Satu bulan berlalu semenjak kepergian Adit, Inez menjadi sosok pemurung. Bahkan cenderung lebih suka menyendiri, hal itu membuat orang tuanya begitu bingung dengan perubahan yang terjadi kepada Inez.Lingkungan tempat mereka merasakan perubahan terhadap dirinya, Inez terkenal ramah bahkan selalu menyapa mereka. Sekarang sudah tidak pernah dia lakukan bahkan terkadang dia berjalan sambil melamun seperti sedang memikirkan sesuatu. Hal itu membuat tetangga mereka penasaran, saat Nilam sedang menyapu halaman. Bu Tantri langsung menghampirinya."Rajin banget Ceu, biasanya Inez yang melakukannya," ucap Bu Tantri."Iya Bu, cuma hari ini dia sedang tidak enak badan," jawab Nilam.Bu Tantri semakin penasaran, dia selalu ingin tahu apapun. Tidak jarang membuat dirinya banyak tidak di sukai, tetapi Nilam berusaha bersikap baik kepada Bu Tantri karena mereka bertetangga. Apalagi selama ini tidak pernah ada masalah di antara mereka.“Ceu Nilam, kok saya merasa Inez akhir-akhir ini berubah,” uca
Nilam masih tampak shock mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Adit, sedangkan Pak Edi semakin marah mendengarnya."Jadi itu alasan kalian melakukan hal seperti tadi?" tanya Pak Edi. Menatap keduanya saling bergantian.Nilam langsung menoleh ke arah suaminya, dia tidak mengerti apa yang sedang di katakan olehnya. Inez dan Adit hanya terdiam mendapat pertanyaan itu, mereka sadar bahwa apa yang telah keduanya lakukan itu salah."Maksud Ayah apa?" ucap Nilam. Sembari menatap penuh tanya ke arah Pak Edi, yang masih fokus menatap kepada Inez dan Adit."Ibu tanyakan saja, apa yang telah mereka lakukan. Bahkan ayah sangat malu saat melihatnya," ungkap Pak Edi.Nilam langsung memalingkan pandangan kepada Inez dan Adit, tentu dia ingin jawaban dari apa yang di katakan oleh suaminya beberapa saat lalu."Neng, nak Adit. Tolong jelaskan ada apa ini?" Pinta Nilam.Mereka berdua masih tetap bungkam, bahkan Inez tidak kuasa untuk membuka mulutnya begitu juga dengan Adit."Apa di antara kalian
Walau dengan berat hati, Pak Edi dan Nilam. Merelakan putri mereka ikut bersama Adit, semua itu mereka lakukan demi melihat Inez bahagia.Adit dan Inez berangkat pagi sekali, mengingat perjalanan menuju ke Jakarta cukup jauh. Raut bahagia terpancar dari wajah keduanya, terutama Inez yang untuk pertama kali akan menginjakkan kaki di kota besar.Setelah memakan waktu lebih dari 6 jam, mereka telah sampai di depan kediaman Adit. Inez terdiam sejenak terpukau melihat rumah yang begitu megah ada di hadapannya.Biasanya dia hanya melihat di televisi. Namun, sekarang dia bisa melihatnya langsung. Adit yang berdiri di samping Inez tentu paham saat melihat raut wajahnya, menyadari dirinya di perhatikan membuat Inez tampak malu karena terlihat sangat kampungan sekali.“Ayo kita masuk,” ajak Adit. Dia tidak ingin membuang waktu lagi untuk memperkenalkan Inez kepada kedua orang tuanya. Inez hanya menganggukkan kepalanya. Harapannya di sambut baik oleh kedua orang tua Adit pupus sudah, saat mel
“Papi menampar aku?” tanya Adit. Dia masih tidak menyangka bahwa papinya bisa melakukan hal itu. “Iya. Agar kamu sadar,” jawab Hendra.“Sadar!” sahut Adit.“Kamu sudah di butakan oleh gadis kampung itu, jadi terpaksa Papi Mu melakukan itu,” sambung Leli. Adit tersenyum getir, dia tidak percaya bahwa orang tuanya begitu sangat kejam. Apa yang salah jika dia mencintai Inez. “Mami dan papi salah, justru Inez yang membuat aku mengerti arti cinta,” jawab Adit.“Cinta? Apa papi tidak salah dengar?” ucap Hendra. “Papi tidak salah dengar, justru seharusnya kalian tidak memandang seseorang hanya dari kasta saja,” sahut Adit.Dia berusaha membela Inez di hadapan kedunya, karena dia begitu sangat mencintai Inez hingga dia tidak mau kehilangannya. “Baiklah, kalau kamu mencintai wanita itu. Silakan pergi dan kejar dia, tetapi ingat satu hal saat kamu melangkah keluar dari rumah ini maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya,” ucap Hendra. “Kamu pikir cinta itu segalanya? Seharusnya kamu p
Inez terus berjalan tanpa tahu tujuan, dia masih tidak menyangka bahwa akhir dari kisah cintanya dan Adit berakhir menyakitkan seperti ini. Dia memutuskan untuk kembali pulang, dengan uang seadanya yang dia miliki tentu cukup untuk ongkos ke sana. Dengan langkah gontai dia mencari terminal terdekat. Penampilannya yang begitu berantakan menjadi pusat perhatian setiap orang yang melihatnya. Tetapi Inez tidak memperdulikan hal itu. Hari masih sangat gelap Inez telah sampai kembali di desa, dia terdiam sejenak sambil kembali mengingat saat akan pergi bersama Adit. Senyum mengembang di wajahnya tetapi semua berbanding terbalik sekarang. Nilam masih sibuk bersih-bersih rumah. Namun, dia langsung berhenti saat melihat Inez datang dalam keadaan yang begitu sangat menyedihkan. “Neng. Kamu kenapa?” tanya Nilam. Inez masih terdiam seribu bahasa, bahkan raut kesedihan begitu jelas terlihat dimatanya. “Jawab ibu, kamu kenapa?” tanya Nilam kembali. Bukanya memberikan jawaban Inez justru mel
Dua bulan berlalu, kini Inez sudah bisa melupakan Adit dan kembali melanjutkan hidupnya. Namun, semua kembali berubah saat dia sadar bahwa telah telat datang bulan. Dia memberanikan diri untuk pergi ke desa lain, untuk membeli alat tes kehamilan. Mengingat di desanya hanya terdapat bidan membuat dia terpaksa untuk pergi ke apotik yang terdapat di desa sebelah.“Nez,” panggil Dian. “Kamu kenapa ada di sini?” tanya Inez. Seketika dia langsung panik, saat bertemu dengan sahabatnya. “Aku lagi beli obat untuk Bapak, kalau kamu sendiri?” jawab Dian. Inez semakin bingung tidak mungkin dia berkata jujur, apalagi dirinya sangat tahu bahwa kedua orang tua mereka akrab. Membuatnya takut jika dia mengatakan hal itu kepada orang tuanya. Dian menatap heran karena Inez justru termenung saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, dan dia kembali menanyakan hal yang sama kepada Inez untuk kedua kalinya.“Kamu sekarang sudah tidak pernah ke rumah lagi, kenapa?” tanya Dian. “Aku sudah tidak pernah k
Semakin hari gosip tentang kehamilan dirinya mulai menyebar di desa, membuat dia semakin sering berada dikamar bahkan hanya sesekali keluar jika memerlukan sesuatu. Kedua orang tuanya seperti biasa pergi ke ladang. Namun, kini Inez tidak pernah ikut bersama mereka. Bahkan Nilam dan Pak Edit sudah mendengar selentingan kabar tentang punyanya. Tetapi dia tidak terlalu menggubris akan hal itu. “Mang, apa berita yang saya dengar itu benar?” tanya Mang Ujang. “Berita apa Mang?” Jawab Pak Edi. “Iya, kayanya heboh banget,” sambung Nilam.Keduanya langsung menatap penuh tanya ke arah Mang Ujang, apalagi melihat raut wajahnya yang begitu penuh tanya. Mang Ujang sebenarnya tidak enak menanyakan tentang berita yang sudah sangat gempar, bahkan dirinya belum percaya dengan kabar itu. Karena dia sangat mengenal bagaimana sosok Inez, yang selama ini bersahabat dengan putrinya.“Sebelumnya saya minta maaf, tetapi apa benar kalau Inez sedang hamil?” tanya Mang Ujang dengan begitu hati-hati saat m
Semenjak perdebatan Inez bersama kedua orang tuanya tidak pernah bertegur sapa, bahkan mereka seperti orang asing. Pak Edi yang masih amat marah sering kali menghindar setiap melihat Inez begitu juga dengan Nilam. “Ayah malu Bu,” ucap Pak Edi. Dia sudah tidak tahan mendengar hinaan dari orang-orang mengenai kehamilan Inez. “Sabar ayah,” jawab Nilam. “Ayah harus sabar bagaimana lagi? Bahkan sekarang rasanya ayah tidak punya muka,” sahut Pak Edi. Nilam memahami perasaan suaminya, apalagi yang menimpa Inez adalah aib bagi keluarganya. Tetapi dia juga bingung harus bagaimana karena sampai detik ini tidak pernah sekalipun Inez mengatakan siapa ayah dari anaknya. “Lalu kita harus bagaimana ayah?” tanya Nilam. “Ayah tidak tahu Bu, anak itu benar-benar telah mencoreng nama baik kita,” jawab Pak Edi. “Semua sudah terjadi ayah, kita bisa apa?” sahut Nilam. Pak Edi terdiam. Dirinya terus memikirkan omongan para tetangga bahkan saat di ladang kebanyakan orang hanya memandang sinis sambil