Nayla merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Operasi? Ginjal bermasalah? Pikirannya berputar cepat, mencoba memproses semua informasi yang baru saja dia terima.
Nadira, adiknya, sekarang harus melewati prosedur medis yang serius, dan dia adalah satu-satunya harapan bagi keselamatan hidupnya. Nayla merasa dirinya terlalu egois karena hanya memikirkan dirinya sendiri dan hubungannya yang rumit bersama Zavier.
Dia bahkan sempat melupakan keadaan Nadira yang sedang ditolong oleh Michael.
"Persetujuan... Tanda tanganku..." bisiknya, suaranya penuh kepanikan. "Tentu, Michael. Tentu, aku akan segera berangkat. Di mana kau sekarang?"
"Apa yang terjadi padamu, Nayla? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Michael dengan suara lembut namun penuh dengan kekhawatiran.
"Tidak ... tidak apa-apa, hum ... " Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Di mana kamu sekarang, Michael?"
"Sekarang aku di rumah sakit bersama Nadir
Nayla mencoba memproses semua informasi itu. Dia tahu dia harus segera mengambil keputusan, tetapi beban tanggung jawab yang menumpuk membuatnya hampir tak bisa bernapas."B-bagaimana bisa memburuk? Apa yang terjadi?" tanya Nayla mulai merasa gelisah."Kita harus segera ke ruang perawatan, aku akan bertanya kepada Dokter langsung," kata Nayla tegas, walaupun suaranya terdengar gemetar.Dengan hati yang berat, Nayla bangkit dari kursinya dan bersiap untuk menghadapi apa pun yang menantinya di ruang operasi.Dia adalah satu-satunya yang bisa memberikan persetujuan untuk menyelamatkan nyawa adiknya, dan dia tidak akan ragu untuk melakukannya. Dia malah menyiapkan diri untuk menjadi donor ginjal bagi adiknya bila memang diperlukan.Dalam keheningan ruang perawatan, Nayla menatap sang adik yang terlelap karena pengaruh obat anestasi. Mereka menunggu Dokter tiba.Dalam suasana yang hening, tiba-tiba terdengar langkah kaki yang tenang mendekati mer
Dengan senyuman tipis, pria bertopi dan berkacamata hitam segera mengetikkan pesan di aplikasi hijau pada ponselnya dengan jari yang lincah.[Kali ini pasti mahal fotonya]Pria itu menunggu balasan yang cepat dari Kayla.[Ohya, kirimkan rekeningmu bila kamu merasa bisa membuat senyumku sumigrah dengan fotomu] Kayla tersenyum sambil menaikkan sebelah kakinya dan meletakkannya di atas meja kaca ruang tamu. Wanita yang menjadi ibu tiri Zavier itu sedang menikmati masa bebasnya karena Xander sedang dirawat di Rumah Sakit.Ting! Ting!Lima lembar foto terkirim dan membuat Kayla benar-benar tersenyum puas sambil duduk tegak.Foto Michael sedang memeluk Nayla dengan penuh kerinduan, lalu foto Michael mengelus pipi Nayla dan foto mereka duduk bersama saat Michael mengenggam tangannya untuk memberi kekuatan.Kemudian sebuah foto Nayla sedang bersandar di pundak Michael dengan mesra seolah-olah mereka ada sepasang keka
Sefia memutuskan panggilan dan masih juga menatap foto yang ada di layar ponselnya.Bagaimana mungkin Michael, pria itu juga begitu tampan seperti Zavier? Dalam hati Sefia, timbul sebuah kecemburuan yang teramat tinggi.Mengapa wanita itu selalu mendapatkan pria yang tampan dan terlihat mapan?Sefia mengeser layar dan kembali kepada foto vulgar yang dikirimkan tadi lalu melirik Zavier sekali lagi. Bagaimana bila dia menunjukkan foto ini kepada Zavier lalu Zavier segera mencari kebenaran dari foto tersebut. Dia pasti akan ketahuan sedang memberikan fitnah kepada Nayla. Hal ini tentu akan menjadi masalah baginya karena Zavier bukan seorang pria yang bodoh.Dia dalah CEO yang memiliki perusahaan sangat banyak dan selalu bisa mengambil keputusan dengan tepat setiap waktunya. Akankah dia tertipu oleh editan foto murahan seperti ini?***Di Rumah Sakit Sejahtera Bogor, Nadira terbaring pucat di dalam ruang perawatan rumah sakit, wajahnya tampak le
Sementara Nayla memutuskan untuk menghampiri Nadira, mencoba memberikan sedikit keceriaan pada wanita yang terlihat begitu lemah itu."Nadira si wanita kuat, bagaimana perasaanmu, Huh. Apakah kita siap menghadapi pasukan dokter sekali lagi?" tanya Nayla dengan lembut, duduk di samping tempat tidur setelah meletakkan makanan di meja kecil dalam ruangan.Nadira menoleh ke arah Nayla, wajahnya tampak suram. "Aku... aku takut, Kak," ucapnya dengan suara yang rapuh. "Aku takut tidak bisa sembuh dan meninggalkan kalian, kamu dan Michael.""Eh? Aku dan Michael?" Nayla mengulang perkataan Nadira lalu tertawa, "Mengapa bukan Aku dan Zavier?""Hum, maksudku, Ahh ... Kakak, kamu membuatku malu, kamu tahu aku masih sakit dan isi kepalaku tidak sesuai dengan mulutku," ucap Nadira dengan senyuman kecil. Wajahnya tetap pucat. Nayla yakin bila saat ini kondisi adiknya itu normal, maka wajah itu akan bersemu merah karena ketahuan tingkahnya.Nayla meraih tangan Nad
"Group itu tidak akan tahu bila Nayla menyusup masuk ke dalam sebagai seorang penyanyi yang belum terkenal. Seharusnya keberadaan Nayla dalam audisi bisa menambah biografi dan pengalamannya untuk masa depan di karirnya. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini." Michael bergumam sendiri sambil berkali-kali mengembuskan asap rokoknya.Setelah mengatur semua hal dengan panitia audisi, Michael kembali memikirkan persiapan Nayla untuk audisi kedua. Dia tahu bahwa lagu yang akan dia bawakan haruslah sesuatu yang istimewa, sesuatu yang dapat menunjukkan potensi dan bakatnya yang sebenarnya."Lagu ... aku akan membutuhkan lagu yang cocok untuk Nayla!" serunya dengan bersemangat.Dengan cepat, dia membuka layar ponsel dan mencari lagu yang tepat untuk Nayla. Setelah beberapa saat mencari, dia menemukan lagu yang sesuai, tetapi dia sadar bahwa lagu itu memiliki kualitas dan kesulitan yang sangat tinggi.Tidak ingin membuat Nayla merasa tertekan atau terbebani lebih
[Kamu masih di Rumah Sakit memantau mereka? Aku tidak butuh foto saling memeluk! Aku menginginkan beberapa foto yang bisa membuat putraku menceraikan wanita itu sekarang juga!][Segera!] Balas pria bermasker itu dengan senyuman culas di wajahnya lalu mengeluarkan sebuah botol kecil bertuliskan 'pasak bumi', menjepret botol tersebut lalu mengirimkannya kepada Kayla.Kayla tersenyum puas lalu mengetik pesan balasan. [Saya tunggu! Secepatnya!]***Nayla duduk di ruang tunggu rumah sakit dengan pandangan yang kosong, hatinya terasa berat ketika dia melihat Nadira digotong masuk ke ruang operasi.Dia merasakan kecemasan yang melilit dadanya, tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya atas keadaan adiknya yang tercinta.Michael berdiri di sampingnya, menatap Nayla dengan penuh kekhawatiran. Dia merasa terpanggil untuk tetap menemani Nayla, untuk mengurangi beban yang sedang dia rasakan. "Nayla, apakah kamu baik-ba
Nadira mengangguk perlahan, mencoba untuk fokus pada wajah Nayla. "Ya, aku... aku baik-baik saja," ucapnya dengan suara yang lemah.Michael tersenyum hangat pada Nadira, merasa lega melihat bahwa gadis itu mulai pulih dari operasi. "Kamu sudah melewati yang terberat, Nadira. Sekarang tinggal pemulihan saja," ujarnya dengan penuh harapan.Nadira tersenyum tipis, merasakan kehangatan dari kebersamaan mereka. "Terima kasih, Nayla. Terima kasih, Michael. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kalian."Nayla dan Michael saling bertukar pandangan, merasa terharu oleh kata-kata Nadira. Mereka tahu bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lain, dalam suka maupun duka."Nadira," panggil Nayla dengan suara lembut, meraih tangan saudarinya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin memberitahukanmu tentang rencanaku."Nadira membuka mata perlahan, mencoba memfokuskan pandangannya pada Nayla. "Apa itu, Nayla?" tanyanya dengan suara yang masih terdengar le
Nayla merasakan denyutan aneh di dalam dadanya saat tangan Michael menyentuhnya dengan kelembutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Hatinya berdesir aneh, seakan-akan ada getaran yang mengalir di antara mereka. Tatapan lembut dari pria tampan itu juga semakin membuat pikirannya bercabang-cabang.Terima kasih," ucap Nayla dengan suara serak, dia merasa tak bisa menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Michael hanya tersenyum lembut sebagai balasannya, tetapi matanya memancarkan kehangatan yang membuat Nayla merasa lebih dekat dengannya.Mereka berdua kemudian melanjutkan makan malam mereka, tetapi keintiman singkat itu membuat mereka berdua merasa seperti ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Meskipun tidak ada yang diucapkan, tetapi ada perasaan yang terpancar di antara mereka, sebuah keakraban yang semakin dalam dan akrab.Saat mereka menghabiskan sisa makan malam mereka, suasana terasa semakin hangat dan penuh dengan kebersa
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu