Sehari, dua hari, hingga seminggu kemudian Gio belum juga kembali. Kinanti makin gelisah menunggu calon suaminya. Dia mulai meragukan kesungguhan hati, bahkan berpikir jika Gio ingin lari dari pernikahan mereka. "Sebenarnya dia pergi kemana?"Kinanti menatap layar ponsel, "Kenapa setiap pesanku tidak dibalas?""Kakak, kenapa? Apa yang terjadi?"Kinanti menarik napas panjang. Mengembuskannya dengan sangat berat, "Gio, dia tidak dapat dihubungi.""Kubilang juga apa. Lelaki modelan kek dia gak bisa dipegang janjinya."Kinanti tahu yang dikatakan Karenina benar adanya. Dia tidak bisa marah atau mendebat perkataan itu. Dalam hatinya, Kinanti sama meragukan Gio seperti orang lain lain. "Ah, Kak," pekik Karenina. Matanya melebar dan bersemangat, "aku baru ingat. Kepala bagian tempat Mas Prasetyo bekerja baru saja bercerai."Kinanti mengernyitkan alisnya, tidak mengerti maksud Karenina, "Lalu?""Apa Kakak, mau kukenalin sama orang itu?"Kinanti sudah terlalu malas dengan fase berkenalan. Di
"Kamu Kakaknya Karenina?""Iya." Kinanti menarik segaris datar senyuman.Itu adalah pertanyaan yang sering dilontarkan banyak orang. Beberapa orang lagi akan berkata, 'Kok gak mirip? Cantikan adiknya!'Kinanti sudah terbiasa dengan semua pertanyaan itu. Banyak orang secara tidak sadar melakukan body shaming walau mereka tidak bermaksud seperti itu."Kamu cantik, kenapa belum menikah sampai sekarang?"Itu adalah kedua kali Gunawan mengatakan Kinanti cantik. Entah memang dia terpikat pada wajah ayunya atau memang sengaja memikatnya dengan pujian.Kinanti pikir Lelaki berumur sekitar empat puluhan di depannya mungkin sudah bertanya pada Karenina tentang kehidupan pribadinya."Yaa, begitulah. Terkadang manusia bisa merencanakan kapan dan dengan siapa akan menikah, tetapi semua itu adalah kehendak Allah. Mencintai itu nasib dan menikah adalah takdir."Mata Gunawan berbinar mendengar perkataan Kinanti yang begitu bijak."Berarti banyak lelaki tidak beruntung karena tidak bisa mendapatkan kam
Haidar Baskoro mendapat serangan jantung. Kata-kata Gunawan menusuknya seperti belati tepat di ulu hati. Kinanti, anak kesayangannya hamil. Bagaimana dia menghadapi dunia?Karenina sang adik juga sedang berbadan dua. Beruntung dia sudah menikah. Tidak ada yang akan membicarakan tentang itu. Namun, nasib Kinantinya berbeda.Anak kesayangannya yang polos itu tertangkap basah sekamar dengan berandalan, Gio. Lelaki bertato itu bahkan menghilang sebelum menepati janji menikahi Kinanti."Ibu … bagaimana keadaan Ayah?" Kinanti panik melihat ayahnya terbaring dengan alat bantu pernapasan di indera penciumannya.Siti Aminah menoleh ke arah pintu. Karenina, suaminya juga Kinanti baru sampai di ruang rawat."Sudah lebih membaik. Hanya napasnya masih tersengal." Siti Aminah menatap dengan iba ke atas ranjang. Lelaki yang sudah menemaninya menjalani hari itu tergeletak tak berdaya. Sudah beberapa kali serangan jantung menyerang Haidar Baskoro secara tiba-tiba.Karenina mendekat ke samping lain ranj
Degh!Kinanti tidak siap. Pertanyaan Siti Aminah terlalu tiba-tiba di saat yang tak terduga. Tentu saja dia kebingungan menjawab pertanyaan itu.“Tentu saja tidak, Bu. A-aku tidak hamil.”Siti Aminah menatap tajam Kinanti, “Kamu yakin?”“Saat kamu tertangkap basah oleh warga, berada di kamar lelaki bertato itu?”“Itu hanya sebuah kesalahpahaman. Kami tidak melakukan apa-apa saat itu. Aku datang kesana untuk meminta bantuan lelaki itu untuk mempertemukanku dengan kekasihnya. Dia seorang pakar kecantikan,” terang Kinanti panjang lebar.“Kamu yakin, Kinanti?”Kinanti mendekat, memeluk ibunya. “Yakin, Bu”Memeluk Siti Aminah, membuat Kinanti merasa tenang. Dia merasa nyaman dalam hangat sentuhan itu. Sebuah kenangan saat Gio menciuminya berputar. Kinanti lupa, saat penggerebekan memang tidak terjadi apa-apa. Namun, beberapa minggu setelahnya sesuatu terjadi. Dia menyerahkan keperawanannya pada Gio, “Argh!”“Kenapa?” Siti Aminah mundur selangkah merenggangkan pelukan.Wajah Kinanti berubah
Koridor rumah sakit.Seorang perempuan bergaun putih berjalan dengan pandangan mata kosong. Terlihat begitu banyak pikiran dan beban. Wajahnya ayu walau riasan make up telah luntur dari wajahnya.“Bagaimana jika aku benar hamil?”“Apa yang harus kulakukan? Di mana Gio sekarang?”Kinanti mengelus pelan perutnya yang masih rata. Jika benar kata atasan Prasetyo, Gunawan. Bagaimana dia harus menghadapi ayahnya?Ayah Kinanti pasti sangat kecewa juga malu. Di usia dua puluh tujuh tahun sekarang ini, bukannya pernikahan yang akan dihadiahkan Kinanti pada kedua orang tuanya, tetapi kehamilan. Hamil di luar nikah.“Ooohh, aku bisa gila menghadapi semua ini sendiri!”Kinanti merasa lelah. Dia duduk di kursi besi memanjang, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tak sanggup menatap dunia, tidak berani memperlihatkan paras ayunya.Kinanti menatap lurus ke depan. Di depan sebuah ruangan ada banyak perempuan duduk menunggu giliran. Beberapa dari mereka memiliki ciri yang sama, perut membuncit.“Poli
Hati yang bersih selalu memegang prinsip kejujuran. Seseorang yang terbiasa bertindak benar akan merasa ketakutan sendiri ketika berbuat salah. Kinanti dilema.Perempuan yang masih memakai gaun putihnya itu terus memandang Haidar Baskoro. Menimbang akan mengatakan kesalahannya atau tidak. Jika dia diam, ayahnya tidak akan tahu. Namun, hatinya tidak tenang.“Ayah ….”"Maafkan, Kinanti."Kinanti menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang dengan rasa bersalah yang besar, “Maafkan Kinanti,Yah. Semua ini gara-gara aku. Aku yang menyebabkan ayah terkena serangan jantung.”Kinanti meraih jemari Haidar Baskoro, Menggenggamnya. Kulit tangan itu telah keriput di sana-sini. Hidup yang keras dijalaninya demi menghidupi keluarga. Minggu pun dia akan tetap masuk bekerja bila ada yang memintanya.“Kemana semua orang?”Kinanti menoleh ke asal suara, Gunawan muncul dari pintu.“Kami bergantian menjaga Ayah. Ibu dan Karenina pulang, mereka lelah.” Kinanti menjawab dengan malas.Lelaki itu, Gunawan. Di
“Siapa yang menyuruhmu membayarnya, hah?’ Kinanti meradang. Dia tidak tahu jika Gunawan telah membayar uang rumah sakit ayahnya. “Ini sebagai bukti kesungguhanku ingin menikahimu. Kinanti.”"Omong kosong! Pergi dari sini.""Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu, Kinanti."Di dunia ini beberapa orang berpikir dapat membeli semua hal. Asalkan dia punya uang, cinta, kedudukan sekalipun bisa dibeli. Gunawan adalah salah satu tipe orang yang mengandalkan uang.“Tolong jangan buat keributan disini, ayahku sedang sakit. Kasian dia!” Kinanti takut ayahnya terbangun jika mendengar keributan mereka.“Tolong pergi dari sini,” bentak Kinanti.“Begini caramu membalas budi orang yang telah membayar biaya rumah sakit ayahmu, hah?” Bukannya pergi Gunawan malah mendekat. Dia menatap Kinanti dengan tatapan singa yang ingin menerkam mangsanya, “Kalau begitu kembalikan uangku.”“Berapa sih, uang yang kamu keluarkan untuk ayahku!” tantang Kinanti tak mau kalah. Harga diri, adalah satu-satunya yang bisa K
Perawat yang tadi dipanggil Kinanti segera datang ke ruang rawat Haidar Baskoro. Ayah Kinanti mulai membuka mata. pandangan matanya masih kosong, tidak fokus. Perawat itu berusaha mengetes sensor motorik. Mengarahkan senter kecil ke netra Haidar Baskoro.Kinanti senang, tak henti menatap Haidar Baskoro. Ayahnya mulai bisa diajak berkomunikasi oleh perawat tadi. Alat bantu pernapasan dilepas. Siti Aminah, Karenina dan Prasetyo baru datang. Mereka ikut senang dengan perkembangan Haidar Baskoro. Mendekat ke ranjang, untuk melihat kepala keluarga mereka.Melihat suaminya sudah bangun Siti Aminah berkata, “Kinanti, sekarang pulanglah. Biarkan kami yang menjaga ayah. Kamu pasti lelah belum beristirahat sejak pagi tadi.”“Aku masih ingin di sini, Bu. Menemani Ayah.”“Pulanglah Kak, ikuti perkataan Ibu.” Karenina ikut menimpali percakapan.Saat mereka sedang berbicara Gunawan menatap Prasetyo lekat-lekat. Ada kode entah sebuah perintah yang disampaikan lewat tatapan mata itu.“Baiklah Bu, ak
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya