Terang lampu yang banyak dan suasana baru yang menghias hotel mewah tersebut membuat Zavier mengakui kekalahannya. Namun, untuk mengeluarkan biaya renovasi yang cukup besar, Zavier belum bisa melakukannya karena masih banyak persaingan yang dia alami di sektor lain. Dan dia harus mengurus semuanya dengan detail atau dia akan menjadi bangkrut.
Sekali lagi, Zavier melajukan mobilnya menuju ke kafe yang berada tidak jauh dari hotel tersebut. Kondisi kafenya sangat sepi, padahal kafe di seberangnya sangat ramai. Zavier merasa terpukul tetapi tidak bisa melakukan apa-apa.
Abraham bukan hanya memiliki satu hotel atau pun kafe, melainkan banyak. Akan tetapi, semua hotel dan kafe yang dia miliki, selalu memiliki kompetitor yang jeli sehingga di titik mana kafenya berdiri, maka di sana juga kompetitornya berdiri dan bersaing.
"Apakah ada yang sengaja mengundang kemarahanku?" gumam Zavier dengan marah di balik kemudi mobilnya. Zavier sengaja tidak keluar dari mobilnya han
Nayla, yang mendengar Zavier menyebutkan bahwa gadis kecil itu mungkin autis, menjadi sangat marah. Dia menatap Zavier dengan penuh kemarahan. "Jangan sekali lagi menyebut anakku dengan cara seperti itu!" serunya, suaranya penuh emosi."T-tapi dia ..."Tanpa peringatan, Nayla mengangkat tangannya, seolah-olah siap untuk menampar Zavier. Namun, Zavier cepat-cepat menahan tangan Nayla, wajahnya menunjukkan campuran antara kebingungan dan kerinduan yang mendalam."Maaf, Nayla. Aku hanya—" Zavier mencoba menjelaskan, tetapi kata-katanya tidak terdengar meyakinkan.Di bawah tekanan emosional yang mendalam, dia merasa terpaksa untuk mendekati Nayla dan mencoba menciumnya, berharap bisa menghubungkan kembali perasaan yang hilang dan berusaha untuk mendapatkan pengertian."Hmmmpt, lepaskan! Hmmpt!" Nayla menolak dan berusaha mendorong tubuh Zavier, tetapi kekuatannya kalah jauh.Zavier menaikkan tangan Nayla di atas kepalanya sehingga wanita i
Kembali ke ruang tender, Zavier dan Cahyo merasa tertekan oleh pengalaman yang baru saja terjadi. Keduanya berusaha menenangkan diri, mencoba untuk fokus pada presentasi tender yang harus mereka hadapi. Namun, Zavier merasa hatinya penuh dengan kegalauan dan rasa sakit setelah pertemuan yang penuh emosi di toilet.Ketika waktunya tiba untuk sesi presentasi tender, Zavier dan Cahyo memasuki ruang rapat dengan perasaan cemas. Mereka berdiri di depan panel juri, siap untuk menyampaikan proposal mereka. Namun, Zavier merasakan sesuatu yang tidak biasa di udara—sebuah ketegangan yang berbeda dari biasanya.Saat juri mulai memperkenalkan para peserta tender, Zavier terkejut saat nama Nayla diumumkan sebagai salah satu kompetitor utama. Wajah Zavier berubah pucat, dan hatinya berdebar kencang saat dia menyadari bahwa Nayla adalah pesaing terberat dalam tender tersebut."Ini tidak mungkin," gumam Zavier dalam hati, merasa seakan-akan dunianya terbalik. "Nayla di s
Dunia Zavier seolah runtuh di hadapannya. Itu adalah perusahaan milik Nayla. Dia merasakan kehampaan yang mendalam dan kecewa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Seluruh usahanya, perjuangannya, dan impian yang dia bangun selama ini kini terasa hancur berkeping-keping di hadapan mata.Nayla berdiri dengan senyuman kemenangan, sementara Michael dan Joen berdiri di sampingnya, memberikan dukungan. Zavier merasakan rasa sakit yang tajam dan mendalam melihat kehadiran keluarga tersebut, yang sepertinya sekarang telah mengambil semua yang dia miliki.Dengan langkah yang berat dan tergesa-gesa, Zavier segera meninggalkan ruang tender. Kekesalan dan amarah berkeliling di sekitarnya. Cahyo mengikuti langkah dari sang majikan dengan rutukan dalam hatinya."Seharusnya wanita itu tidak pernah hadir dalam kehidupan Zavier," geram Cahyo dalam hati.Rasa sakit dan kekecewaan melanda hati Zavier, dan dia merasa seperti terperangkap dalam kegelapan yang tidak a
"Apa-apaan sih kamu, Mando! Apakah belum cukup masalah yang ditimbulkan wanita itu?" Cahyo segera mengambil alih dengan mematikan radio itu."Hidupkan kembali, Cahyo. Aku ingin mendengar suaranya," perintah Zavier dengan mata memerah.Cahyo segera menghidupkan kembali radio tersebut, namun lagu yang dinyanyikan Nayla sudah habis dan diputar lagu lain."Ahhh, sudah habis. Kenapa kamu matikan tadi!" geram Zavier.Cahyo merasa serba salah, "s-saya coba mencarinya di channel lain."Mendengar itu, Mando tersenyum kecil lalu berkata, "cari di yutub saja, pasti ada."Cahyo segera membuka aplikasi dan mengkoneksikannya ke mobil, suara Nayla kembali mengalun dengan merdu."Andai kau disisiku 'kan kujaga kau slalu. Relung hati ini inginkan diri tuk terikat. Namun jiwa ini tak isyaratkan cintaku berbalas"Zavier tidak menyadari, air mata mulai membasahi pipinya. Dia menyesali karena tidak pernah memperlakukan Nayla dengan baik pada saat w
Zavier mengepalkan sebelah tangannya, karena merasa tidak berdaya dan menyesal sudah melepaskan Nayla dari sisinya. Ibarat mutiara yang sudah hilang dan menjadi milik orang lain."Tuan, mungkin Anda perlu beristirahat sejenak. Terlalu banyak memikirkan ini tidak baik untuk kesehatan Anda," saran Cahyo dengan hati-hati."Aku tidak bisa beristirahat, Cahyo. Setiap kali aku menutup mata, aku hanya bisa melihat Nayla. Aku harus menemukannya kembali, harus bertemu dengannya," jawab Zavier dengan nada putus asa sambil melihat laporan keuangan yang semakin turun dari hari ke hari."Jika Anda ingin, saya bisa mencoba mencari informasi lebih lanjut tentang di mana dia tinggal sekarang," kata Cahyo menawarkan bantuan."Ya, lakukan itu. Temukan di mana dia tinggal," perintah Zavier.Cahyo menghabiskan beberapa hari berikutnya mencari informasi. Dia berhasil mendapatkan lokasi tempat tinggal Nayla dari beberapa sumber yang terpercaya. Zavier, yang tidak sabar,
"Almira! We Love You!" Terdengar teriakan dari para penggemar Nayla yang bukan hanya terdiri dari pria muda, tetapi juga gadis sekolah dengan berbagai usia.Zavier bisa melihat mereka membawa buket bunga di tangannya dan ada juga yang membawa boneka."Kita tidak membawa sesuatu," ujar Zavier tiba-tiba dan melihat ke arah Cahyo."A-aku akan pergi membeli bunga, mau beli bunga apa?"Pertanyaan sederhana dari Cahyo pun sama sekali tidak sanggup dijawab oleh Zavier karena dia belum pernah membeli bunga kepada Nayla sama sekali. Seumur hidupnya, dia tidak pernah membeli apa pun untuk Nayla.Melihat reaksi bingung dari majikannya, Mando segera mengambil alih, "saya yang akan membeli bunga saja. Kalian lanjutkan melihat konser," ucapnya pelan.Konser itu penuh dengan penggemar Nayla. Zavier merasa terkejut sekaligus karena ada berjuta-juta orang yang mencintai Nayla.Dalam hati dia merasa tersisihkan."Nayla, ada begitu banyak orang yang menc
"Maaf, Tuan. Proses keluar masuk sangat ketat, tadi aku terpaksa melewati ruang ganti dan memberikan tip agar bisa terhindar dari antrian masuk."Zavier meraih buket bunga yang dibeli Mando dan memegangnya erat-erat dan tidak mengatakan apa pun.Setelah konser berakhir, para penonton mulai meninggalkan tempat dengan penuh kegembiraan."Apa yang akan kita lakukan sekarang, Tuan?" tanya Mando.Zavier menghela napas panjang. "Aku ingin bertemu dengannya. Setidaknya, aku harus mencoba berbicara dengannya.""Ruang ganti? Bawalah aku ke sana!" serunya dengan penuh semangat.Mereka bertiga menuju belakang panggung dengan petunjuk yang diarahkan Mando. Pengawal Zavier itu terlihat lihai dalam bernegosiasi dan memberikan tips sehingga Zavier bisa lolos dari beberapa pengawasan.Zavier merasa semakin gugup saat mereka mendekati ruang ganti Nayla. Ketika mereka sampai di depan pintu, Zavier berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian. Pria
"A-apa maumu? Ke-keluar!" bentak Nayla dengan kedua mata melotot lebar. Wanita itu berjalan mundur perlahan seiring dengan Zavier yang bergerak maju dalam diam dan kedua mata tetap menatap Nayla.Ketakutan Nayla semakin merajarela saat pantatnya menyentuh meja rias, "Zav ..."Zavier mencubit kedua pipi Nayla sehingga wanita itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya."Uh, lepaskan!""Tidak ada yang terlambat! Kita belum memproses perceraian sama sekali. Aku tahu, di dalam sini ... " Zavier menempelkan telunjuknya ke bagian tengah dada Nayla, "aku ada di sini!""Lepaskan aku, Zavier!" pekik Nayla saat Zavier melanjutkan dengan tindakan meraba bagian sensitifnya.Nayla berusaha mendorong dada bidang pria itu, namun Zavier segera memaksa dengan menciumnya.Dengan kasar, Zavier mengangkat tubuh Nayla dan membuatnya terduduk di atas meja rias dan menahan kedua tangan Nayla sehingga dia bisa memberikan ciuman yang penuh kerinduan."Nayla,
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu