"Alice ...."
Aku berhenti, aku menengok ke belakang. Naka sedang memandangku dengan wajah yang tak bersahabat, aku berdehem pelan.“Iya, ada apa?" Naka diam, aku masih berdiri menunggunya mengatakan sesuatu.“Jika bukan Rio yang melakukannya, lalu siapa?"Mendengar perkataannya, tubuhku kaku. Aku menatapnya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca, Naka menatapku menunggu jawaban dariku.“Siapa, Alice? Tolong, katakan dengan jujur."Aku tidak tahu harus berkata apa, Naka berdiri menghampiriku membuat tubuhku bingung harus bereaksi seperti apa.Aku berkata dengan terbata-bata, "N-Naka, s-semua orang memiliki masa lalu yang buruk, tidak semua orang beruntung dengan kehidupan yang indah. Aku sudah melupakan masa laluku, aku hidup di masa depan dan selalu ingin bersamamu."Naka terkekeh, terdengar seperti ejekan darinya, "Benarkah kalau kamu sudah melupakan masa lalumu? Bagaimana setelah aku menerima semua masa lalumu, kamu melupakan dan mengkhianatiku, Alice?"<Pandanganku tertuju pada Naka, namun sedetik kemudian ia memalingkan wajahnya membuat air mataku kembali tumpah.Aku terjatuh, tubuhku terasa begitu lemas. Pandanganku memburam, aku tak menyangka masa laluku terungkap di sini, tak pernah terpikir olehku.Ujung tanganku mencengkeram dadaku kuat-kuat, sesak.Aku mendongak, Naka berdiri di depanku. Aku segera menyapu air mataku, walau tubuh masih terasa lemas, aku mencoba berdiri di hadapannya.Aku mencoba menyentuh lengannya, namun Naka menepisnya dengan kasar. Aku tertegun beberapa saat, “Naka ….”Naka menatapku dengan kekehan kecil di bibirnya, “Apa tujuanmu melakukan ini? Aku merasa jijik dengan diriku karena pernah menyukaimu.”Aku diam, mataku terpejam, hatiku terasa begitu sakit.Naka mendekatiku, ia memegang leherku membuat tubuhku sedikit meremang. Rambut panjangku ia selipkan di belakang telinga, bibirnya mendekati telingaku dan berbisik, “J
Ujung tanganku segera menyapu sisa-sisa air mata yang masih mengalir, aku melangkah pelan menuju kamar mandi di dalam kamar. Setelah menghidupkan keran air dan membasahi kedua tanganku, mataku menatap wajah di pantulan cermin. Sedetik kemudian aku menghembuskan naps lelah.Cukup lama aku diam di depan cermin, meneliti betapa kacaunya diriku saat ini.Sedang … Naka tak kunjung pulang, dan aku pulang sendiri dari pesta dengan perasaan tak tentu.Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku sudah menjelaskan alasan aku melakukan ini semua, tetapi sepertinya naka tak bisa mempercayainya.Apa hubunganku dan Naka berakhir di sini saja? Walau perasaan diantaraku dengannya sama-sama ada, tidak hilang.Untuk sekarang, aku meyakini bahwa perasaan Naka masih sama seperti sebelumnya.Aku tersenyum tipis sebelum berlalu pergi.*****Suara alarm membuatku terbangun, tanganku menggapai ponsel dan segera mematikannya. Aku berjalan dengan mat
Aku diam, Naka kembali berucap, “Ada apa denganmu? Mencari perhatian dari orang lain, begitu?”“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mencari perhatian dari siapapun. Aku terjatuh dan kakiku sakit, apa itu masalah bagimu?” ujarku penuh dengan kekesalan.Naka terkekeh, “Aku merasa kamu sengaja menjatuhkan diri, Alice! Berhentilah melakukan ini itu untuk menarik perhatianku, itu tidak akan membuatku bersimpati!”Mataku memerah, hatiku terasa begitu sakit mendengar penuturan darinya. “Kamu selalu berpikir negatif tentangku, sekalipun aku melakukan hal yang baik, kamu tidak akan percaya. Sudahlah terserah padamu, aku muak dengan segalanya!” ujarku meluap-luap.Tanganku dicekal olehnya, aku menatap pergelangan tanganku yang memerah, “Lepaskan aku!”Naka menyelipkan rambut tipisku di telinga, ia mendekatkan bibir dan berbisik di sana, “Jangan berani keluar dari Apartemenku, sayang!”
Aku meneguk ludah, menatap ke arah lain asal tidak bertatapan mata dengan Diva. Sementara itu, deringan ponsel Diva kembali terdengar, aku memejamkan mata enggan mendengarkan.Diva menatapku, aku menggeleng mengisyaratkan untuk tidak memberitahu pada Naka bahwa aku ada di sini, di kosnya.“Hai, ada apa menelponku?”Diva melirikku, aku menggelengkan kepala, “Ah iya, Alice ada di sini. Dia sudah menceritakan segalanya padaku, jemputlah dia dan selesaikan permasalahan kalian, mengerti?”Aku mengepalkan ujung tanganku, sedang diva menahan tawa melirikku, “Ya, ya cepatlah datang dan hati-hati di jalan, ya!”Begitu telepon mati, aku langsung mencercanya. “Aku sudah bilang jangan memberitahu Naka, Diva mengapa kamu melakukan itu? Kamu itu temanku apa bukan?”Diva terbahak, ia berucap dengan sisa-sisa tawa di bibirnya, “Hei, ada apa dengan tatapanmu itu, kalian adalah temanku, mengerti? Sudahlah,
Pembicaraan di mobil kemarin tidak membuat hubungan kami membaik, Naka masih bersikap dingin padaku.Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi padanya.Semuanya sudah kujelaskan, tetapi tanggapannya tak sesuai harapanku.Dan perkataan pedasnya lebih sering kudengar, aku bingung … apakah ini sifat aslinya? Apakah Naka sebenarnya pemarah?Aku berucap pelan, “Tidak apa, sabar … Naka butuh waktu untuk mencerna semuanya. Jangan terlalu menekannya untuk memahami keadaanku saat itu.”Aku berjalan pelan, kakiku sudah mulai membaik, tidak terasa sakit lagi ketika dibawa untuk melangkah, tetapi tetap harus berhati-hati.Aku melintasi mahasiswa yang sedang berkumpul mengelilingi spanduk baru yang terpasang. Teriakkan nan pekikkan bahagia begitu mendominasi, aku ingin melihat isi dari spanduk tersebut, tetapi menyadari kakiku yang belum sembuh total, rasanya tidak mungkin berdesak-desakkan seperti itu.Diva memanggil namak
Setelah cukup lama menunggu, namun tak kunjung juga mendengar suaranya. Aku mendengus sebal dan melemparkan ponselku.“Sudahlah, sampai kapanpun Naka tetap tidak akan menjawabnya. Iya, baiklah aku yang salah, tetapi tetap saja dia menghindariku. Menyebalkan!”Aku memejamkan mata mengurangi emosi di dada.*****Pagi sudah tiba, terasa begitu cepat. Aku tertidur seperti orang mati, tidak sadar apapun.Aku menutup daun pintu kamar setelah siap untuk pergi ke kampus, mataku menatap pintu kamar Naka yang tertutup rapat. Aku menghela napas, tidak bisa kupungkiri bahwa hatiku kesal padanya, tetapi rasa rinduku lebih besar, lebih mendominasi.Namun apa yang bisa kulakukan, Naka menghindariku. Ia enggan untuk berkomunikasi denganku, tetapi juga melarangku untuk keluar dari kehidupannya.Aku tersenyum tipis, sebisa mungkin bersabar. Aku mencintainya, aku akan berusaha agar hubungan aku dan Naka membaik.Aku tahu, ketika Naka
Setiap hari aku berusaha untuk berbicara, melalu ponsel atau bertatap muka langsung dengannya, semua itu tidak ada hasilnya.Naka tidak memberikan kesempatan padaku. Lalu aku harus apa?Festival kampus sudah berakhir, sekarang apa alasan yang ia gunakan? Sibuk mengurusi semuanya? Benarkah itu?Di waktu senggang aku kerap sekali berpikir, apa kesalahanku begitu fatal hingga Naka tidak sudi memberikan kesempatan padaku? Apa aku begitu menjijikkan?Apa hubunganku tidak bisa diperbaiki lagi …?Memikirkan semua itu membuatku pening. Mengapa menjadi dewasa sangat menyusahkan?*****Setelah pagi tiba, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Terakhir kali ruangan di depan tidak berantakkan, tapi pagi ini ada banyak botol kosong minuman beralkohol.Apa Naka sudah pulang?Ujung tanganku membuka daun pintu kamarnya, aku langsung mendapatinya yang tertidur dengan pulas.Kakiku melangkah mendekati, aku dud
Walau gelar tak tahu malu kini tersemat di ujung namaku, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berusaha agar hubunganku dengan Naka bisa membaik. Setidaknya sampai aku benar-benar letih, sampai aku benar-benar menyerah. Maka saat itulah aku akan berhenti.Tetapi rasanya, aku tidak akan letih. Jadi aku tidak akan menyerah.Aku pun tidak tahu, mengapa aku tidak ingin lepas darinya. Ketika aku sendiri, terbesit pikiran untuk menjauh, pergi dari kehidupan Naka, tetapi yang kulakukan berbeda. Aku justru berjuang agar hubunganku dengannya membaik.Aku tidak tahu, mengapa apa yang kulakukan dengan apa yang aku pikirkan selalu bertentangan. Aku tidak tahu mengapa.Memang benar … permasalahan hati itu tidak bisa dilogikakan. Permasalahan asmara itu tidak rasional, dan aku benar-benar sudah membuktikannya.*****Aku menoleh, pintu kamar naka terbuka. Bibirku tersenyum senang menatapnya, seolah tidak terjadi apapun diantaraku dengannya.
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b
Saat makan malam bersama Naka, banyak hal yang diobrolkan bersamanya. Mendengarkan tentang kota yang pernah menjadi saksi bisu kehidupanku, mendengarkan teman-teman yang kukenal semasa kuliah. Aku jadi merindukannya.“Mungkin salah satu alasanmu berhenti untuk berkuliah, karena masalah hubungan kita waktu itu. Aku benar-benar menyesal, aku terlalu menyakitimu, Alice.” Naka menunduk, ia lagi-lagi mengatakan itu.“Naka, berhentilah membahas masa lalu. Apa yang terjadi saat itu, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku juga bersalah, seharusnya aku lebih kuat agar bisa menolak Dean. Seharusnya aku tidak kehausan saat melihat kenyamanan yang Dean tawarkan. Bukankah aku yang salah?” ucapku lembut.“Saat Diva tahu masalah itu, awalnya dia sangat marah padaku. Diva menyalahkanku karena bersikap kasar padamu.” Naka mengatakan itu dengan bola mata yang berkaca-kaca.“Diva benar-benar orang yang baik, aku sangat beruntung pernah menjadi temannya. Saat itu, kamu pernah bilang mengenai permintaan D
Setelah cuti cukup lama, hari ini aku memutuskan untuk mengakhirinya. Suasana kantor terasa berbeda, mungkin karena aku sudah terlalu nyaman dengan suasana rumah setelah cuti sangat lama.Aku langsung saja menuju ke ruanganku, tumpukan kertas yang menggunung menyambutku. Aku menghela napas, mencoba mengerjakannya dengan semangat.Hari ini, tepat lima hari sudah berlalu setelah makan malam bersama Naka. Pria itu, kembali menghubungiku lagi untuk makan siang bersama, katanya ada hal yang ingin dibicarakan.Jadi aku menyetujuinya dan memberikan alamat kantorku padanya. Saat jam sudah menunjukkan waktu makan siang, aku segera menuju parkiran.Di sana, Naka berdiri di depan mobil berwarna hitam dengan senyuman tipis. Ia melambaikan tangannya ke arahku. “Alice,” serunya pelan.Aku mengangguk tipis berjalan ke arahnya. Di belakangku, suara Adam memanggil namaku membuat langkahku berhenti.“Alice!” teriaknya.Tubuhku terasa kaku, seperti baru saja ketahuan sedang melakukan kesalahan. Aku mena
Setelah pertemuanku dengan Naka, tepat dua minggu setelahnya Naka menghubungiku. Ia mengajakku untuk bertemu di sebuah restoran di pusat kota.Malam ini, aku sudah bersiap untuk bertemu dengannya. Entah apa yang ingin ia katakan padaku, walau begitu pikiranku merasa perbincangan ini bukan sesuatu yang baik.Aku menyiapakan diriku sebaik-baiknya. Walau banyak kejutan yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini, kenyataan yang akan kuterima nantinya pasti tetap membuatku terguncang.“Sudah lama menungguku?” ucapku ketika sampai.Naka menggeleng dengan senyuman tipis khas pria itu. “Tidak, aku juga baru datang. Duduklah,”Naka mengulurkan buku menu. “Malam ini, aku akan mentraktirmu makanan enak. Jadi pesanlah.”Aku menerima buku menu sambil sesekali menatapnya.“Alice, apa kamu ingat saat pertama kali kamu mengenalku? Saat itu, aku sudah lama mengenalmu, tapi kamu sama sekali tidak mengenalku. Di kampus, hanya kamu yang tidak mengenalku.” Ia menatap gelas di tangannya sambil terkekeh pel