Malam itu, perkataan dari Adam membuatku jadi berpikir banyak hal. Apa yang ia maksud? Atau … benarkah ia sebaik itu padaku?
Walau pun begitu, aku berterima kasih padanya. Sangat berterima kasih.
Setelah aku mendapatkan gaji pertamaku sebagai kasir di supermarket, aku berhenti bekerja. Benar, Adam yang memintanya dan aku pun menurutinya.
Sedangkan Adam, ia lebih dulu mendapatkan gaji pertamanya. Dalam sehari, gajinya sudah ia habiskan untuk menyenangkan Javin dan Joana, tentu saja bersama denganku dan Yumna. Bagiku saat itu, adam snagat baik. Pertemuan yang tak kusenagaj dnegannya ternyata membuat kehidupanku mulai membaik.
Aku dan Yumna, tentu saja bersama Adam bersama-sama memulai bisnis. Membangun perusahaan sendiri, seperti kata Adam ia ingin mewujudkan impianku untuk memiliki perusahaan. Dan berkat Adam, itu hampir terjadi.
Ketika keluarganya mengetahui bahwa Adam ingin membangun perusahaan yang bergerak di bidang makanan instan, keluar
Ketika dokter keluar dari ruangan Javin, aku segera mendekat membawa Joana bersamaku. “Dokter, bagaimana keadaan Javin? Apakah Javin baik-baik saja?”Dokter menjawab sambil merapikan peralatan medis di lehernya, “Pasien baik-baik saja, dia hanya kelelahan. Nyonya, tolong Anda ikut bersama saya. Ada beberapa hal yang harus saya katakan tentang keadaan pasien.”Aku mengangguk, sebelum mengikuti dokter dengan tanda nama Haikal berjalan di belakangnya, aku mengelus puncak kepala Joana pelan. “Jo, kamu tunggu di sini, ya. Temani Javin, mengerti?”Joana menuruti perkataanku, ia masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi sambil ranjang. Ia hanya menatap Javin dalam diam.Aku ikut bersama dokter menuju ruangannya, ketika tiba di ruangan dokter. Pria dewasa itu berkata, “Tidak perlu khawatir, pasien baik-baik saja. Tapi saya ingin mengonfirmasi beberapa hal, apakah pasien makan dengan teratur?”Aku mengangguk, aku sangat tahu pola makan kedua adikku. Setiap pagi sebelum mereka sekolah dan aku b
Ketika aku terbangun di pagi hari, mataku langsung menangkap soosk David yang sedang duduk ditemani oleh komputer jinjingnya. Sesekali ia menyesap teh, uap hangatnya dapat kulihat dari tempat tidurku.Aku berdehem pelan untuk menyadarkan David bahwa aku sudah bangun. Pas sekali, setelah aku berdehem David memandangku dengan senyumannya.“Kamu sudah bangun? Bagaimana, apa perutmu sakit sekarang?” tanya David dengan suara seraknya, nampak seksi sekali di mataku.Dengan memakai baju berbahan kain satin berwarna cokelat cream, sedang jakun yang naik turun ketika tengah meneguk teh panasnya. Aku meneguk ludahku susah payah.“Ah, i-iya s-sepetinya perutku t-terasa sakit.” Ah, sial sekali mengapa aku harus terbata-bata sekarang?“Tentu saja perutmu akan sakit, kamu sangat mabuk tadi malam.” Mendengar perkataannya, aku mengangguk kaku, dalam hati aku mengiyakan pernyataannya tadi.David berjalan mendekatiku, belum sempat ia duduk di ranjang, aku segera menjauh lalu pergi ke kamar mandi. Perut
Perkataan David membuatku tak bisa berkata-kata, walau begitu aku tetap tersenyum. Seolah aku menyukai perkataan yang keluar dari mulutnya.“Jangan bercanda terlalu berlebihan!” ujarku pelan. Pria yang di seberang sana terkikik geli, ia kembali berkata, “Siapa yang bercanda, aku serius!”Selama tiga menit, obrolan tersebut menjadi hening. Aku diam, begitu pula David.Pria di seberang sana berdehem pelan, itu membuatku sadar jika aku sudah diam terlalu lama. “Ah, iya. David aku dipanggil Joana. Sampai nanti!”Cepat-cepat aku mengakhiri panggilan itu.Tanganku terangkat menuju dada sebelah kiri, aku dapat merasakan dengan sangat jelas jantungku tengah berdebar. Aku menggelengkan kepalaku berusaha menghapus apa yang sedang kupikirkan sekarang.“Apa yang aku pikirkan? Aku tidak boleh seperti ini!”Tatapanku masih terarah pada ponsel yang masih menyala, aku melihat tampilan ruang obrolan itu dan mendapati David mengirimiku pesan singkat di sana.“Aku sudah memesan tiket untuk berlibur. Mau
“Kamu ingin makan sesuatu?” David berkata lembut, tangan pemuda itu memegang ujung rambutku, tatapannya begitu menggoda.Aku mengangguk. “Boleh.”“Aku sudah reservasi, tempatnya bagus.”Aku mengangguk antusias. “Wah, kamu sudah menyiapkannya dengan sangat baik, David!”David terbahak akan candaanku. Setelah bersiap-siap, kami berangkat menuju tempat yang dituju.“Di sini terkenal daging sapinya yang enak. Cobalah!” David menyodorkan satu potong daging sapi yang sudah pria itu siapkan. Aku menerimanya dengan senyuman tipis.“Kamu benar, dagingnya sangat enak!” aku membenarkan ucapannya. Daging yang sedang aku makan benar-benar terasa lezat. Kualitas daging mahal memang berbeda.Wajahku menghangat ketika David kembali menyuapiku, aku menahan diri untuk tidak berteriak senang di sini. “Makan yang banyak, Alice.” Katanya pelan. Matanya memandangku dengan intens.Aku tertawa mencoba mengalihkan perhatiannya, jika tidak aku tidak tahu lagi harus apa. Jantungku berdebar setiap kali berdekata
Aku berniat untuk melupakan segalanya, baik itu perasaanku pada David maupun perasaan bersalahku.Setelah pulang bekerja, aku berniat untuk datang ke makam ayahku. Rasanya sudah sangat lama aku tidak menemui ayahku. Aku jadi sangat merindukannya.“Ayah, aku harap ayah bahagia di sana. Aku, Javin, dan Joana sangat merindukan ayah.” Aku menunduk, tubuhku bergetar. Aku terisak, tanganku segera menghapus cairan bening itu dari wajahku.“Ayah, aku sangat merindukan ibu. Aku sudah berusaha untuk mencari keberadaan ibu, tapi aku tidak bisa menemukannya. Ayah maafkan aku.”Saat aku berjalan menuju mobil yang terparkir, tanpa sadar mataku menatap seseorang yang sedang berjalan sambil menunduk. Sesaat aku berpikir jika itu adalah ibuku, aku mendekatinya untuk meyakinkan hatiku.“Permisi?” ujarku pelan.Saat wanita itu memperlihatkan wajahnya, aku tahu wanita itu bukanlah ibuku. Aku mengangguk tak enak hati, “Maafkan aku, kupikir Anda adalah wanita yang kukenal.”Kakiku melangkah menjauhinya, ak
Ketika aku terbaring di atas ranjang, bayangan tentang suara itu menghantuiku. Tubuhku bergetar, walau sudah lama tidak mendengar suara itu, tapi aku cukup yakin jika suara itu adalah suara ibuku.Walau sudah tengah malam, aku tidak bisa terpejam tidur. Aku masih saja sadar dan enggan untuk tidur dengan pulas.Aku mendengus kesal, aku memutuskan untuk keluar kamar untuk sekadar minum air dingin.Aku melangkah pelan, aku tidak ingin menggangguk adikku yang sedang terlelap. Saat aku hendak masuk ke kamarku, samar-samar aku mendengar suara Javin.Aku berjalan mendekat berniat untuk mendengar perkataan itu lebih jelas. Aku menutup mulutku, merasa senang karena Javin tengah bertelpon dengan seorang gadis.“Tidurlah, jangan begadang.” Aku terkikik geli begitu Javin mengucapkan kalimat itu.“Aku akan menemanimu sampai tidur, jadi jangan takut.”Aku jadi membayangkan siapa gadis yang Javin sukai. Aku penasaran.Aku menggeleng, memilih untuk merahasiakan ini dan berjalan menuju kamarku. Dalam
Aku masih memikirkan perkataan mama Adam. Aku tidak tahu mengapa mama Adam berpikiran seperti itu padaku.Sekali pun, aku tidak pernah memikirkan untuk menjadi pasangan Adam. Bagiku, pria itu adalah pria yang sangat baik. Aku … tidak pernah memandang Adam sebagai lelaki.Aku meneguk minuman yang ada di hadapanku. Mataku terpejam menikmati cairan itu yang mengalir di tenggorokan.Mataku terbuka ketika seseorang mengucapkan namaku. “Alice ….”Aku mendongak lalu mengangguk pelan. “Hai!” ujarku dengan wajah yang ceria.Orang itu mengangguk dengan senyuman merekah. Ia duduk di hadapanku, tangannya langsung mengambil makanan ringan yang menjadi cemilanku malam ini.“Ada apa? Wajahmu nampak sedih. Ada yang mengganggumu?” tanyanya penasaran.Aku menggeleng, memilih enggan untuk bercerita. “Tidak ada, aku hanya ingin minum saja.”“Hei, ayolah. Ceritakan saja padaku, jangan dipendam sendiri.” Katanya sekali lagi sembari mencomot makanan ringan milikku.Aku menghembuskan napas lalu menatapnya. “
Aku menengadah menatap langit yang mulai kelabu. Rintik air hujan jatuh ke bumi, tanah dan pepohonan mulai basah olehnya.Embusan napas berat keluar dari mulutku, “Huh.”Aku berjalan menuju ruanganku, pekerjaan sudah menumpuk lantaran kemarin aku sempat cuti sesaat karena ada urusan. Melihat pekerjaan yang menumpuk, aku jadi tersenyum kecut.“Semangat bekerja, Alice!” teriakku pada diriku sendiri.Aku mengangkat kedua tanganku untuk mengikat rambut. Mataku menajdi fokus memandang layar monitor, tidak peduli pada kegiatan orang-orang di sekelilingku.“Alice!” teriakkan kencang itu membuatku terperanjat kaget.Aku menoleh menatap sumber suara. “Ada apa?” tanyaku dengan suara pelan.Adam berjalan mendatangi mejaku, ia tersunggut-sunggut. “Alice, tolong bantu aku.”Aku menatapnya mencoba memahaminya. “Ada apa, Adam? Apa yang terjadi denganmu?”Ia menarik lenganku. “Kita harus berbicara, aku mohon.”Aku mengangguk setuju. “Baiklah, ayo.”Ketika berada di atap gedung, cekalan pada lenganku
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel