Setengah jam berlalu. Nayla berdiri di samping tempat tidur dengan kebingungan yang masih menyelimuti pikirannya. Dia ingin pergi dan tidur di kamar lain, memberi Zavier ruang yang dia butuhkan untuk beristirahat tanpa gangguan. Tetapi, saat dia bergerak hendak pergi, tangan Zavier tiba-tiba saja meraih tangannya dengan erat, menahannya di tempat.
Zavier, meskipun terlelap, masih merasakan kepergian Nayla. Dalam keadaan setengah sadar, dia menggapai tangan Nayla dan menariknya kembali ke dekatnya.
Nayla terjatuh kembali di atas ranjang dan berada dalam pelukan Zavier.
"Zav ..., " panggil Nayla dengan lirih, namun tampaknya pria itu benar-benar tertidur.
Pelukannya menjadi lebih erat, seolah-olah dia mencoba menahan Nayla di sisinya dengan segenap kekuatannya.
Nayla merasakan getaran hangat dari pelukan Zavier. Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan, tetapi getaran cinta dari Zavier menyentuh hatinya dengan lembut. Dia membiarkan dirinya lu
Nayla merasa tertampar oleh kata-kata Kayla, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia tahu bahwa dia harus menghadap Xander, setidaknya dia harus menunjukkan rasa simpatinya."Saya harus berbicara dengannya," ucap Nayla dengan tekad yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri. "Saya hanya membawa buah-buahan dan menunjukkan simpati saya."Kayla menatap Nayla dengan kekakuan. "Kamu berani sekali datang ke sini dan berbuat seolah-olah tidak bersalah. Kamu adalah penghancur keluarga kami, Nayla. Kamu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Lihat apa yang sudah kau lakukan kepada Zavier dan Xander-ku. Pria itu terbaring lemah sekarang!"Kayla menutup mulutnya seoalh-olah sedang menahan tangisan. Padahal dia hanya berpura-pura melakonkan drama betapa hancur hatinya.Nayla merasa sesak, tapi dia tidak akan membiarkan kata-kata Kayla menghentikannya. Dengan keberanian yang dia kumpulkan dari dalam, dia melangkah maju, menantang pandangan tajam ibu tiri Z
Nayla mengangguk setuju, merasakan urgensi dari situasi tersebut. Mereka semua menyadari bahwa waktu sangat berharga, dan setiap detik sangatlah penting untuk Xander. Dengan hati yang berat namun tekad yang kuat, mereka bersiap untuk menghadapi perjuangan yang ada di depan."Aku sebenarnya memiliki sebuah cara, tapi ... " Sefia menghentikan kalimatnya dan menatap Zavier dalam-dalam.Klaim mendadak Sefia tentang memiliki cara untuk membantu Xander memancing rasa ingin tahu Zavier.Dia mengerutkan kening dengan kebingungan, bertanya-tanya apa yang bisa Sefia tawarkan yang belum dipertimbangkan oleh para dokter."Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar dengan campuran skeptisisme dan harapan.Namun, Sefia tetap misterius, ekspresinya sulit dibaca. "Kamu harus ikut denganku untuk mengetahuinya," ujarnya, nada bicaranya menunjukkan rasa urgensi. "Kita harus bicara di tempat lain."Zavier bertukar pandang dengan Nayla, diam-diam menyampa
Nayla, wanita yang dia percayai dengan sepenuh hati, dituduh melakukan sesuatu yang tidak terpuji oleh Sefia, walau dia tahu mantan kekasihnya yang duduk di sampingnya saat ini tampaknya memiliki motif tersembunyi."Tidak mungkin," desis Zavier, tetapi keraguan telah menemukan tempat di dalam dirinya.Sefia mengangguk, ekspresinya penuh dengan kesenangan jahat. "Fakta-fakta itu di depan matamu, Zavier. Kamu bisa mempercayainya jika kamu mau.""Apakah mungkin aku mengada-ngada dan mencari seseorang yang mirip dengan istrimu itu hanya untuk menipumu? Kamu terlihat mabuk," ucap Sefia lalu mendekatkan dirinya merangkul Zavier.Zavier merasakan dunia di sekitarnya berputar, segala sesuatu yang dia yakini menjadi kabur. Dia ingin menolak kebenaran yang tak terelakkan, tetapi gambar-gambar itu tidak bisa dia abaikan begitu saja."Kamu harus percaya padaku, Zavier," desis Sefia dengan manja di telinga Zavier, suaranya menusuk Zavier seperti pisau.T
Zavier hanya bisa menuruti dengan patuh. Tubuhnya terasa lemah dan kepala terasa berputar. Setiap langkah terasa seperti usaha yang luar biasa, dan ia merasa sangat bersyukur ketika akhirnya mereka mencapai ranjang.Namun, tiba-tiba Zavier muntah.Tidak ada yang bisa menghalangi gelombang muntahan mendadak yang memaksa Zavier untuk bangun. Tanpa peringatan, dia muntah dengan keras, dan sebagian besar dari itu mengenai pakaian dan bahkan wajah Sefia."Ishhh!" Sefia berteriak dengan panik dan merasa jijik.Sefia terkejut dan tercengang oleh kejadian tak terduga ini. Dia menaikkan kedua tangannya dengan jijik, tetapi juga merasa terpaksa untuk bertindak."Astaga! Terpaksa harus mandi!" pekik Sefia dengan geli.Dengan cermat, dia membantu Zavier berdiri dan membawanya ke kamar mandi, membersihkan muntahannya yang menyebalkan dengan sabar."Sungguh maafkan aku, Sefia," gumam Zavier dengan suara yang lemah, raut wajahnya dipenuhi dengan ras
Dalam keheningan yang menyiksanya, Nayla membiarkan air mata terus mengalir, seperti sebuah sungai yang tak berujung dari penderitaan yang mengalir begitu deras dari hatinya yang hancur.Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir, tidak tahu bagaimana caranya untuk bangun dari tidur yang menyiksa ini.Nayla segera pulang dengan menaiki taksi. Dia tidak tahu apakah yang harus dia lakukan saat ini."Semua sudah berlalu. Aku hanya tertipu secara berulang-ulang," gumamnya dalam hati.Dalam kegelapan yang merayap, Nayla merasakan dirinya tenggelam dalam kesendirian yang tak terkendali. Hati dan pikirannya terjebak dalam pusaran keputusasaan yang dalam, tanpa jalan keluar yang terlihat di depannya.Dengan gemetar, dia mencoba menghapus foto itu dari layar ponselnya, tetapi bayangan Zavier dan Sefia tetap membayangi pikirannya seperti hantu yang mengejar-ngejar. Dia merasa seperti dihantui oleh gambaran mereka bersama, pengkhi
Nayla merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Operasi? Ginjal bermasalah? Pikirannya berputar cepat, mencoba memproses semua informasi yang baru saja dia terima.Nadira, adiknya, sekarang harus melewati prosedur medis yang serius, dan dia adalah satu-satunya harapan bagi keselamatan hidupnya. Nayla merasa dirinya terlalu egois karena hanya memikirkan dirinya sendiri dan hubungannya yang rumit bersama Zavier.Dia bahkan sempat melupakan keadaan Nadira yang sedang ditolong oleh Michael."Persetujuan... Tanda tanganku..." bisiknya, suaranya penuh kepanikan. "Tentu, Michael. Tentu, aku akan segera berangkat. Di mana kau sekarang?""Apa yang terjadi padamu, Nayla? Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Michael dengan suara lembut namun penuh dengan kekhawatiran."Tidak ... tidak apa-apa, hum ... " Nayla menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya."Di mana kamu sekarang, Michael?""Sekarang aku di rumah sakit bersama Nadir
Nayla mencoba memproses semua informasi itu. Dia tahu dia harus segera mengambil keputusan, tetapi beban tanggung jawab yang menumpuk membuatnya hampir tak bisa bernapas."B-bagaimana bisa memburuk? Apa yang terjadi?" tanya Nayla mulai merasa gelisah."Kita harus segera ke ruang perawatan, aku akan bertanya kepada Dokter langsung," kata Nayla tegas, walaupun suaranya terdengar gemetar.Dengan hati yang berat, Nayla bangkit dari kursinya dan bersiap untuk menghadapi apa pun yang menantinya di ruang operasi.Dia adalah satu-satunya yang bisa memberikan persetujuan untuk menyelamatkan nyawa adiknya, dan dia tidak akan ragu untuk melakukannya. Dia malah menyiapkan diri untuk menjadi donor ginjal bagi adiknya bila memang diperlukan.Dalam keheningan ruang perawatan, Nayla menatap sang adik yang terlelap karena pengaruh obat anestasi. Mereka menunggu Dokter tiba.Dalam suasana yang hening, tiba-tiba terdengar langkah kaki yang tenang mendekati mer
Dengan senyuman tipis, pria bertopi dan berkacamata hitam segera mengetikkan pesan di aplikasi hijau pada ponselnya dengan jari yang lincah.[Kali ini pasti mahal fotonya]Pria itu menunggu balasan yang cepat dari Kayla.[Ohya, kirimkan rekeningmu bila kamu merasa bisa membuat senyumku sumigrah dengan fotomu] Kayla tersenyum sambil menaikkan sebelah kakinya dan meletakkannya di atas meja kaca ruang tamu. Wanita yang menjadi ibu tiri Zavier itu sedang menikmati masa bebasnya karena Xander sedang dirawat di Rumah Sakit.Ting! Ting!Lima lembar foto terkirim dan membuat Kayla benar-benar tersenyum puas sambil duduk tegak.Foto Michael sedang memeluk Nayla dengan penuh kerinduan, lalu foto Michael mengelus pipi Nayla dan foto mereka duduk bersama saat Michael mengenggam tangannya untuk memberi kekuatan.Kemudian sebuah foto Nayla sedang bersandar di pundak Michael dengan mesra seolah-olah mereka ada sepasang keka
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu