Bram terdiam sejenak, terkejut melihat perubahan mendadak dalam sikap Nayla. "Nayla?" panggilnya, berharap ada respons. Namun, Nayla tetap diam. Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya kekosongan. Bram memandang wanita yang terbaring di hadapannya, tubuhnya seakan sudah tidak bernyawa, seperti boneka tanpa jiwa.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Bram dengan nada frustrasi. "Berkata sesuatu! Melawanlah!"
Namun, Nayla tetap tidak bereaksi. Dia tahu, satu-satunya cara untuk menghindari keinginan Bram adalah dengan menjadi sesuatu yang tidak menarik baginya. Seorang robot tanpa emosi. Perlahan-lahan, gairah di mata Bram mulai memudar. Tatapan Nayla yang kosong membuatnya merasa tidak berdaya. Semua keinginannya tiba-tiba lenyap.
"Apa yang kau lakukan, Nayla?" tanya Bram lagi, kali ini suaranya terdengar lebih lembut, hampir memohon. "Jangan seperti ini..."
Tapi Nayla tetap diam, matanya menatap jauh ke langit-langit, seolah-olah dia tidak lagi berada di sana, seolah-
Nayla hanya menatap Bram tanpa ekspresi, tidak mengatakan sepatah kata pun. Bram akan melanjutkan dengan ceritanya tentang aktivitas hariannya, menceritakan kejadian-kejadian di rumah sakit, atau hanya berbicara tentang hal-hal kecil yang dia lakukan. Meski Nayla tidak merespons, Bram merasa bahwa berbicara adalah cara untuk tetap terhubung dengannya, bahkan jika Nayla tidak merasakan apa-apa.Malam hari, Bram akan memastikan Nayla sudah siap untuk tidur dengan nyaman. Dia akan membantunya ke tempat tidur, mengatur selimut dengan lembut, dan duduk di sampingnya sebentar, mengusap rambut Nayla dengan penuh kasih sayang. "Selamat malam, Nayla," bisiknya. "Aku akan selalu ada di sini untukmu."Bram tidur di samping Nayla setelah mencium bibirnya dengan lembut. Sementara Nayla hanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Dia tidak lagi merasa seperti dirinya sendiri. Setiap hari berlalu dengan rutinitas yang sama, tanpa perubahan signifikan. Bram terus memberik
Bram menghela napas panjang, menutup matanya di bawah aliran air. Dia mencoba berpikir jernih, tetapi bayangan Nayla yang tidak berdaya terus menghantui pikirannya. Dia tahu dia harus memperlakukan Nayla dengan hati-hati, tetapi perasaannya yang mendalam dan gairah yang tidak terpuaskan membuat segalanya semakin rumit.Saat Bram keluar dari kamar mandi, dia merasa sedikit lebih tenang, tetapi perasaannya tetap memburuk. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa Nayla tidak akan pernah bisa meresponsnya dengan cara yang dia inginkan. Dan meskipun dia mencoba sekuat tenaga untuk menunjukkan kasih sayang dan perhatian, dia merasa terjebak dalam siklus yang tidak bisa diubah.***Sefia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang kini terasa begitu asing. Wajahnya, yang dulu dipuja banyak orang, kini dipenuhi luka dan daging yang tidak rata akibat luka bakar yang parah. Setiap kali ia menyentuh kulitnya yang kasar, hatinya terasa lebih pedih daripada rasa sakit
Sefia, tanpa sadar, telah memberinya jalan keluar. Ketika Sefia pergi ke luar negeri untuk operasi plastiknya, Zavier bisa memanfaatkan momen ini. Dengan bantuan orang-orang kepercayaannya, dia akan mulai mencari keberadaan Nayla—menggali setiap petunjuk yang selama ini terpendam.“Baiklah, aku akan mengurus semuanya sebelum pergi,” kata Sefia sambil berdiri, merasa lega karena Zavier tidak memberikan perlawanan.Saat Sefia beranjak, Zavier menatap punggungnya dengan tenang. Dia tahu, ini mungkin satu-satunya kesempatan yang dia miliki. Waktu yang terbatas, namun cukup baginya untuk menemukan Nayla dan mengungkap semua rahasia yang selama ini tersembunyi."Pertama, aku harus menemukan Cahyo," gumamnya pelan dengan senyuman misterius.***Cahyo duduk di dalam kamarnya yang sempit, memandangi sebatang rokok yang hampir habis di tangannya. Asap tipis membumbung, memenuhi udara di sekitarnya. Pikirannya melayang pada sosok Kayla&mdash
Cahyo merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Kayla. Dia meraih tangan Kayla, merasakan kelembutan kulitnya di telapak tangannya. "Aku juga merasa begitu, Kayla. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku bisa merasakan hal ini, terutama dengan seseorang sepertimu."Kayla memandang Cahyo dengan penuh kehangatan, jari-jarinya melingkari tangan Cahyo. "Aku tahu kita memiliki perbedaan, tapi aku tidak bisa menolak perasaan ini. Aku merasa terhubung denganmu, meskipun mungkin ada banyak hal yang harus kita hadapi."Cahyo merespons dengan lembut, menatap dalam-dalam ke mata Kayla. "Aku merasakan hal yang sama. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa seperti dunia ini hanya milik kita."Kayla tersenyum lembut, lalu perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Cahyo. Dengan gerakan yang sangat lembut, mereka saling mendekat, dan bibir mereka akhirnya bersentuhan dalam ciuman yang lembut dan penuh perasaan. Ciuman itu terasa seperti sebuah janji, sebuah pengakuan dari perasaan yang
Cahyo menunduk, napasnya memburu. Ia tahu bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Zavier telah menangkapnya dalam keadaan terburuknya—lemah, tergoda, dan tak berdaya. Cahyo menggigit bibirnya, berusaha menemukan keberanian untuk menjawab."Saya... saya tidak tahu keberadaan Nayla, Tuan Zavier," jawab Cahyo terbata-bata, suaranya parau. "Tapi... saya tahu di mana Mando."Nama Mando membuat Zavier terkejut. Dia mengira Mando, salah satu pengawalnya, sudah lama menghilang. Namun, jika Cahyo tahu di mana Mando berada, ini bisa menjadi petunjuk penting untuk menemukan Nayla. Cahyo mungkin memang tidak tahu langsung di mana Nayla bersembunyi, tetapi Mando... Mando bisa menjadi kunci."Dia tidak mati?"Zavier menghela napas panjang, berpikir cepat. Mando selalu bekerja dalam bayang-bayang, sulit ditemukan dan lebih sulit dipahami. Namun, jika Cahyo memiliki informasi tentang keberadaannya, Zavier tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.Cahy
Zavier menutup hidung karena bau yang menyengat keluar dari dalam ruangan. Kursi roda Zavier digerakkan masuk, diikuti oleh Cahyo yang kini tampak sangat ketakutan.Mando menatap Zavier yang duduk di kursi rodanya. "Tuan Zavier, Nyonya Kayla... dia yang mengurungku," ucap Mando dengan suara rendah. "Aku tahu Anda akan mencariku cepat atau lambat dan menemukanku."Mando tidak berkuasa untuk bangkit dari tempat tidur kumuh yang dia tempati saat ini."Apa yang terjadi padamu?" tanya Zavier dengan penuh simpati, melihat keadaan Mando yang tidak terawat.Belum sempat Mando menjawab apa pun, Zavier memicingkan mata, menatap Mando. "Apakah kau tahu tentang Nayla dan keberadaannya?"Mando tertawa kecil, seolah pertanyaan itu sudah ia duga. "Nayla? Apakah Tuan tidak bersamanya?"Mando menoleh ke arah Cahyo, "Seharusnya dia tahu."Zavier gegas menoleh ke arah Cahyo, mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak berteriak. "Jangan main-main
"Bekerjasamalah untuk kebaikanmu. Bukankah kamu suka menjadi seorang Dokter?" Zavier mengeluarkan semua kata-katanya dengan tegas dan jelas.“Bagaimana bila aku ingin lebih dari sekadar uang, Zavier,” sahut Bram akhirnya, suaranya terdengar datar. “Aku butuh jaminan bahwa setelah ini, kau tidak akan mencariku lagi. Tidak ada yang akan mencariku sama sekali. Aku akan menghilang, dan kau tidak akan pernah mendengar namaku lagi.”Zavier tersenyum kecil. “Itu bisa diatur. Setelah aku menemukan Nayla, urusanku denganmu selesai. Aku tidak punya alasan untuk mencarimu lagi.”Dokter Bram terdiam, terlihat berpikir. Tawaran Zavier sangat sulit untuk ditolak, terutama ketika ia tahu bahwa hidupnya tak akan bertahan lama jika ia terus-terusan dikejar tanpa sumber daya yang cukup."Katakan, apa yang kau inginkan?" tanya Zavier, mulai tidak sabaran."Semua asetmu di Kyoto!" ucap Bram dengan nada tinggi."A-apa?" Zavier
Sejumlah anak buah Zavier segera bergerak sesuai instruksinya. Zavier tahu bahwa Bram tidak akan mudah dilacak—dia licin, cerdas, dan sangat pandai menutupi jejaknya. Tapi Zavier memiliki jaringan yang luas, dan dia akan menggunakan semua sumber dayanya untuk menemukan pria itu.Ketika tim bersiap, Zavier duduk diam sejenak, berusaha mengendalikan amarahnya yang meledak-ledak. Ia menatap ke arah langit, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Nayla. Wanita itu pasti telah melalui neraka selama ini, dan dia tidak ada di sana untuk melindunginya. Perasaan bersalah menyelinap di dalam dirinya, tetapi kemarahan lebih besar dari itu. Bram harus membayar untuk semua ini—setiap pengkhianatan, setiap kebohongan.Setelah tim siap, Zavier memerintahkan mereka untuk menyisir area rumah Bram. Mobil Bram terlihat parkir di depan halaman rumah mewah itu.Mereka akan memulainya di rumah Bram, tetapi Zavier tahu Bram pasti sudah memperkuat pengamanannya. Ia tidak bisa m
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu