Aku sedang duduk bersama anggota kelompok belajarku, Rio ada di sampingku. Sangat sering pemuda itu membuka percakapan agar aku berbicara, namun aku memilih diam tak menanggapi Rio.
Rio berbisik di telingaku, bibirnya terasa dekat di leherku membuat tubuhku merinding.
“Apa kamu sedang bertengkar dengan Naka, Alice? Mau minum kopi bersamaku agar pikiranmu tidak tertuju padanya, kamu mau, hm?”
Aku bergeser menjauhinya, ujung tanganku segera mengusap leherku. Masih terasa napasnya di batang leherku, “Maaf, tapi jarakmu terlalu dekat … aku tidak nyaman, maaf ….”
Rio terlihat menggaruk batang hidungnya, pemuda itu terkekeh pelan lalu kembali berbisik di telingaku, “Ada apa, Alice? Apa kamu lebih menyukai jika Naka yang melakukannya, hm?”
Aku memilih diam enggan menanggapi ucapan Rio yang membuatku tidak nyaman. Rio memegang ujung tanganku membuatku menatapnya, ada rasa takut di hatiku saat Rio terkekeh p
Aku duduk termenung di dalam kamar Naka setelah berkeliling memutari ruangan mencari keberadaan Naka. Sekali lagi … aku tidak bisa menatap wajahnya. Hatiku sedikit kecewa dibuatnya, apa Naka benar-benar semarah itu sampai-sampai ia meninggalkanku seorang diri di sini?Apa perbuatanku saat itu begitu menyakiti perasaanya? Apa pulang bersama Rio adalah kesalahan yang sangat fatal?Tetapi … aku tidak memiliki hubungan khusus seperti yang kusebutkan padanya beberapa saat yang lalu. Aku terlalu terbawa emosi ketika Naka menuduhku yang tidak-tidak, dan tanpa sadar aku justru memberikan kebenaran yang bukan kebenaran sesungguhnya.Aku tahu saat itu adalah kesalahanku, aku yang membuat Naka seperti ini … aku yang membuat Naka terpacu emosi. Tetapi itu semua pun karena tuduhan-tuduhan yang ia layangkan padaku. Aku tidak tahan menerima tuduhan yang tidak berdasar seperti itu.Jika aku bisa mengulang waktu, aku akan mengikis egoku dan meminta ma
Dengan berani Rio memegang ujung tanganku, aku memejamkan mataku takut. Badanku sudah bergetar, air mataku mengalir di wajahku. Sementara itu Rio terbahak saja.Dengan suara yang cukup menyebalkan di telingaku, rio berucap dengan kekehan di bibirnya, “Sudahlah jangan takut, cantik … aku lebih baik dari Naka, aku akan mempercayaimu, sungguh!”aku berusaha melepaskan cekalan tangannya, aku berucap dengan suara serak, “Tolong lepaskan, biarkan aku keluar sekarang. Aku mohon, Rio ….”Rio melepaskan tangannya, “Baiklah, keluarlah sekarang,”Aku segera menghapus air mataku dan menghampiri pintu, lagi-lagi Rio berdiri menghalangiku sebelum ujung tanganku menggapai knop pintu. Rio berucap dengan senyuman yang menyebalkan di bibirnya, “Biarkan aku mencium bibirmu, aku akan melepaskanmu. Aku berjanji, hanya ciuman saja.”Aku menggeleng dan segera menutup bibir dengan kedua tanganku, “Aku tid
Aku masuk ke kelas, jam yang ada di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan pagi, matahari sudah bersinar cukup terik membakar kulitku. Ujung tanganku menggosok-gosok lengan secaraa perlahan, muncul bercak-bercak kemerahan membuat kulitku terasa panas.Aku menghembuskan napasku melihat lengan bagian bawahku yang sudah merah, terasa cukup gatal. Mencoba untuk tidak menghiraukannya, aku mendatangi kursi di depan, dekat dengan dosen.Lagipula, tempat yang biasa kududuki jika sedang bersama Naka sedang ditempati oleh Rio, melihat wajahnya saja membuatku mual mengingat sikap aslinya yang baru kuketahui.Tetapi ada yang aneh dari wajah Rio terlihat acak-acakan. Sudut bibirnya terlihat kebiruan, wajahnya terlihat membengkak. Aku mengedikkan bahuku mencoba tidak mengurusi hal-hal yang bukan urusanku, sudahlah tidak penting.Aku menumpukan lenganku, telingaku mendengarkan penjelasan-penjelasan dari dosen mengenai mata kuliah pagi ini. Tidak terlalu berat, ak
Ini adalah hari kesembilan, Naka belum juga kembali. Setelah aku berhasil menelponnya kemarin, kupikir Naka sudah tidak marah dan akan segera kembali, nyata tidak. Apakah sia-sia aku menunggunya selama ini?Aku tahu aku bersalah, aku bersalah karena berbohong padanya. Kebohonganku yang membuatnya marah. Tetapi itu semua terjadi karena Naka selalu memojokkanku … sepenuhnya itu bukanlah salahku, bukan?Semuanya berawal dari aku pulang bersama Rio, mengingat nama Rio … aku jadi berpikir, mungkin saja jika Rio sengaja melakukan itu padaku. Jika begitu, apakah Naka tahu bagaimana Rio sebenarnya, maksudku saat aku pulang bersamanya Naka terlihat begitu marah.Bukan itu saja, saat aku berjalan dan hampir jatuh dan Rio menolongku, Naka juga terlihat marah.Aku bisa menyimpulkan, jika Naka benar-benar menjagaku dengan baik, Naka tahu jika Rio tidak sebaik yang terlihat. Naka tahu … sudah lama Rio mengincarku.Naka menyelamatkanku, tetap
Aku sadar … hanya aku yang berharap bahwa Naka berada di sisiku. Hanya aku yang berulang kali mengiriminya pesan singkat, hanya aku yang selalu mengatakan kalimat-kalimat maaf padanya, sedang Naka tidak begitu ….Apakah Naka benar-benar berpikir jika ini adalah kesalahanku sepenuhnya? Tidak … ini bukan hanya kesalahanku yang mengatakan kalimat kebohongan padanya, ini juga bukanlah kesalahanku ketika aku pulang bersama Rio tempo hari, ini adalah masalah dalam diri Naka. Masalahnya adalah Naka terlalu cemburu melihatku pulang bersama pemuda lain, benar, bukan?Perasaan cemburunya terlalu buta hingga ia tidak menyadari bahwa sudah menyakiti perasaanku. Ia berucap seolah-olah dirinya paling benar, mengatakan kalimat-kalimat yang tidak seharusnya ia katakan padaku. Aku seorang gadis, mendapati seseorang mengatakan kalimat menyakitiku tidak mudah untuk dilupakan.Naka, orang yang kucintai dengan sepenuh hati mengatakan kalimat hinaan padaku, itu l
Sepanjang acara berlangsung, aku juga tidak bisa menemukan keberadaan Naka. Berdiri di pojok ruangan seorang diri sembari menatap ponsel yang kepegang. Ingin menghubungi Naka, namun aku ragu … apakah ia akan menjawabnya?Aku menatap ujung sepatuku, ponsel yang kupegang kumasukkan kembali ke dalam tasku. Tidak ada gairah sedikit pun untuk melakukan sesuatu, maksudku tanpa Naka, bagaimana aku menikmati pesta asing ini?Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, jika memang tidak bisa memberikan maaf kepadaku … jangan muncul di hadapanku. Jangan memberikan harapan palsu dengan membawaku ke pesta keluarganya.Tidak ada siapapun yang kukenal di sini … sementara itu, Naka justru meninggalkanku sendiri. Tanpa berkata, tanpa isyarat apapun.Aku menggelengkan kepala, apa yang kupikirkan tentangnya? Aku mengusap wajahku, mataku terpejam sesaat, aku membatin, “Tidak, tidak apa, Alice! Jika Naka tidak ingin berbicara denganmu sekarang, kamu
"Alice ...."Aku berhenti, aku menengok ke belakang. Naka sedang memandangku dengan wajah yang tak bersahabat, aku berdehem pelan.“Iya, ada apa?" Naka diam, aku masih berdiri menunggunya mengatakan sesuatu.“Jika bukan Rio yang melakukannya, lalu siapa?"Mendengar perkataannya, tubuhku kaku. Aku menatapnya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca, Naka menatapku menunggu jawaban dariku.“Siapa, Alice? Tolong, katakan dengan jujur."Aku tidak tahu harus berkata apa, Naka berdiri menghampiriku membuat tubuhku bingung harus bereaksi seperti apa.Aku berkata dengan terbata-bata, "N-Naka, s-semua orang memiliki masa lalu yang buruk, tidak semua orang beruntung dengan kehidupan yang indah. Aku sudah melupakan masa laluku, aku hidup di masa depan dan selalu ingin bersamamu."Naka terkekeh, terdengar seperti ejekan darinya, "Benarkah kalau kamu sudah melupakan masa lalumu? Bagaimana setelah aku menerima semua masa lalumu, kamu melupakan dan mengkhianatiku, Alice?"
Pandanganku tertuju pada Naka, namun sedetik kemudian ia memalingkan wajahnya membuat air mataku kembali tumpah.Aku terjatuh, tubuhku terasa begitu lemas. Pandanganku memburam, aku tak menyangka masa laluku terungkap di sini, tak pernah terpikir olehku.Ujung tanganku mencengkeram dadaku kuat-kuat, sesak.Aku mendongak, Naka berdiri di depanku. Aku segera menyapu air mataku, walau tubuh masih terasa lemas, aku mencoba berdiri di hadapannya.Aku mencoba menyentuh lengannya, namun Naka menepisnya dengan kasar. Aku tertegun beberapa saat, “Naka ….”Naka menatapku dengan kekehan kecil di bibirnya, “Apa tujuanmu melakukan ini? Aku merasa jijik dengan diriku karena pernah menyukaimu.”Aku diam, mataku terpejam, hatiku terasa begitu sakit.Naka mendekatiku, ia memegang leherku membuat tubuhku sedikit meremang. Rambut panjangku ia selipkan di belakang telinga, bibirnya mendekati telingaku dan berbisik, “J
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel