Dua bulan berlalu, kini Inez sudah bisa melupakan Adit dan kembali melanjutkan hidupnya. Namun, semua kembali berubah saat dia sadar bahwa telah telat datang bulan. Dia memberanikan diri untuk pergi ke desa lain, untuk membeli alat tes kehamilan. Mengingat di desanya hanya terdapat bidan membuat dia terpaksa untuk pergi ke apotik yang terdapat di desa sebelah.“Nez,” panggil Dian. “Kamu kenapa ada di sini?” tanya Inez. Seketika dia langsung panik, saat bertemu dengan sahabatnya. “Aku lagi beli obat untuk Bapak, kalau kamu sendiri?” jawab Dian. Inez semakin bingung tidak mungkin dia berkata jujur, apalagi dirinya sangat tahu bahwa kedua orang tua mereka akrab. Membuatnya takut jika dia mengatakan hal itu kepada orang tuanya. Dian menatap heran karena Inez justru termenung saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, dan dia kembali menanyakan hal yang sama kepada Inez untuk kedua kalinya.“Kamu sekarang sudah tidak pernah ke rumah lagi, kenapa?” tanya Dian. “Aku sudah tidak pernah k
Semakin hari gosip tentang kehamilan dirinya mulai menyebar di desa, membuat dia semakin sering berada dikamar bahkan hanya sesekali keluar jika memerlukan sesuatu. Kedua orang tuanya seperti biasa pergi ke ladang. Namun, kini Inez tidak pernah ikut bersama mereka. Bahkan Nilam dan Pak Edit sudah mendengar selentingan kabar tentang punyanya. Tetapi dia tidak terlalu menggubris akan hal itu. “Mang, apa berita yang saya dengar itu benar?” tanya Mang Ujang. “Berita apa Mang?” Jawab Pak Edi. “Iya, kayanya heboh banget,” sambung Nilam.Keduanya langsung menatap penuh tanya ke arah Mang Ujang, apalagi melihat raut wajahnya yang begitu penuh tanya. Mang Ujang sebenarnya tidak enak menanyakan tentang berita yang sudah sangat gempar, bahkan dirinya belum percaya dengan kabar itu. Karena dia sangat mengenal bagaimana sosok Inez, yang selama ini bersahabat dengan putrinya.“Sebelumnya saya minta maaf, tetapi apa benar kalau Inez sedang hamil?” tanya Mang Ujang dengan begitu hati-hati saat m
Semenjak perdebatan Inez bersama kedua orang tuanya tidak pernah bertegur sapa, bahkan mereka seperti orang asing. Pak Edi yang masih amat marah sering kali menghindar setiap melihat Inez begitu juga dengan Nilam. “Ayah malu Bu,” ucap Pak Edi. Dia sudah tidak tahan mendengar hinaan dari orang-orang mengenai kehamilan Inez. “Sabar ayah,” jawab Nilam. “Ayah harus sabar bagaimana lagi? Bahkan sekarang rasanya ayah tidak punya muka,” sahut Pak Edi. Nilam memahami perasaan suaminya, apalagi yang menimpa Inez adalah aib bagi keluarganya. Tetapi dia juga bingung harus bagaimana karena sampai detik ini tidak pernah sekalipun Inez mengatakan siapa ayah dari anaknya. “Lalu kita harus bagaimana ayah?” tanya Nilam. “Ayah tidak tahu Bu, anak itu benar-benar telah mencoreng nama baik kita,” jawab Pak Edi. “Semua sudah terjadi ayah, kita bisa apa?” sahut Nilam. Pak Edi terdiam. Dirinya terus memikirkan omongan para tetangga bahkan saat di ladang kebanyakan orang hanya memandang sinis sambil
Keputusannya untuk pergi ke Jakarta sudah bulat, walau kedua orang tuanya tidak setuju akan hal itu tetapi Inez masih bersikeras. Nilam berusaha membujuk Inez agar mengurungkan niatnya, tapi semua itu sia-sia karena Inez tetap pada pendiriannya. “Biarkan saja Bu. Memang dia pikir hidup di kota itu mudah,” ucap Pak Edi. “Ayah jangan bicara begitu,” jawab Nilam.“Benar apa yang dikatakan ayah, kalau hidup di sana tidak mudah. Tetapi kalau aku pergi kalian tidak perlu malu lagi,” ucap Inez.“Kamu jangan dengarkan ayah, ibu mohon tetap di sini,” pinta Nilam. Inez tidak berkata apa pun lagi, dia segera melepaskan tangan Nilam yang sejak tadi menahannya agar tidak pergi. Dengan berat hati dia harus meninggalkan desa di mana tempat dia dilahirkan dan seluruh kenangannya. Nilam begitu histeris melihat kepergian putrinya, tetapi tidak dengan ayahnya yang hanya menatap yang sulit di artikan. Sejenak Inez terdiam di ambang pintu sebelum menetapkan hatinya dan lalu beranjak pergi.Inez meras
Inez bisa beristirahat setelah perjalanan yang cukup melelahkan, dia mulai merebahkan tubuhnya sambil menatap ke arah langit-langit kamar kontrakan. Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan dengan cepat dia kembali bangkit. Dia melihat sisa uang yang masih dia miliki, raut wajahnya seketika berubah saat melihat dua lembar uang merah yang tersisa di dalam dompetnya. Tentu saja uang itu hanya cukup untuk beberapa hari saja, apalagi mengingat dia hidup di kota besar dan semua harus di beli. Membuat dirinya berpikir untuk mencari kerja demi memenuhi kebutuhan dan biaya persalinannya kelak. Dia kembali ke merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur tipis yang sudah tersedia di sana. Pagi harinya Inez yang sudah rapi segera melangkah keluar rumah kontrakannya, dia membeli roti serta air mineral untuk sarapan sebelum pergi mencari pekerjaan. Pemilik warung merasa heran karena melihat Inez hanya membeli roti dan air mineral saja, hingga rasa penasarannya muncul. Apalagi melihat kondisinya yang te
Inez terus berjalan tanpa tujuan, iya memiliki harapan agar bisa mendapatkan pekerjaan walau kemungkinannya sangat kecil sekali. Karena dia tahu bahwa banyak orang pasti tidak tega memperkerjakan dirinya yang tengah mengandung.Hingga dia tiba di persimpangan jalan sejenak menoleh ke kanan dan ke kiri, terlihat begitu ramai kendaraan lalu lalang. Merasa lelah dia memutuskan untuk beristirahat sejenak di pinggir jalan.Dia kembali melihat sisi dompetnya yang hanya menyisakan uang satu lembar, hatinya begitu sedih kenapa nasibnya seperti ini. Untuk mendapatkan pekerjaan pun sangat sulit baginya, cobaan hidup ini hampir membuat Inez tidak mampu untuk bertahan tetapi dia sadar bahwa ada bayi yang harus dia perjuangkan membuatnya kembali bersemangat.Inez merasa lapar hingga pandangannya tertuju ke arah sebuah toko roti, dia segera beranjak dari duduknya dan berjalan ke sana. Seketika matanya membulat saat melihat harga roti yang terpampang di depan etalase toko. “Mahal sekali,” batin In
Hari pertama bekerja Inez begitu sangat bersemangat bahkan terkadang dia sampai lupa untuk beristirahat, hal itu membuat Nia begitu kesal karena Inez tidak mementingkan asupan makanan untuk calon bayinya.“Kamu belum makan?” tanya Nia.“Belum Mbak, nanti saja,” sahut Inez. “Sekarang kamu makan dulu, ini sudah lewat jam makan siang. Nanti biar itu aku yang selesaikan,” ucap Nia. Dia segera menarik roti yang tengah di susun Inez.“Tapi Mbak, ini tinggal dikit lagi,” jawab Inez. “Baiklah! Kalau kamu mau selesaikan ini. Tapi mulai besok tidak perlu datang kesini lagi,” kesal Nia. “Kalau gitu, aku makan dulu Mbak,” ucap Inez Dia hanya mengangukan kepalanya sebagai jawaban.Mendengar Nia berkata seperti itu Inez mau tidak mau menurut karena dia tidak ingin sampai kehilangan pekerjaannya, dia segera melangkah pergi ke ruangan belakang di mana Nia suda
Kehidupan Inez mulai membaik setelah dirinya bekerja, bahkan dia merasa bersyukur memiliki bos seperti Nia. Yang selalu memerhatikan apa pun tentang dirinya hingga membuat dia tidak merasa sendirian lagi. Tetapi semuanya berbanding terbalik dengan kehidupan yang Adit jalani, semenjak lulus kuliah dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, hal itu membuat kedua orang tuanya berniat untuk mengajarkan Adit mengelola perusahaan yang kelak akan menjadi miliknya. Beberapa bulan berlalu. Namun, sikap Adit masih dingin bahkan dia cenderung lebih suka mengurung diri di kamar, hal itu membuat kedua orang tuanya memikirkan rencana untuk mencarikan calon istri untuk Adit. Hendra tahu bahwa putranya belum bisa lepas dari bayang-bayang wanita itu, memutuskan untuk mengajak membantunya di perusahaan. Adit menolak permintaan Papinya karena dia merasa tidak cocok bekerja di sana, terlebih dia tidak tertarik dengan dunia bisnis.