pergi ke suatu tempat. Setelah bersih-bersih selesai, Shena pun segera mandi untuk membersihkan diri. Pukul 16.23 sore hari, Shena kembali keluar dari kosannya.Dia pergi dengan berjalan kaki. Sengaja dia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan ponselnya saja, karena hari itu tidak ada jadwal kelas untuknya. Ya, Shena telah memutuskan untuk menerima dan ikut latihan dengan anak teater. Sebenarnya dia belum sempat untuk menghubungi Sinta dan memberi kabar kalau dirinya akan datang.Namun, karena sudah terlanjur jalan, Shena akhirnya langsung pergi saja tanpa mengabari Sinta lebih dulu. Ya, anggap saja sebuah kejutan untuk anak teater.Shena berjalan memasuki area kampus dan pergi
Pukul 07.10 pagi hari, Arlan bergegas keluar dari rumahnya seraya membawa tas serut berisi kotak bekal milik Shena. Dia masuk ke dalam mobilnya, lalu segera pergi menuju kantor. Namun, jalanan ternyata sedang tidak bersahabat dengannya. Lalu lintas terhambat karena adanya sebuah insiden mobil mogok di tengah jalan. Arlan melihat jam tangannya, lalu berdecak kecil karena kesal. Pukul 07.52 waktu pagi, Arlan baru saja sampai di depan kantornya. Karena kemacetan yang terjadi di jalan, dia sampai lebih lama dari biasanya. Arlan memarkirkan mobilnya dan segera turun seraya membawa tas serut milik Shena di genggamannya, lalu berjalan menghampiri kantornya. Wajah Arlan seketika berubah saat tidak menemukan sosok Shena yang biasanya berdiri di depan seraya menunggunya. Arlan menghampiri seorang satpam yang menjaga di depan pintu kantor dan bertanya, “Bapak tahu perempuan yang biasanya berdiri di sana?” tanyanya seraya menunjuk ke tempat yang dia maksud. Satpam tersebut sontak mengangguk se
Di dalam Kafe depan kantor, Dira membawa Arlan pergi untuk membicarakan sesuatu seperti yang dikatakannya. Mereka memilih tempat yang berada di sudut hingga tidak akan ada orang lain yang mendengar obrolan mereka.“Katakan sekarang!” suruh Arlan seraya menyeruput minumannya.Dira mengembuskan napasnya pelan, lalu menatap Arlan dengan serius. “Jujur sama aku, sebenarnya kalian ada hubungan apa? Kenapa kamu kelihatan peduli banget sama perempuan itu?”“Penting banget saya jawab?”Mendapat respons kurang baik dari Arlan, Dira sontak berdecak kesal. Dia menyedot minumannya dengan cepat hingga hanya tersisa setengah gelas.“Aku minta sekali ini aja kamu jawab semua pertanyaan aku, bisa?” Arlan lagi-lagi mengalihkan pandangannya dan tidak menjawab pertanyaan Dira. “Arlan, aku mohon. Aku butuh banget kepastian dari kamu.”Arlan menoleh ke arah Dira dengan kening berkerutnya. “Kepasti
“Selamat malam, Semuanya,” sapa Agas dengan suara tegas, tetapi tetap terdengar lembut. Dia bersikap layaknya seorang pangeran sungguhan. “Selamat datang dalam acara pesta dansa istana kerajaan.”Adegan kembali berlanjut hingga akhirnya Shena kembali muncul dengan anggunnya. Para penonton benar- benar dibuat terkagum dengan kemunculan Shena yang sangat berbeda. Gaun bak seorang putri kerajaan, sepatu kaca yang cantik, rambut yang terurai indah, dan sikap anggun yang Shena peragakan. Shena benar-benar terlihat seperti seorang putri kerajaan.Arlan semakin tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia bertopang dagu pada pahanya seraya masih terus melihat adegan keduanya. Dira terkekeh kecil saat menyadari perubahan raut Arlan pada adegan dansa Cinderella dan Pangeran.“Rileks saja, jangan gugup,” bisik Agas di sela adegan keduanya.Mendengar bisikan seperti itu dari Agas, Shena sontak mengangguk pelan. Dia memejamkan matanya sejenak, lalu menarik dan membuang napasnya untuk berusaha tenang. S
26. Pertunjukan TeaterPukul 14.45 waktu siang hari. Panggung teater telah bersih, semua properti yang dibutuhkan pun sudah tersedia di atas panggung. Kini hanya tinggal menunggu waktu saja sampai mereka semua tampil di atas panggung.Sebenarnya acara sedang diistirahatkan dulu hingga jam tiga sore lebih lima belas menit. Namun, karena persiapan yang dilakukan oleh anggota teater sangat banyak, mereka semua rela tidak beristirahat dulu hingga pertunjukan berakhir.“Shena, ini kostum pertamamu. Segera ganti dan bersiap untuk riasan sederhananya,” ucap salah satu divisi penata busana seraya memberikan kostum tersebut kepada Shena.Shena sontak menoleh dan mengangguk. “Baik,” jawabnya. Dia mengambil kostum tersebut dan segera bergegas menuju ruang ganti. Setelah selesai, Shena kembali ke posisi untuk dirias.Namun, kedatangan Doni dan temannya membuat aktifitas meriasnya terhenti sejenak. Shena menatap pria yang berdiri di samping Doni dengan tatapan bingung.“Shena, kenalin, ini Kenzo.
Acara reuni masih terus berjalan. Satu per satu dari susunan acara mulai terealisasi. Pukul 12.00 siang hari acara dihentikan sejenak untuk beristirahat. Para tamu dalam reuni acara kampus tersebut mengambil beberapa camilan dari stand makanan yang sudah disiapkan oleh panitia acara.“Kamu mau ke mana?” tanya Dira saat melihat Arlan yang bangun dari kursinya.Arlan tidak langsung menjawab, dia merapikan setelan jas biru dongker yang dipakainya. Pun merapikan rambutnya juga. “Ada seseorang yang harus saya cari,” jawabnya tanpa menoleh ke Dira sedikit pun.“Siapa?” tanya Dira lagi. Dia memasang raut tanyanya, penasaran. “Shena?” tanya Dira semakin penasaran. Namun, Arlan tetap diam dan pergi meninggalkan tempatnya begitu saja. “Aneh.”Kembali ke ruang teater, mereka juga sedang beristirahat dari kesibukan mereka. Para pelakon drama segera menutup naskah mereka dan menyimpannya di atas meja. “Shena, kamu mau ke masjid?” tanya Sinta. Shena yang mendapat pertanyaan pun sontak mengangguk.
Pukul 09.45 pagi hari, Arlan telah sampai di kampusnya yang dulu. Dia datang ke acara tersebut dengan Dira. Para alumni pun sudah banyak yang datang, tetapi hanya beberapa yang masih Arlan kenal.Mereka segera mencari tempat duduk sebelum acara dimulai. Karena datang di waktu 15 menit sebelum acara dimulai, mereka akhirnya mendapat kursi di barisan belakang.“Mereka semua satu angkatan sama kamu?” tanya Dira seraya menunjuk sekumpulan pria yang sedang bercanda seraya menggendong anak masing-masing dengan matanya.Arlan sontak menoleh ke arah yang Dira tunjuk. “Saya tidak mengenal mereka.”“Aneh. Yang lain beneran reuni sama teman-teman lamanya. Lah, kenapa kamu diam aja di sini? Dulu kamu gak punya teman, ya? Ah, maksud aku ... kamu gak punya teman selain dia?” Mengerti dengan siapa yang Dira sebut ‘dia’, Arlan hanya mengembuskan napas beratnya. “Mungkin,” jawabnya singkat.“Wah ... gawat, sih, ini,” balas Dira seraya menggelengkan kepalanya pelan, lalu berdecak kecil secara berkali-
Waktu terus berjalan tanpa henti, semenjak penyelesaian gosip tentang Dira dan Arlan, pun dengan Shena juga. Shena akhirnya bisa kembali bekerja dengan penuh semangat seperti biasanya.Bukan hanya itu, Shena bahkan memiliki teman baru, yaitu Dira. Karena kedekatannya dengan Dira dan Arlan, para karyawan juga benar-benar menghormatinya. Mereka benar-benar merasa bersalah karena telah menuduh dan menyebut Shena sebagai wanita tidak tahu diri. Namun, semuanya telah berlalu dan Shena sudah tidak ingin membahasnya kembali.Satu hari sebelum acara reuni kampus dimulai. Berbagai macam dekorasi pun sudah terpasang di beberapa bagian. Kampus pun sontak dipenuhi oleh para mahasiswa dan mahasiswi yang akan tampil di acara tersebut. Dimulai dari eskul tari, marching band, taekwondo, paskibra, dan tentunya teater juga.Pukul 19.30 malam hari, anak teater kembali berkumpul untuk melakukan gladi resik. Mereka semua berkumpul di ruang tata panggung yang akan menjadi tempat mere
Jam istirahat telah datang. Seperti biasanya, Shena duduk di bangku panjang yang ada di belakang kantor. Dia membuka tasnya dan mengambil bekal untuk dia makan. Shena tiba-tiba terdiam saat melihat kotak bekal yang dia keluarkan.“Ini, kan, bekal buat mbak Dira,” gumamnya seraya terus menatap kotak bekal tersebut. Dia mengembuskan napasnya pasrah. “Tapi, kalau aku kasih nanti mbak Dira bakal mau gak, ya?”“Mau apa?” Suara Dira yang tiba-tiba sontak membuat Shena terkejut. Dia melihat Dira dan Arlan yang berjalan ke arahnya. “Mau apa?” tanya Dira mengulangi pertanyaannya.Shena menatap Dira dengan gugup, lalu memberikan kotak bekal yang dipegangnya untuk Dira. “Saya bawakan ini untuk Bu Dira,” ucap Shena dengan nada gugup.Melihat kotak bekal yang Shena sodorkan untuknya, Dira pun hanya terdiam. “Untuk saya?” tanyanya memastikan. Setelah mendapat anggukan dari Shena, Dira pun meneriman
Esokan harinya, Shena bangun jam lima pagi. Dia segera bangun dan melaksanakan salat subuh, lalu mencuci baju. Setelah selesai mencuci baju di jam setengah enam pagi, Shena mulai menggoreng risol-risol yang dibuatnya bersama Dira sore kemarin. Sekalian memasak untuk sarapan dan membawakan bekal untuk Arlan.Jam tujuh, semuanya telah selesai. Shena bergegas untuk mandi, sarapan, dan bersiap berangkat kerja. Seperti biasanya, Shena menunggu tukang ojek online di depan kosan. Setelah ojek datang, Shena segera naik, lalu melaju menuju ke kantor Arlan.Shena membawa wadah kotak yang berisi risol tersebut di pangkuannya. Tidak seperti yang dia harapkan, jalanan hari itu cukup padat hingga membuatnya merasa sedikit cemas karena takut terlambat.Namun, keberuntungan masih berpihak ke Shena. Dia berhasil datang pada pukul 07.50 waktu pagi hari, itu artinya dia berhasil datang sepuluh menit sebelum jam kerjanya dimulai. Setelah membayarkan ongkosnya, Shena segera bergegas masuk ke kantor. Namun
“Arlan!” seru Dira memanggil seraya membuka pintu ruang Arlan. Arlan yang mendengar seruan tersebut sontak memasang raut terkejutnya. “Aku punya berita besar buat kamu!”“Harus berapa kali saya bilang sama kamu buat ketuk pintu dulu sebelum masuk,” ucap Arlan menahan kekesalannya. “Ada apa?”Mendengar nada kesal dari Arlan, Dira hanya menunjukkan cengengesannya tanpa meminta maaf. Dia menutup kembali pintu tersebut dan menghampiri meja kerja Arlan, lalu duduk di bangku yang ada di depan meja Arlan.Dira melihat ke tas serut yang dikenalnya. “Loh, bukannya dia lagi libur, ya? Kok, bisa dapat gitu?”Mengerti dengan ke mana arah tatapan Dira, Arlan mengangguk. “Dia mengutus tukang ojek, lalu dititipkan ke satpam di depan seperti biasanya.”“Dia perhatian banget, ya. Kemarin malam juga dia nolongin aku dari penjahat.”Mendengar itu, Arlan sontak menoleh. &l
Satu minggu telah berlalu. Namun, gosip kedekatan Arlan dan Dira masih saja belum hilang. Shena yang terus-terusan mendapat omongan tidak enak dari para karyawan pun hanya bisa tutup telinga dan berpura-pura untuk tidak peduli. Meskipun gosip tentangnya yang semakin hari semakin memanas, Shena tetap tidak bisa melawannya. Terus berusaha menghindari Arlan agar gosip tersebut tidak semakin menyebar hingga keluar benar-benar melelahkan baginya. Karena gosip tersebut, semangat kerja Shena pun perlahan menghilang. Mendengar hal buruk tentangnya dari orang lain, mendengar orang-orang yang mendukung hubungan Arlan dan Dira, lalu melihat secara langsung dari kedekatan antara keduanya. Shena hanya bisa mengembuskan napasnya pasrah berkali-kali setiap mendengar para karyawan yang membicarakannya secara terang-terangan. Tidak ingin terjadi keributan, Shena bergegas pergi ke ruang lainnya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Arlan dan Dira yang sedang berjalan berdampingan untuk masuk ke k