"Biarkan Zavier menciumnya lalu menyadari kebusukannya. Wanita itu hanya mencari masalah sendiri dan saya hanya memuluskan siasatnya yang tidak berguna itu."
Pembicaraan dihentikan pada saat Nayla mulai terusik dan terbangun dari tidurnya.
"Sudah bangun, Sayang?"
Nayla mengucek kedua matanya dan menguap, "kamu berbicara dengan siapa?"
"Hanya rekan kerja yang tidak begitu penting, apakah kamu lapar?" tanya Bram dengan lembut. Nayla menggelengkan kepala dan kembali meringkuk di dalam selimut.
Pria itu lalu di sisi Nayla sepanjang malam dan hendak memeluk wanita itu sampai pagi.
Pada saat tangannya mulai merajarela, Nayla segera menggelengkan kepalanya pelan, "tidak.."
"Aku ingin melukis..."
Bram menatapnya dalam-dalam, "Melukis? Ini tengah malam dan kamu ingin melukis?"
Nayla menganggukkan kepalanya, "ya. Aku baru saja mendapatkan inspirasi."
"Tapi ini tengah malam dan aku mengantuk sekali," ucap Bram seraya hendak
Sefia segera membuang semua kotak itu ke lantai. Perawat yang melihatnya hanya tersenyum tipis lalu berkata, "semua pasien selalu makan malam bersama dengan Dokter Siberu dan tidak ada hal besar yang terjadi. Kami semua juga pernah makan malam bersama dengan Dokter yang baik hati tersebut."Perawat itu segera memungut gaun dan perhiasan yang dilempar ke lantai. "Anda bukan seorang yang cantik seperti wajah yang menempel pada Anda. Tapi menolak tawaran Dokter, hanya membuat wajah itu tidak akan bertahan lama."Usai mengatakan kalimatnya, prawat itu segera keluar dari kamar Sefia. "Hei, apa maksudmu?" Namun pertanyaan tidak lagi dijawab oleh perawat yang sudah berlalu dari sana."Apa sih maksud dia?"Tanpa mempedulikan undangan makan malam itu, Sefia segera bangkit dan menyusun semua pakaian miliknya ke dalam koper."Kalau Sefia mau pulang, maka siapa pun tidak berkuasa mencegah! Aku sudah membayar semua tagihan. Lihat saja apa yang bisa kau lakukan,
Dengan tarikan napas panjang, Sefia mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan melangkah menuju pintu. Setiap gerakan terasa berat, tapi dia berusaha terlihat anggun. Wajahnya mungkin menyimpan luka, namun tak ada yang akan melihat itu malam ini.Dia harus menjalani makan malam bersama Dokter yang mungkin akan melahapnya juga, tetapi dia harus siap menanggung resiko atas jalan yang dia pilih dalam memiliki wajah yang sempurna ini.Saat sampai di depan rumah sakit, sebuah mobil mewah sudah menunggu. Sopirnya membukakan pintu, dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sefia melangkah masuk ke dalam mobil.Perlahan mobil itu melaju membawa dirinya ke tempat makan malam yang sudah menanti.Satu jam perjalanan yang terasa abadi, Sefia hanya menatap kosong ke luar jendela kaca dan melihat kota di Korea dengan gedung pencakar langit dan lampu kelap-kelip di sepanjang jalan.Sefia mematung sejenak saat mobil berhenti di depan rumah mewah yang berdiri megah, lebi
"A-apa maksudmu?" Sefia merasa semakin curiga, dia harus patuh dalam hal apa?Dokter Siberu tersenyum dan tidak menanggapi, pria paruh baya itu hanya menikmati sisa makanannya lalu meneguk anggur dalam gelas sampai habis.Makan malam dihidangkan dengan istimewa dan sebuah gelas dengan wine terbaik disajikan. Namun, Sefia sama sekali tidak menikmatinya.Sefia mencoba membuka pembicaraan. "Dokter, apakah wajahku memang akan mengalami sensasi seperti terbakar untuk setiap waktu?"Dokter Siberu tersenyum dan menyuap otongan steak ke mulutnya sendiri. "Tidak, selama kamu memiliki obat yang akan kuberikan nanti.""Berapa harga obatnya?" Sefia memberanikan diri bertanya karena dia tahu, semua adalah masalah harga.Dokter Siberu melirik Sefia sekilas lalu kembali menikmati makanannya.Sefia merasa sangat kesal karena Dokter itu masih juga terlihat arogan dan penuh misteri.Dengan kesal, Sefia meraih gelas kaca yang berisi anggur lalu m
Sefia tertidur tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. Mimpi buruk seolah menghantuinya di dalam lelap, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk menyadari kenyataan.Pagi harinya, Sefia terbangun dengan kepala terasa berat. Matanya perlahan terbuka, dan cahaya pagi yang menembus jendela menyilaukan pandangannya. Sesaat, dia tidak tahu di mana dia berada. Tempat ini asing. Aroma ruangan berbeda dari kamarnya sendiri, tapi ada sesuatu yang lebih mengganggu daripada itu.Sefia mengerjap, mengedipkan kedua netranya berkali-kali, mencoba meraih ingatan tentang apa yang terjadi malam sebelumnya. Detik-detik berlalu sebelum dia akhirnya menyadari bahwa ada seseorang di sampingnya. Dia menoleh perlahan, dan matanya membelalak seketika ketika melihat Dokter Siberu yang sedikit gempal berbaring di sebelahnya—dan mereka berdua… dalam keadaan polos."APA?!" Sefia melompat dari ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut sambil menatap pria gempal itu dengan ngeri. Jantu
Dokter Siberu menghentikan langkahnya dan hanya menggeleng, masih dengan tatapan yang mengerikan tenangnya. "Kau tak ingin melakukan itu, Sefia. Percayalah. Semua ini akan menjadi lebih buruk bagimu."Kata-katanya terhenti di tenggorokan Sefia. Ancaman yang tak tersirat itu membuatnya merenung sejenak. Apa yang dimaksud Dokter gila itu? Apakah dia memiliki sesuatu yang lebih besar di tangannya?Dia mundur lebih jauh, menjauhi Dokter Siberu seakan keberadaannya adalah racun. "Kau tidak akan lolos begitu saja," gumamnya, suaranya rendah namun jelas.Dokter Siberu tertawa kecil lagi, kali ini lebih dingin. "Sefia, dunia ini bukan hitam dan putih. Kadang, kita harus melakukan hal-hal yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya... untuk bertahan hidup."Sefia membulatkan kedua matanya yang bening, menatapnya dengan tatapan benci yang menusuk. "Apa maksudmu?"Dokter Siberu mendekat, dan untuk pertama kalinya Jean bisa merasakan aura gelap yang mengelilingi
Tangannya mulai menggosok kulitnya dengan kasar, seolah ingin menghapus setiap tanda yang tertinggal dari malam itu. Setiap kali tangannya menyapu kulitnya, semakin kuat dorongan untuk menghilangkan rasa jijik itu.“Kenapa harus aku?” gumamnya dengan nada penuh kebencian, air mata perlahan menggenang di pelupuk matanya.“Gara-gara wajah ini, aku terpaksa melayani pria hidung belang yang menjijikkan. Semua ini gara-gara Nayla!”Sefia semakin menggila, menggosok kulitnya hingga memerah, bahkan lecet. Air di kamar mandi mengalir bercampur dengan sisa busa sabun, tapi rasanya tidak cukup.Bekas-bekas cupang itu seakan terus menempel di sana, menjadi pengingat yang menyakitkan dari penghinaan yang dia alami."Aarghhh!" teriak Sefia dalam frustasi."Tidak seharusnya aku terjebak dalam semua ini," katanya dengan suara yang semakin keras, seperti meyakinkan dirinya sendiri. "Seharusnya Nayla yang menanggung ini semua, bukan aku!"Air mata akhirnya jatuh, bercampur dengan air yang mengalir dar
Gadis itu langsung bergegas lari keluar, tetapi sesaat kemudian dia berbalik dan memberikan pelukan serta sebuah ciuman kecil di kening Zavier, "terima kasih, Papa."Usai kepergian Joen, Zavier melihat ke arah Mando, "apa yang kamu tunggu?"Mando menatap majikannya dengan mimik serius dan mengangkat kedua tangannya tanda tidak mengerti, "maaf, Tuan. Saya juga tidak mengetahui bagaimana cara membuat kue coklat.""Terus apa yang kau tunggu? Kita ke dapur dan cari tahu. Pelayanku banyak dan salah satu dari mereka bisa mengajariku, bukan?"Mereka berdua menuju dapur, dan Zavier memulai semua yang harus dia pelajari secara mendadak.Mando melihat kekacauan yang terjadi dan tertawa kecil melihat seorang CEO yang ditakuti oleh banyak pesaing bisnis sedang berkutat dengan berbagai macam alat membuat kue. Di wajah tampan itu bahkan terdapat banyak tepung dan sisa coklat, namun apa yang dia lakukan masih juga tidak membuahkan hasil yang seperti diinginkan.Kue coklat yang dihasilkan malah terke
Tidak ada yang tahu bahwa Zavier sudah berada di sekitar lingkungan sekolah, tetapi dia masih sibuk menghubungi beberapa pihak di sekolah agar memindahkan lokasi acara. Lokasi di lapangan bola basket membuat mereka akan kesusahan untuk menukar kue coklat yang diperlombakan.Zavier mengakui tidak memiliki kualitas untuk membuat kue coklat. Pria dewasa itu sama sekali tidak pernah melirik kue yang dimakannya karena tidak ada nilai saham di dalamnya.Tiba-tiba Mando berlari mendekati kursi roda Zavier, "T-tuan..."Zavier menengadahkan kepalanya karena kecewa. Wajahnya memerah, masih memegang ponsel di tangannya, dia tidak berkuasa untuk memindahkan acara lomba memasak itu. Alasan dari pihak penyelenggara adalah bahwa acara sudah berlangsung sejak pagi dan akan menghabiskan banyak waktu apa bila memindahkan acara."T-tuan," panggil Mando dengan napas terengah-engah."Katakan!""Tuan, tidak usah lagi membatalkan acara, N-Nyonya Nayla sudah muncul!"Zavier menurunkan ponselnya, "A-apa?!"Ma
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu