Di rumah mewah Zavier, Sefia duduk di ruang tamu dalam kesendirian, menatap layar televisi dengan perasaan campur aduk.
Terlihat di layar mewah itu, Nayla sedang tampil di konser yang sangat dinantikan para penggemarnya. Suaranya yang merdu memenuhi ruangan, memancarkan karisma yang memikat jutaan penggemar.
Sefia mengepalkan kedua tangannya dengan erat, merasa hatinya hancur. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Nayla, bisa mencapai kesuksesan sebesar ini.
“Bagaimana bisa dia jadi seperti ini?” bisik Sefia pada dirinya sendiri.
Sesaat kemudian, Kayla keluar dari kamar dan menghampiri Sefia. "Ada apa?"
"Lihat, wanita itu ternyata masih hidup, bahkan dia sekarang terkenal!"
Kayla segera duduk di sebelahnya dengan tatapan dingin. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam terhadap Nayla sambil menatap dalam-dalam ke layar telivisi.
"Bagaimana wanita licik itu bisa menjadi penyanyi sesukses ini?" gumam Kayla dengan nada
Sefia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku merasa kamu semakin jauh dariku akhir-akhir ini. Apa yang sebenarnya terjadi?"Zavier menghela napas panjang dan memijit kepalanya. "Maafkan aku, Sefia. Aku hanya punya banyak pikiran akhir-akhir ini." Zavier tidak berbohong. Pria itu sedang berusaha menyelamatkan perusahaannya dari serangan perusahaan Nayla.Mereka sedang perang ekonomi!Sefia menatap Zavier dengan mata berkaca-kaca. "Ini tentang Nayla, bukan? Aku tahu kamu masih memikirkannya."Zavier terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. "Sefia, aku tidak bisa menghapus masa laluku begitu saja. Nayla pernah menjadi bagian penting dalam hidupku.""Katakan saja, apa yang kamu inginkan. Aku sedang sibuk. Perusahaanku sedang mencari sesuatu yang tidak dimiliki perusahaan Nayla. Wanita itu ternyata hebat dan licik."Sefia mendekati dan duduk di pangkuan Zavier, mengalungkan tangannya ke leher Zavier dengan manja."Apakah k
Kayla tersenyum sambil menghitung uang yang sedang berada dalam genggamannya."Turuti saja nasehatku, bukankah selama ini rencanaku selalu berhasil?"Setelah berpikir beberapa hari, Sefia akhirnya memutuskan untuk mengikuti nasihat Kayla. Ia tahu bahwa menghubungi Bayu, mantan kekasihnya yang juga ayah biologis dari Fernando, bukanlah keputusan yang mudah.Banyak kenangan dan perasaan yang kembali muncul dalam pikirannya, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang perlu diambil demi masa depan Fernando.Putranya juga perlu mengenal Ayah Biologisnya!Sefia duduk di meja makan dengan secangkir kopi di tangannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat ia dan Bayu masih bersama. Mereka pernah memiliki hubungan yang indah, penuh cinta dan harapan. Namun, berbagai masalah dan kesalahpahaman akhirnya memisahkan mereka. Apalgagi saat perselingkuhan mereka diketahui oleh Zavier.Ketika Sefia mengetahui bahwa ia hamil, Bayu harus pergi dari hidupnya,
Bayu menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Aku mengerti. Ini memang banyak untuk dicerna sekaligus. Tapi aku ingin bertemu Fernando, aku ingin mengenalnya.""Mana mungkin ada pria yang tidak mengenal anak sendiri. Zavier mungkin bisa merasakan hal itu juga.""Hubungan dar*h tidak bisa ditipu begitu saja," lanjutnya.Mendengar itu, Sefia merasa sedih. "Terima kasih, Bayu. Aku juga ingin Fernando memiliki hubungan dengan ayahnya.""Kita bisa mengaturnya," sahut Bayu sambil mengenggam tangan Sefia dengan erat."Mari pesan makanan kesukaanmu," ucap Bayu, berusaha mencairkan suasana tegang di antara mereka.Mereka menghabiskan sisa waktu di kafe itu dengan berbicara tentang Fernando, bagaimana perkembangannya, dan seperti apa kehidupannya selama ini. Bayu mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami semua yang telah terjadi.Akhirnya, mereka mengatur waktu untuk pertemuan pertama antara Bayu dan Fernando. Sefia merasa gugup, namu
"Kenapa selalu kamu, Nayla? Apa yang kamu inginkan dariku sebenarnya?" bisik Zavier dalam hati. Di saat itu, ia menyadari bahwa pertarungan ini bukan hanya soal bisnis, melainkan juga soal hati yang hancur dan dendam yang terus berlarut-larut.Zavier menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Ia harus bangkit dan melawan, bukan hanya demi perusahaannya, tetapi juga demi dirinya sendiri. Zavier memutuskan untuk bertemu dengan timnya esok hari untuk membahas strategi baru. Mereka harus lebih kreatif, lebih inovatif, dan lebih cepat dari Nayla.Keesokan harinya, Zavier mengumpulkan seluruh timnya di ruang rapat. Wajah-wajah lelah dan penuh tekanan menatapnya dengan harapan. Mereka semua tahu betapa pentingnya proyek ini bagi kelangsungan perusahaan. Zavier memulai pertemuan dengan semangat yang tinggi, mencoba menularkan tekad dan keyakinannya kepada seluruh tim."Kita tidak boleh menyerah. Kita harus
"Ini belum berakhir, Nayla. Aku akan terus berjuang, bukan hanya demi perusahaanku, tapi juga demi diriku sendiri. Aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bisa bangkit dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya, aku akan memilikimu setelah ini, Nayla," gumam Zavier sambil memandang layar besar di hadapannya. Titik-titik merah yang menunjukkan letak 'green market' yang baru saja dibukanya dengan penuh kebanggaan.Di tengah persaingan yang semakin ketat, Zavier dan Nayla tidak menyadari bahwa mereka saling merindukan.Namun, untuk saat ini, Zavier dan Nayla masih harus berjuang dan membuktikan diri di dunia bisnis yang keras. Pertarungan ini belum berakhir, tetapi Zavier yakin bahwa dengan tekad dan kerja keras, ia bisa meraih kemenangan dan mencapai impian yang selama ini ia dambakan.Nayla menerima laporan mengenai Green Mart dengan senyuman tipis di wajahnya. Di balik senyumnya, ada rasa kagum yang tak bisa ia pungkiri. "Zavier memang tidak pernah mudah dikalah
Anggota tim yang lebih fokus pada analisis, segera mencatat beberapa poin penting tentang strategi Green Mart. "Mereka benar-benar fokus pada produk lokal dan organik. Ini sesuai dengan tren pasar saat ini yang lebih peduli dengan kesehatan dan lingkungan. Kita harus mencari cara untuk bersaing dengan pendekatan yang serupa atau bahkan lebih baik," ujarnya, namun Nayla sama sekali tidak memperhatikan laporan apa pun. Dia hanya fokus untuk memperhatikan gerak gerik Zavier sedari tadi.Sesekali melihat pria itu tersenyum karena digoda oleh pelanggan yang merupakan gadis-gadis berpakaian seragam sekolah.Entah mengapa, Nayla merasa kesal dengan apa yang tampak di hadapannya."Mengapa pria yang menjadi atasan itu mau menyamar sebagai petugas counter? Dia hanya membuat kharismanya hilang!" geram Nayla sambil merengut.Dia tidak tahu alasan Zavier menyamar adalah untuk mengetahui permintaan pasar. Pria itu memang terlahir sebagai seorang jenius dalam urus
Michael buru-buru memberikan minuman dan duduk di samping Nayla untuk memberikan tepukan ringan di punggungnya.Nayla menghela napas panjang. "Aku hanya merasa... aku tidak tahu. Mungkin aku terlalu terobsesi untuk menang darinya. Kadang aku merasa dia adalah satu-satunya penghalang bagi kesuksesanku."Nayla menatap kosong ke arah lain, menghindari tatapan penuh selidik yang dilayangkan Michael."Dia harus merasakan penderitaan yang kualami!" Suara Nayla terdengar seperti tercekik di tenggorokannya.Michael menyodorkan piring nasi goreng ke arah Nayla. "Makanlah dulu. Kamu butuh energi."Nayla mengambil garpu dan mulai makan. Mereka berdua makan dalam diam sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri.Kemudian, Michael melihat ada makanan bersisa di sudut bibir Nayla dan memungutnya lalu memakannya. Nayla kaget, "Eh, kenapa kamu makan sisaku?"Michael tersenyum dan menjawab, "Bibirmu selalu manis, makanan sisa pun akan te
Nayla tersenyum lemah. "Terima kasih, Michael. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."Michael mengelus kepala Nayla dengan penuh kasih sayang, "makanlah, sudah mulai dingin. Tidak enak nanti."Nayla mengangguk. Mereka melanjutkan makan dalam keheningan, namun perasaan di antara mereka semakin jelas.Michael sangat menyayangi Nayla dengan tulus, tapi Nayla masih terjebak dalam perasaannya terhadap Zavier. Malam itu, Nayla merenung lebih dalam tentang apa yang sebenarnya ia inginkan dalam hidupnya.Setelah selesai makan, Michael mengantar Nayla pulang. Di perjalanan, mereka berdua lebih banyak diam. Nayla merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaan Michael dengan tulus.Di depan pintu rumahnya, Nayla menatap Michael dengan mata penuh penyesalan. Wartawan tidak tahu mengenai rumah kecil milik Nayla karena dia memang ingin menghindar dari kejaran paparazi."Michael, aku..."Michael tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu