Tiba-tiba Nayla merasa pandangannya kabur dan dia mual. Dengan langkah cepat, dia berlari ke kamar mandi hanya untuk menumpahkan semua isi perutnya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Cintya dengan penuh kekhawatiran.
"Tidak masalah, aku hanya kurang menjaga makan belakangan ini. Berikan aku obat sakit maag."
"Baiklah."
"Aku harus tampil sehat di acara besok malam, aku ingin berada di sana sebagai Ibu Joen," tegas Nayla di depan cermin yang memantulkan dirinya yang memiliki wajah kusut dan layu saat ini.
***
Suasana pesta ulang tahun Joen sangat meriah. Rumah Zavier dipenuhi dengan dekorasi berwarna-warni, balon, dan lampu yang berkilauan. Musik ceria menggema di seluruh ruangan, dan tamu-tamu tampak menikmati suasana.
Joen, yang berusia tujuh tahun, terlihat sangat bahagia dikelilingi oleh teman-teman dan keluarga. Fernando, dengan senyum lebar, tampak seperti kakak yang penuh perhatian saat membantu Joen menerima hadiah-hadiah lalu menyus
Joen mengenggam lengan jas Fernando dan memanggilnya dengan suara kecil, "kak Fernando.""Kamu sudah lihat bukan?"Zavier menatap Nayla dengan senyum puas dan penuh kemenangan. “Kita akan menyelesaikan ini di pengadilan. Sekarang, pergilah sebelum aku memanggil keamanan.”"T-tapi, dia bukan milikmu, Zavier! Aku yang melahirkannya!""Kamu bahkan tidak melakukan apa pun pada saat aku hamil dan saat dia dilahirkan secara prematur, lalu kamu-""Itu karena kamu membohongiku, Nayla! Mengapa kamu tidak pernah mengatakan bahwa anak yang kau kandung adalah milikku, bukan milik Michael?!" sela Zavier."Bagaimana aku bisa tahu kamu tidur dengan siapa?!"Nayla merasa hatinya hancur mendengar perkataan Zavier, di depan anaknya, di depan semua orang.Nayla merasa malu saat melihat Joen mengalihkan pandangannya dan mengikuti Fernando, sementara Zavier berdiri dengan sikap yang mengesankan bahwa dia telah memenangkan pertempuran in
Nayla tersadar setelah mendengar perkataan Mando yang penuh penekanan. Dia mengangguk lemah lalu mengikuti Mando dan Chayo dengan patuh keluar dari ruangan pesta yang mewah itu.Dengan langkah lesu, Nayla meninggalkan pesta tersebut, merasakan berat hati yang mendalam saat dia keluar dari rumah Zavier. Di luar rumah, hujan kembali turun dengan deras, mencerminkan suasana hatinya yang suram."Kejam sekali kamu, Zavier! Aku... aku tidak akan pernah memaafkanmu!" pekik Nayla di tengah hujan yang turun.Di luar, Nayla berdiri di tepi jalan dengan hujan yang membasahi tubuhnya, tak tahu harus ke mana. Ia merasa terputus dari segala sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Melihat Joen bahagia di sisi ayahnya dan Fernando, ia merasa ada lubang besar yang menganga dalam hidupnya.Nayla mengigit bibirnya sendiri dan menolak di antar pulang oleh Cahyo ataupun Mando.Nayla memutuskan berjalan kaki, padahal ada taksi dan bus yang lewat tetapi karena dia sendiri t
"Kupikir kamu menyuruh mengundang semua orang. Saya juga mengundang Kayla. Ibu Tirimu itu memiliki dua hari cuti, jangan kamu mengusir wanita tua itu juga. Dia hanya ingin melihat cucunya."Zavier mencebik, dia tidak pernah mengharapkan kedatangan wanita itu juga."Joen bukan cucunya," sahut Zavier dengan ketus."Memangnya siapa cucunya? Dia sudah tua, aku berharap dia bisa menikmati waktu-waktu terakhirnya bersama dua cucu, Fernando dan Joen. Bukankah kamu menginginkan aku menerima Joen sebagai putriku juga?"Zavier mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Sefia yang penuh dengan penekanan. Dia melonggarkan dasinya lalu menghempaskan pantatnya dengan kasar ke atas sofa.Dia bingung bagaimana cara menceraikan Sefia. Sementara kepada Nayla, dia juga tidak mengharapkan sebuah perceraian. Kepada Sefia, dia merasa berhutang sebuah status karena sudah bersama dengannya sejak kecil.Sefia sudah menjadi kekasihnya sejak dia masih sekolah menengah
Setelah cukup merekam, dia memulai mengambil foto. Layar kamera pada ponselnya mengeluarkan suara "klik" pada saat mengambil foto. Membuat Nayla tersadar.Nayla membuka mata dan terduduk tegak, "siapa?"Mendengar itu, pengutit segera menyimpan ponselnya dan berencana melarikan diri.Nayla merasa tidak nyaman dan segera berdiri, meraih handuk untuk membalut dirinya. Namun, saat dia hendak keluar dari bathtub, dia terpeleset karena licin."Aarghh!"Byurrr!Nayla tercebur kembali ke dalam bathtub. Keningnya terantuk di pinggiran bathtub.Pria tadi segera berbalik pada saat mendengar jeritan Nayla, padahal dia sudah hampir sampai di pintu keluar rumah."Nayla?"Dia segera berlari masuk kembali ke kamar mandi dan menemukan Nayla sudah pingsan karena kepalanya terantuk tepian bath tub. Dar*h mengucur sedikit dari kening sebelah kiri Nayla."D-dia tidak berpakaian... "Pria pengutit yang memiliki sifat malu
"Dia mandi hujan dan terlihat sedang putus asa dalam keadaan basah kuyub masuk ke dalam rumah tanpa mengunci pintu, a-aku hanya masuk dan mengecek keadaan."Kedua mata Zavier memerah dan menatap Nayla dalam-dalam, sebuah luka di kening wanitanya membuat hati Zavier merasa hancur.Zavier mengetatkan rahangnya."Mando, keluarkan matanya karena dia sudah melihat tubuh istriku!"Mendengar perkataan Zavier, kedua mata pria itu terbelalak."Tapi, Tuan. Aku benar-benar menutup mataku! Aku tidak melihat apa pun, juga mati lampu, aku tidak bersalah!" teriak pria itu, mencoba membela dirinya."Keluar!" Suara Zavier terdengar dan mengelegar seiring petir yang masih bersahutan.Suara ribut membuat Nayla perlahan tersadar dari pingsannya, "lepaskan dia, dia hanya menolongku," ucapnya dengan suara lemah.Mando menghentikan langkahnya dalam menyeret pria itu dan menatap ke arah Nayla lalu ke arah Zavier bergantian. Menunggu perintah selanjutn
Belum sempat Nayla menjawab, suara ketukan pintu membubarkan perseteruan mereka."Tuan, paramedis sudah tiba."Nayla mendorong tubuh Zavier lalu segera melanjutkan, memakai pakaiannya, "aku sedang sakit. Pergilah!"Zavier mengamati Nayla dengan wajah yang penuh keraguan, hatinya bergejolak antara kemarahan dan kepedihan. Dengan berat hati, dia mundur beberapa langkah, memberikan ruang pada Nayla untuk berpakaian."Tapi Nayla, kita perlu bicara—" Zavier mulai, tapi Nayla sudah memotongnya."Tak ada lagi yang perlu dibicarakan," jawab Nayla dengan nada tegas, namun penuh kesedihan. "Aku hanya ingin diriku sendiri saat ini.""Perceraian ini memang sudah harus terjadi dan aku sudah siap memberikan Joen untukmu, memangnya apa lagi yang kamu inginkan selain itu?"Zavier menatap Nayla yang sudah merebahkan tubuhnya di ranjang dengan tatapan penuh penyesalan. Rasa bersalah menyelinap dalam dirinya, membuatnya merasa seolah dia adalah pe
"Aku tidak menginginkan kepura-puraan lagi," lanjut Nayla dengan tegas.Zavier mengangguk, menghormati keinginan Nayla. "Aku akan memberimu waktu. Aku akan menunggumu, karena aku percaya kita bisa melewati ini bersama."Zavier merapatkan dirinya dan memberikan ciuman hangat di kening Nayla lalu mencium bibir lembut wanita itu, namun Nayla segera mendorong kecil tubuhnya sehingga hanya ada ciuman singkat."Pergilah. Aku butuh istirahat."Zavier mengangguk dan keluar dari kamar dengan patuh.Sepeninggalan Zavier, Nayla melirik tangannya yang terpasang infus."Cuih!" Nayla mendesis."Dia hanya ingin memenangkan pengadilan perebutan hak asuh!"Sementara Zavier menyuruh Mando meninggalkan rumah Nayla. Dia memutuskan untuk tinggal di rumah Nayla untuk menjaganya. Dia tahu, Nayla pasti tidak menginginkan keberadaannya di rumah itu, jadi dia memutuskan untuk tidur di sofa, di luar kamar Nayla.***Keesokkan harinya, Zavie
Di dalam kamar mandi, Nayla tak bisa lagi menahan rasa malunya ketika Zavier menyiapkan segalanya untuknya. Suara air yang mengalir membuat keheningan di antara mereka semakin terasa. Nayla mencoba menghindari tatapan Zavier, tapi suaminya yang berdiri di dekatnya hanya tersenyum kecil."Tak usah malu," kata Zavier dengan lembut, mencoba menghilangkan ketegangan di antara mereka. "Kita adalah suami istri. Aku sudah pernah melihat segalanya tentangmu, Sayang!"Nayla merasa wajahnya semakin panas mendengar kata-kata itu. Dia tahu Zavier berusaha membuatnya merasa nyaman, tetapi situasi ini benar-benar memalukan baginya. Namun, ada juga sesuatu yang lain—rasa nyaman yang muncul dari perhatian Zavier. Sesuatu yang mungkin sudah lama tak ia rasakan dan dia harus mengakui bahwa dia merindukan semua itu.Zavier tetap tenang, menunggu hingga Nayla selesai. Dia tahu, meski mereka sudah bertahun-tahun bersama, ada momen-momen yang memang selalu membawa canggung. Tap
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu