"Terima kasih karena sudah mau datang untuk berpartisipasi," ucap Nayla, menerima uluran tangan dari Sefia.
"Nayla, aku ingin memberikan sesuatu untukmu." Zavier mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berwarna merah.
"Ini apa?"
"Bukalah..." sahut Zavier dengan senyuman tulus.
Perlahan, Nayla membuka kotak merah itu dan kedua matanya membulat sempurna.
Sebuah kalung berlian dengan batu permata hijau di tengahnya.
"Ini indah sekali," ucap Nayla dengan tatapan tidak percaya.
Zavier segera meraih kalung tersebut dari kotaknya lalu mengalungkannya ke leher Nayla, sementara Sefia menatap kemesraan mereka dengan penuh rasa kecemburuan.
Malam ini bukan hanya tentang konser; ini adalah malam di mana Nayla akan menerima hadiah besar dari Sefia—sebuah hadiah yang akan mengubah segalanya.
"Dia akan tamat hari ini," gumam Sefia dengan senyuman penuh arti.
Pada saat di ruangan konser, Sefia menatap ke arah langit-langit, di
Beberapa penggemar melempar bunga dan ada yang melempar boneka serta hadiah lainnya. Para kru segera keluar untuk mengumpulkan hadiah yang berlimpahan di lantai agar tidak menganggu gerakan Nayla dalam acaranya.Senyum lembut menghiasi wajah Nayla saat ia memandang ke arah ribuan penonton yang hadir malam itu. Dengan anggun, dia meraih sebuah buket dan melambaikan tangan ke arah penggemarnya."Saya juga mencintai kalian. Tanpa kalian, Nayla hanya seorang Ibu biasa, seorang istri yang mencintai suaminya," ucap Nayla lalu melihat ke arah Zavier dengan senyuman tulus."Sebelum memulai acara ini, saya sungguh ingin berterima kasih kepada semua yang sudah hadir, lihat ... suamiku ada di sana bersama anak-anakku," ucap Nayla dengan bangga."Saya sungguh mencintai mereka, sama seperti saya sudah memberikan semua cintaku untuk kalian," lanjutnya.Para penonton bertepuk tangan riuh karena merasa terharu dengan ketulusan dan perasaan cinta yang tersampaikan.
Zavier memandang ke atas, matanya melebar saat melihat lampu besar yang tadinya hanya bergetar, kini terlepas dari gantungannya dan mulai jatuh dengan kecepatan yang mengerikan.Zavier tahu bahwa dia tidak punya banyak waktu. Tanpa berpikir panjang, ia meraih Nayla dengan kedua tangannya, menariknya dengan paksa dari posisi di bawah lampu. Tapi sayangnya, gerakan cepat Zavier tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya sendiri.Bam!"Zavier!"Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, lampu besar itu menghantam panggung dengan suara yang memekakkan telinga."AAaa!""Aaargh!"Terdengar teriakan histeris dari para penonton.Nayla yang berhasil ditarik oleh Zavier ke tepi panggung, dia hanya bisa menjerit saat melihat tubuh Zavier terjatuh di atas panggung. Lampu itu menghantam punggung Zavier dengan keras, membuat tubuhnya terjerembab ke bawah. Suara jeritan penonton bergema di seluruh ruangan, membuat sebuah kekacauan yang
Di tengah kekacauan itu, Sefia berdiri di antara kerumunan, menyaksikan semuanya dengan ekspresi datar.Ia melihat bagaimana rencananya berjalan dengan sukses, meskipun hasilnya tidak seperti yang ia bayangkan. Bukannya Nayla yang hancur, justru Zavier yang menjadi korban.Hatinya merasa hancur, karena pria itu tetap masih memberikan nyawa terakhirnya untuk Nayla.Cintanya tidak pernah ada untuk Sefia sama sekali. Sefia menatap mereka dengan perasaan yang campur aduk dan mata penuh sklera merah.Setelah menyaksikan kejadian yang mengerikan itu, Sefia merasakan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—perasaan bersalah yang begitu kuat hingga mengguncang seluruh keberadaannya."Zavier, aku tidak mau kehilanganmu," gumamnya dengan suara kecil yang penuh kekhawatiran.Ia yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini berada di ambang kehancuran emosional. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Zavier yang terbaring tak berdaya di pa
“Tidak, Bayu! Aku yang salah! Aku yang membuat keputusan ini! Aku yang memerintahkanmu! Seharusnya aku tidak pernah melakukan ini!” Sefia berteriak di antara isak tangisnya, suaranya penuh dengan penyesalan yang mendalam.Bayu hanya bisa memeluk Sefia lebih erat, membiarkan wanita yang biasanya begitu kuat dan tegar itu menangis dalam pelukannya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menghapus perasaan bersalah yang begitu dalam di hati Sefia."Masuklah terlebih dahulu dan tenangkan dirimu."Dengan lembut, dia menuntun Sefia masuk ke dalam rumahnya.Waktu seolah berhenti bagi mereka berdua. Hanya ada suara tangisan Sefia yang memenuhi udara di sekitar mereka. Sefia merasa seperti seluruh dunianya runtuh. Semua yang ia rencanakan, semua ambisinya, kini terasa begitu hampa. Ia merasa seperti telah kehilangan segalanya—terutama dirinya sendiri.“Apa yang telah aku lakukan, Bayu?&rdquo
Bayu mengangkat alis, bingung. "Pergi ke mana?""Ke rumah sakit," jawab Sefia dengan nada pasti sambil berusaha bangkit dari tempat tidur. "Aku harus melihat Zavier. Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama."Bayu menggelengkan kepala, segera menghampirinya dan menahan bahunya. "Kamu gila? Lihat dirimu sendiri, kamu demam tinggi! Kamu bahkan hampir tidak bisa berdiri tegak!"Sefia mengabaikannya, memaksa diri bangkit, namun tubuhnya goyah. Pandangannya berputar sejenak, dan ia hampir jatuh jika Bayu tidak sigap menahannya.Sefia mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa tubuh bagian bawahnya juga terasa nyeri, dia menoleh ke arah Bayu dengan mimik kesal."Kau memanfaatkan kesempatan saat aku sedang sakit seperti ini?!" pekik Sefia lalu menendang pria itu sekali lagi dengan kakinya sehingga Bayu terhempas ke lantai."Aooww!" pekik Sefia memegang pinggangnya yang terasa remuk. Dia sama sekali tidak menyadari bagaimana Bayu masih juga memanfa
Sefia mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan bahwa ia memang harus merawat dirinya terlebih dahulu. Ia merasakan hangatnya teh yang mengalir ke dalam tubuhnya, sedikit demi sedikit mengurangi rasa dingin dan gemetar yang tadi menghantuinya."Terima kasih, Bayu," ucap Sefia akhirnya, dengan suara yang lebih tenang.Bayu hanya tersenyum, tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu kata-katanya sudah cukup. Yang penting sekarang adalah memastikan Sefia pulih, sehingga mereka bisa menghadapi semua ini bersama.Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan dalam keheningan pagi itu, sementara dunia di luar terus berputar dengan segala masalahnya.Sementara itu, di rumah sakit, Zavier tengah menjalani operasi yang berlangsung sangat lama. Ruang operasi dipenuhi dengan suasana tegang. Lampu-lampu terang memancar di atas meja operasi, menerangi tim medis yang bekerja dengan fokus dan ketelitian tinggi. Suara alat monitor yang berdenging teratur seakan mengikuti r
"Aku sudah gagal sebanyak dua kali, ditipu oleh Sefia dan kali ini, aku harus ada di sampingnya setiap detik!""Aku tidak ingin saat Zavier bangun dan Sefia kembali muncul dan semua salah paham ini semakin rumit!"Mando hanya mengangguk pelan, memahami kegigihan Nayla. "Kalau begitu, aku akan tetap di sini bersama Anda. Setidaknya, Anda tidak sendirian menunggu," katanya sambil berdiri di samping Nayla.Waktu berlalu dengan lambat, menit demi menit terasa seperti jam. Ketegangan semakin terasa ketika seorang dokter keluar dari ruang operasi untuk kedua kalinya, mengenakan masker dan seragam hijau yang penuh dengan keseriusan. Nayla segera menghampiri, wajahnya dipenuhi kecemasan."Dokter, bagaimana keadaannya?" tanya Nayla cepat, suaranya lirih namun penuh harap.Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Keadaannya masih kritis, Bu Nayla. Kami sudah melakukan prosedur utama untuk menghentikan pendarahan, tetapi kami harus menunggu dan me
Ia tidak bisa lagi menahan diri. "Bayu, aku harus tahu bagaimana keadaannya!" ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar.Bayu menghela napas panjang. "Sefia, kamu belum kuat," jawabnya dengan lembut namun tegas. "Aku paham, kamu khawatir. Tapi kamu juga harus pulih dulu."Namun, Sefia tak mau mendengarkan. "Aku akan menelepon rumah sakit," katanya sambil berusaha meraih ponselnya. Tangannya sedikit gemetar, menandakan betapa kuat emosinya saat ini.Setelah beberapa kali nada sambung, telepon diangkat oleh seorang perawat. "Halo, ini dari unit bedah rumah sakit. Ada yang bisa kami bantu?" suara di seberang terdengar formal.Sefia menghirup napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Saya Sefia, keluarga dari Zavier yang sedang dioperasi. Saya ingin tahu bagaimana kondisinya."Perawat itu terdiam sesaat sebelum menjawab, "Operasi masih berlangsung, Bu Sefia. Kondisinya stabil, namun dokter sedang menangani cedera di kepala dan punggung yang cukup
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu