Nayla melompat kegirangan dan memeluk Michael erat. "Aku tahu kamu pasti bisa! Ini kabar yang luar biasa!"Michael tersenyum lebar. "Aku juga sangat senang. Sekarang kita bisa fokus pada proyek ini.""Dan berita bagusnya adalah :Kamu juga ikut dalam proyek ini, Nay"Nayla menatap Michael dengan tatapan tidak percaya, "Serius?"Michael menjawab dengan menganggukkan kepalanya, "yah, kamu lulus audisi dengan lima bintang dari juri!""Wow! Keren!" pekik Nayla tanpa sadar.Suara riuh yang dibuat Nayla dan Michael di luar rumah, membuat Nadira terbangun.Dengan sedikit mengantuk, Nadira keluar dari kamarnya untuk memeriksa asal suara. Melihat sang kakak dan sang pujaan hati sedang berpelukan dan berbincang dengan mesra di teras depan, membuat hatinya remuk dan terasa hancur."Kakak, kamu tega sekali," ucap Nadira dengan suara kecil nan parau lalu memilih menangis di atas tempat tidurnya.Sementara di teras, mereka berdua
Zavier menggertakkan giginya, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku akan segera selesai. Sampai jumpa nanti." Dengan itu, dia menutup panggilan dan meletakkan ponselnya kembali di meja dengan sedikit hentakan.Zavier mendengkus, berusaha mengatur kembali amarah dalam dirinya yang sedang timbul. Nayla tidak pernah menganggu dan manja seperti ini, monolongnya dalam hati.Ruangan kembali hening. Para klien yang sempat terganggu kini menatap Zavier dengan berbagai ekspresi.Dia merapikan dasinya, mengendorkannya sedikit dan berusaha mengembalikan fokus ke pertemuan yang sedang berlangsung. "Maaf atas gangguan tadi. Mari kita lanjutkan diskusi kita."Meskipun suasana sempat memanas, Zavier berusaha sekuat tenaga untuk kembali berkonsentrasi pada proyek yang tengah dibahas, berharap tidak ada lagi gangguan yang bisa merusak jalannya rapat.Setelah rapat selesai, para klien mulai membereskan berkas-berkas mereka dan meninggalkan ruangan satu per satu, menyi
Zavier mengangkat kedua tangannya, mencoba meredakan ketegangan. "Yang kamu lihat adalah salah paham. Sekretarisku hanya mencoba membantu meringankan ketegangan saya setelah rapat yang sangat penting. Tidak ada apa-apa di antara kami."Sefia tertawa sinis. "Meringankan ketegangan? Dengan memijatmu di kantor? Kamu pikir aku sebodoh itu?"Zavier menghela napas, frustrasi. "Sefia, tolong dengarkan aku. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku benar-benar lelah dan stres, dan dia hanya mencoba membantu. Tidak ada niat buruk di situ."Sefia mendekat, matanya berkilat marah. "Aku tidak peduli apa niatnya! Kamu selalu punya alasan untuk semuanya. Aku bosan dengan ini, Zavier!""Kamu selalu saja marah-marah dan berprasangka buruk!" seru Zavier.Tanpa sadar, Zavier kehilangan kendali atas kata-katanya. "Nayla tidak pernah melakukan hal sebodoh ini!" kata-katanya meluncur keluar sebelum dia sempat berpikir.Sefia terdiam sejenak, lalu wajahnya beruba
Dengan penuh emosi, Zavier menarik Sefia ke dalam pelukannya, memeluknya erat. "Maafkan aku jika aku pernah membuatmu merasa tidak dihargai atau tidak dicintai. Mulai sekarang, aku akan berusaha lebih baik. Kita akan menghadapi ini bersama."Sefia memeluk Zavier kembali, air matanya mengalir deras namun kali ini lebih karena kebahagiaan daripada kesedihan. "Aku juga minta maaf, Zavier. Aku terlalu cepat marah dan tidak mendengarkan penjelasanmu. Aku ingin kita berusaha lebih baik bersama."Zavier mengusap punggung Sefia dengan lembut. "Mulai sekarang, kita akan lebih terbuka satu sama lain. Dan kita akan menikah, segera. Aku ingin memastikan kamu dan anak kita selalu merasa aman dan dicintai."Dengan janji itu, Zavier dan Sefia merasakan beban yang perlahan terangkat dari pundak mereka. Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapi segala tantangan bersama sebagai sebuah keluarga.Zavier melepaskan pelukannya sedikit, menatap
Zavier menaikkan tangan dan melihat ke arah jam mewah miliknya lalu berkata, "aku butuh menyelesaikan penandatanganan beberapa dokumen lagi, bagaimana bila kamu menungguku. Mungkin setengah sampai satu jam lagi."Sefia mengangguk, lalu mereka berpisah. Zavier kembali ke ruangannya dan Sefia duduk di lobi.Setelah Zavier kembali ke ruangannya untuk menyelesaikan penandatanganan dokumen, Sefia duduk di lobi, menunggu dengan sabar meskipun sedikit gelisah.Tiba-tiba, ponselnya yang berada di dalam tas berbunyi lagi, membuatnya merasa terganggu. Dengan kesal, dia merogoh tasnya dan mengangkat panggilan tersebut."Apa lagi, Sean? Bukankah aku sudah mengirim uang lagi untukmu?" Sefia berbisik marah ke telepon, berusaha agar orang di sekitarnya tidak mendengar.Di ujung telepon, suara Sean terdengar santai namun sinis. "Sefia, sayang. Uang itu tidak cukup. Kau tahu aku punya kebutuhan yang lebih besar sekarang. Lagipula, apa salahnya sedikit bantuan lagi
Di dalam studio rekaman yang megah, Nayla dan Michael tengah sibuk menyelesaikan proyek terbaru mereka, sebuah soundtrack untuk film layar lebar yang akan ditayangkan tahun ini.Ruangan studio dipenuhi peralatan rekaman modern, lembaran-lembaran partitur musik berserakan di meja, dan suasana kreatif terasa sangat kental.Nayla mengatur mikrofon sambil berkata, "hei,Mich, aku coba lagi ya bagian yang kamu minta ulang tadi."Michael mengangguk dan menyetel mixer, "tentu, Nyla. Aku yakin kali ini akan lebih sempurna. Ingat, coba untuk lebih menekan pada emosi di bagian reff-nya.""Okey!"Nayla mengangguk dengan penuh semangat dan mulai menyanyikan lagunya. Suaranya mengalun merdu, memenuhi ruangan dengan keindahan nada yang menyentuh hati. Tim produksi yang berada di balik kaca studio pun terpana, mereka saling bertukar pandang dan mengangguk puas."Wow, suaranya Nyla memang luar biasa. Lagu ini pasti akan sukses besar," puji Kepala Tim Produks
Dengan semangat kebersamaan yang baru, mereka berdua mengunjungi Nadira setiap hari, memberikan dukungan dan semangat. Lambat laun, kondisi Nadira mulai membaik. Wajahnya yang dulu murung kini mulai menunjukkan senyuman kembali.Michael juga sering memberikan perhatian dan mengajak wanita itu berbicara, sesekali menceritakan hal-hal lucu di kantornya."Terima kasih, Michael, kamu benar-benar teman yang baik.""Saya akan selalu ada untukmu, Nadira. Kamu adalah bagian penting dari keluarga ini.""Betul. Kamu harus cepat sembuh," imbuh Nayla sambil membotong apel.Keakraban yang terjalin di antara mereka semakin kuat. Tidak hanya sebagai keluarga, tetapi juga sebagai sahabat yang saling mendukung. Proyek soundtrack untuk film tersebut pun akhirnya selesai dengan hasil yang luar biasa. Lagu yang dinyanyikan oleh Nayla, dengan sentuhan magis dari Michael, menjadi hit besar dan mendapatkan banyak pujian."Ini adalah karya terbaik kita. Kerja keras
"Tuan Zavier, kamu harus lebih sering beristirahat. Pekerjaan bisa menunggu, tapi kesehatanmu tidak. Anda terlihat agak pucat."Zavier tersenyum. "Terima kasih, Alia. Aku akan mencoba untuk lebih memperhatikan kesehatanku. Pikiranku hanya terlalu penuh dengan omelan istriku belakangan ini."Sementara itu, Sefia yang berada di rumah semakin gelisah. Perasaan cemburunya tidak bisa diredam lagi. Dia memutuskan untuk mengunjungi kantor Zavier tanpa memberitahunya terlebih dahulu.Sefia tiba di kantor Zavier dan langsung menuju ruangannya. Dia melihat dari balik pintu kaca bagaimana Zavier dan Alia sedang berbicara dengan akrab. Perasaan cemburu dan marah bercampur menjadi satu di dalam dirinya.Sefia langsung masuk ke ruangan dengan wajah tegang. "Zavier, aku ingin bicara."Zavier dan Alia terkejut melihat Sefia tiba-tiba muncul. Zavier segera berdiri dan menghampiri istrinya."Sefia, ada apa? Kenapa kamu datang ke kantor?""Aku tidak tah
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba
Zavier menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari jawaban di balik tatapan mata Nadia. "Mungkin ada sesuatu dalam dirimu yang lebih dari sekadar wajah yang mirip dengan Nayla. Mungkin, entah bagaimana, kita pernah memiliki hubungan yang lebih dari yang kita sadari.""atau... kamu adalah Nayla yang asli?" tanya Zavier, tetapi pertanyaan itu lebih kepada dirinya sendiri karena Nadia hanya menatapnya dengan wajah sendu.Mereka duduk dalam diam untuk sesaat, menikmati kehangatan yang masih tersisa dari momen itu. Meski ada banyak kebingungan dan pertanyaan yang masih menggantung di udara, keduanya merasakan ikatan yang aneh tapi nyata, seolah-olah takdir telah mempertemukan mereka kembali setelah waktu yang lama terpisah.Hujan mulai turun dengan deras di luar, butiran airnya membasahi jendela dan terdengar irama lembut yang menenangkan suasana.Zavier memandang keluar sejenak sebelum menoleh kembali ke arah Nayla. Tanpa banyak bicara, ia menuntunnya ke r
Zavier kembali melangkah menuju Nayla dan berkata, "Kamu istirahat di dalam dan aku akan mengantar Joen pulang terlelbih dahulu. Setelah itu, aku akan datang dan membawa makanan untukmu, okey?"Nayla mengangguk dengan patuh dan memberikan senyuman yang hangat lalu melambaikan tangan kepada Joen.Mereka pun kembali masuk ke mobil, dan Zavier mengantarkan Joen pulang ke rumah.Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar, memikirkan langkah-langkah yang harus diambil. Siapa sebenarnya wanita yang ia bawa ke rumah kosong itu? Apakah dia benar-benar Nayla yang asli, atau hanya hasil dari obsesi gila Bram yang menciptakan tiruan?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, dan Zavier tahu, jawaban yang akan ia temukan mungkin akan mengubah segalanya.Setelah memastikan Joen kembali dengan aman, Zavier segera kembali ke rumah kosong tersebut. Ia harus berbicara dengan wanita itu, mencari tahu siapa sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya ter
Setelah kehabisan tenaga untuk melampiaskan amarahnya, Bram berjalan terseok-seok ke arah kamarnya. Pintu dibanting keras di belakangnya, menandakan bahwa ia tidak ingin diganggu.Sara berdiri di depan pintu, sementara beberapa pelayan mulai dia atur untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di ruangan tamu.Beberapa saat kemudian, terdengar suara botol dibuka dan bau alkohol menyebar dari balik pintu. Bram menenggak minuman keras dengan kasar, mencoba menghilangkan rasa frustrasi dan kehampaan yang begitu dalam.Dia merasa telah melakukan segalanya—mengubah Sefia menjadi mirip Nayla, dan berpikir bisa memiliki Nayla perlahan—namun kenyataannya, Nayla yang sesungguhnya masih tetap tidak dapat dia miliki.Dalam kamar yang gelap itu, Bram merasa benar-benar kalah. Tidak peduli seberapa banyak dia mencoba mengendalikan keadaan, kenyataan selalu membuatnya merasa seperti sedang mengejar bayangan yang tak pernah bisa ia raih.Pria itu